Mendidik Anak, Mendidik Rakyat

Narasi atas Buku 1 Ki Hadjar Dewantara: “Pendidikan” halaman 3-5
Dua tahun lebih kami menggeluti klab baca bareng Charlotte Mason Vol.1 : Home Education. Saling bertukar pikiran, bertukar bacaan, saling memperkaya satu sama lain sebagai orangtua, pendidik, yang membersamai anak-anak kami. Nah, ketika ada seorang kawan yang pernah jadi peserta Ki Hadjar Dewantara Fellowship ikutan nimbrung dalam diskusi rutin kami, ia beberapa kali mengungkapkan gagasan Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang rasa-rasanya kok satu visi dengan apa yang disampaikan Charlotte Mason, dalam banyak hal. Di satu sisi, kami senang karena merasa konsep CM yang kami pelajari selama ini kok seperti diamini oleh KHD. Namun di sisi lain, ironis juga, karena sebagai orangtua yang selalu antusias belajar tentang pendidikan, kami malah belum pernah membaca tulisan KHD secara utuh dan menyeluruh. 
Jangan-jangan banyak juga warga Indonesia yang belum mengenal sosok KHD selain semboyan tut wuri handayani yang terbaca di dasi dan topi. 
Ki Hadjar Dewantara adalah seorang bangsawan Jawa, cucu Pakualam III. Meski mendapatkan banyak keistimewaan dalam hal pendidikan, tidak serta merta menjadikan KHD berpuas diri dan menutup mata atas keadaan bangsanya. Ia meyakini, pendidikan adalah alat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Tetapi pendidikan macam apa? Bukankah Belanda dan Jepang juga membolehkan pribumi bersekolah? Apalagi buat bangsawan seperti KHD, yang sekolahnya saja di Europeesche Lagere School, STOVIA, bahkan ke Belanda. Tidakkah itu cukup?
Tidak. Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki identitas dan budaya luhur, yang tidak bisa tercerabut begitu saja meski bangsa ini telah ditindas berabad lamanya. KHD ingin Indonesia merdeka seutuhnya; jiwa, raga, tenaga dan pikirannya dari segala campur tangan dan pengaruh bangsa asing. Kemerdekaan tidaklah gratis, ia harus diraih dan dipertahankan dengan penuh perjuangan. Kekuatan suatu bangsa, berasal dari jumlah kekuatan tiap-tiap anggota dari rakyat itu. Segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa tak akan berhasil, jika tidak dimulai dari bawah. Mendidik anak ialah mendidik rakyat. Anak-anak yang sekarang kita didik, kelak akan menjadi warga negara. Warga negara macam apa? Tergantung pada pendidikan.
Pendidikan bertujuan membentuk manusia merdeka, kita setuju. Tetapi merdeka itu apa? Inilah yang mesti kita renungkan. Jika merdeka kita artikan sekadar bebas bertindak sesuka hati, nampaknya kurang tepat. Serupa seorang remaja bandel yang misuh-misuh kepada mamanya di siang hari, membangkang dan membantah, selalu pergi dari rumah, namun di malam hari ia kembali menadahkan tangan meminta uang saku dan bilang lapar, makan, meskipun setelah itu ia kabur lagi setelah mengancam dan minta uang. Tidaklah sedikit pun ia merdeka, kan?
“Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.”
Perihal kemampuan “dapat mengatur diri sendiri” inilah yang menentukan berhasil-tidaknya pendidikan. Kadang kala, kita yang sudah berumur saja tidak bisa mengatur diri sendiri dan mengendalikan kehendak. Sesungguhnya perkara kemerdekaan yang diisyaratkan KHD dalam kalimat ini sangatlah dalam. KHD juga menuliskan sesuatu yang sangat menarik, tentang kesatuan aksi pengajaran dan “persatuan” yang dapat menjadi bahan perenungan bagi kita. Dalam hal ini, menurutnya,
“Persatuan dalam hal keperluan yang penting-penting dan yang diakui oleh semua golongan; persatuan sedemikian itulah yang selaras dan natuurlijk (wajar). Janganlah mengejar persatuan dalam hal yang kecil-kecil di mana keperluan golongan yang satu bertentangan dengan keperluan golongan lain. Persatuan yang tidak harmonis (tidak sesuai) dan tidak menurut keadaan yang nyata (natuurlijk) niscaya hanya persatuan yang dibuat-buat saja, timbul hanya dari paksaan atau tipu muslihat belaka, sehingga tidak dapat tahan lama dan akan pecah lagi.”
Satu hal yang identik dengan sekolah adalah “seragam”. Mulai dari penyeragaman pakaian, aturan, sistem nilai, hingga soal ujian yang serentak sama persis di seluruh Indonesia. Inilah yang juga dikritik oleh CM, yakni ketika pendidikan diadopsi sebagai sebuah “sistem” alih-alih metode. Penyeragaman adalah sistem, yang memudahkan (sekaligus menyederhanakan!) evaluasi dan penilaian. Betapa anak manusia yang macam-macam perangai serta bakatnya, beraneka ragam asal-usul budaya tempat tinggalnya, itu seolah harus dinilai oleh satu perangkat yang seragam, dalam peringkat 1-2-3-4 atau nilai A-B-C-D. Bagaimana mungkin seorang siswa dari Papua Pegunungan akan menjawab soal kewarganegaraan dan geografi yang sama persis dengan siswa dari Jakarta (dengan jawaban yang sama persis)? Hal ini kemudian coba dijawab pemerintah dengan menerapkan Kurikulum Merdeka, yang ide dasarnya sudah bagus namun kini, kabarnya mau diganti lagi.
Charlotte Mason menulis, pendidikan adalah atmosfer. Ki Hadjar pun demikian. Baginya, pengajaran nasional harus sesuai dengan penghidupan dan kehidupan bangsa. Jangan sampai kita berlomba mendidik anak-anak yang pintar-pintar, menguasai pelajaran ini-itu, cerdas mengampu teknologi, sederet prestasi mentereng, bersekolah mahal di lembaga pendidikan berlabel internasional, namun kemudian, mereka merasa terpisah, atau istilahnya “tidak level” dengan realitas perikehidupan orang-orang di sekitarnya, perikehidupan bangsanya. Hal ini sangat keliru! Lantas, untuk siapakah ia sesungguhnya belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya? Hanya demi mengoleksi trofi pribadi? Menjadi kebanggaan orangtua? Atau demi mendapatkan pekerjaan yang mampu membayarnya setimpal?

Baru membaca beberapa halaman saja, dari tulisan beliau yang bertarikh Desember 1928 (sembilan puluh enam tahun yang lalu!) saya dan teman-teman segera mendapati bahwa KHD adalah seorang yang sangat visioner. Tapi tunggu dulu! Benarkah beliau yang visioner? Atau jangan-jangan kita, Indonesia, yang jalan di tempat! Lha wong perihal pendidikan yang KHD tuliskan hampir seratus tahun lalu itu masih jadi masalah (manusia) Indonesia hingga saat ini kok. Tapi kita masih punya waktu empat tahun ‘kan, untuk membuktikan bahwa kita mampu menjawab persoalan-persoalan yang dipaparkan KHD hampir 100 tahun lalu. Atau tidak?

Leave a Comment

error: Content is protected !!