LXXX. PERTEMPURAN MANTINEA

Ketika Epaminondas mendengar bahwa sahabatnya Pelopidas telah gugur, dia sangat berduka. Namun ia sadar negara sedang membutuhkannya, sehingga dengan penuh semangat ia melanjutkan persiapannya untuk berperang dan menaklukkan tentara Sparta.

Pertempuran itu tampaknya akan sangat sengit. Sementara Epaminondas, sang pemenang (dari) Leuctra, memimpin Thebans, Agesilaus, sang pahlawan pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, kembali menjadi kepala pasukan Sparta. Thebans mendesak dengan sangat keras hingga kedua pasukan bertemu di Manti – ne’a , di bagian tengah Peloponnesus.

Terlepas dari keberanian dan pengalaman Agesilaus serta kedisiplinan pasukan Sparta yang terkenal, Thebans kembali memenangkan pertempuran yang luar biasa atas musuh mereka. Namun, kegembiraan mereka berubah menjadi duka ketika mereka mendengar bahwa Epaminondas telah terluka parah saat pertempuran menjelang berakhir.

Sebuah tombak telah menembus dadanya; dan saat dia jatuh ke tanah, beberapa prajurit menopang dan mengusungnya keluar medan laga dengan lembut dalam pelukan mereka, dan dengan hati-hati membaringkannya di bawah pohon di lereng bukit yang berdekatan. Segera ketika dia membuka matanya, dengan penuh semangat ia bertanya bagaimana keadaan pasukannya.

Para prajurit menyandarkannya dengan lembut sehingga dia bisa melihat medan perang, teman-temannya menunjukkan tentara Sparta yang terus terdesak mundur, dan Thebans menguasai lapangan. Epaminondas kembali bersandar dengan napas lega, tetapi segera bangkit lagi menanyakan apakah perisainya aman.

Hanya setelah melihat perisainya, dia akan mengizinkan tabib untuk memeriksa lukanya. Mereka menemukan ujung tombak berduri tertancap jauh ke dalam dadanya, dan mengatakan bahwa tombak itu harus ditarik keluar. Tetapi mereka ragu-ragu untuk menariknya keluar, karena mereka takut pendarahan yang hebat akan membunuhnya.

Oleh karena itu, Epaminondas meminta mereka untuk membiarkannya. Meskipun dia sangat menderita; dia memanggil asisten jenderalnya, untuk memberi mereka beberapa perintah penting. Teman-teman yang berdiri di sekelilingnya dengan sedih mengatakan kepadanya bahwa keduanya telah gugur dalam pertempuran, sehingga tidak bisa lagi mengeksekusi perintahnya. Ketika Epaminondas mendengar berita yang tidak diinginkan ini, dia menyadari bahwa tidak ada yang tersisa yang bisa menggantikannya, dan demi mempertahankan  supremasi Theban, dia menyarankan rekan sejawatnya agar merebut kesempatan yang menguntungkan ini untuk berdamai dengan Sparta.

Ketika dia telah mengerahkan segenap daya dan upaya demi kesejahteraan masa depan kota asalnya (tanah airnya), Epaminondas mencabut tombak dari dadanya dengan tangannya sendiri, karena ia melihat bahwa teman-temannya takut untuk menyentuhnya.

Seperti yang telah diperkirakan para tabib, darah menyembur dengan deras, dan mereka segera melihat bahwa Epaminondas hanya memiliki beberapa menit untuk hidup. Para sahabat menangisinya, dan salah satu dari mereka secara terbuka menyatakan penyesalannya bahwa Epaminondas tidak memiliki  keturunan (anak). Kata-kata ini terdengar oleh pahlawan yang sedang sekarat itu, yang membuka matanya sekali lagi, dan berkata dengan lirih,” Leuctra dan Mantinea cukup untuk menjaga namaku tetap hidup!”

Kalimat ini terbukti benar; karena dua kemenangan besar ini dicatat dalam sejarah Yunani, dan tidak pernah dibicarakan kecuali dalam hubungannya dengan jenderal mulia yang memperjuangkan kemenangan mereka atas nama negaranya, dan gugur di lapangan ketika kemenangan terakhir diraih.

Untuk mengenang Epaminondas, warga dan jenderal terbesar mereka, kaum Thebans mendirikan sebuah monumen di medan perang, dan mengukir namanya dengan gambar seekor naga.

Kaum Theban, dengan mengingat permintaan terakhir Epaminondas, mengusulkan perdamaian yang dengan senang hati diterima oleh semua negara di Yunani. Mereka telah lelah dengan peperangan yang berlangsung bertahun-tahun ini.

Leave a Comment

error: Content is protected !!