(Tinjauan atas buku Alfred Fouillée, Education from a National Standpoint)
Pemikiran Pendidikan Inggris Cenderung Mengarah pada Naturalisme
Sejak gagasan Locke membentuk aliran pemikiran baru tentang pendidikan yang didasarkan pada filsafat Inggris, kita cenderung condong secara eksklusif ke arah naturalisme [naturalisme menolak penjelasan supernatural untuk sebuah fenomena], atau bahkan mungkin materialisme. Itu berarti satu elemen mungkin dihilangkan dalam pendidikan – kekuatan ide.
Madame de Staël menulis sebuah bagian penting tentang kecenderungan filsafat Inggris ini. Meskipun kita mungkin tidak menerima semua kesimpulannya, apa yang ditulisnya seharusnya membuat kita berhenti dan berpikir, dan mempertimbangkan apakah akan menjadi ide yang baik untuk mengubah kecenderungan pemikiran nasional kita dengan membiarkan diri kita dipengaruhi oleh orang lain di luar Inggris.
Pemikiran Madame de Staël Tentang Locke
“Hobbes (filsuf Inggris) secara harfiah memahami filosofi yang mengatakan bahwa semua ide kita tidak lebih dari kesan indrawi. Dia sama sekali tidak terintimidasi oleh konsekuensi dari konsep tersebut. Dia bersikeras bahwa jiwa tunduk pada kebutuhan seperti halnya masyarakat tunduk pada kekuasaan absolut. Lembaga-lembaga politik dan agama telah menyatukan pemujaan terhadap semua sentimen yang murni dan tinggi hingga semua pertanyaan filosofis mereka berkisar pada konsep-konsep dogma politik dan agama yang telah ditetapkan, tetapi tidak pernah berpikir untuk mempertanyakan dasar-dasar dogma itu.
“Karena pandangan-pandangan ini, Hobbes tidak memiliki banyak pengikut di negaranya sendiri. Namun Locke memiliki pengaruh yang lebih universal karena ia lebih bermoral dan religius. Dia tidak membiarkan dirinya mengadopsi alasan-alasan yang merusak yang muncul dari metafisika. Sebagian besar rekan-rekan senegaranya yang mengadopsinya tidak begitu terikat pada gagasan tersebut sehingga mereka tidak dapat memisahkan hasil dari prinsip-prinsip. Namun Hume dan para filsuf Prancis, setelah mengadopsi konsep tersebut, menerapkannya secara lebih logis.
Ide-ide metafisika Locke tidak menghancurkan pemikiran Inggris. Mereka hanya menodai sedikit keaslian alamiah mereka dan mengeringkan sumber pemikiran filosofis mereka yang agung. Alih-alih menghancurkan sentimen agama, ide-idenya justru memperkuatnya. Kecuali Jerman, seluruh Eropa menerima konsep metafisik ini, dan itu adalah salah satu alasan utama amoralitas, yang sekarang memiliki teori untuk mendukungnya. [Kutipan ini aslinya dalam bahasa Prancis dan diparafrasekan dari terjemahan google.com dan David Tulis].
Upaya Pendidikan Kita Tidak Memiliki Tujuan yang Pasti
Ada baiknya kita mengenali kesinambungan pemikiran pendidikan di Inggris, dan menyadari bahwa Herbert Spencer dan Alexander Bain adalah keturunan langsung dari para filsuf terdahulu. Kelemahan utama dalam upaya kita untuk menghasilkan ilmu pendidikan mungkin adalah kegagalan kita untuk mengenali bahwa pendidikan berasal dari filsafat. Jadi kita berurusan dengan isu-isu pinggiran dan mengabaikan sumbernya. Itulah sebabnya upaya kita tidak memiliki kesinambungan yang terpadu atau tujuan yang pasti. Kita puas mengambil satu saran di sini, satu petunjuk praktis di sana – tanpa pernah mau repot-repot mempertimbangkan dari paradigma mana saran dan petunjuk itu berasal.
Kita Berada di Ambang Kekacauan
Buku Alfred Fouillée yang luar biasa, Education from a National Standpoint (diterjemahkan oleh W. Greenstreet), seharusnya dapat memberikan pengaruh pada pertanyaan mendesak di zaman kita. Greenstreet menulis dalam kata pengantarnya, ‘Semangat reformasi sedang mengudara. Masalah apakah bahasa Yunani harus terus diajarkan di Universitas kita hanyalah puncak gunung es raksasa yang siap untuk menimpa kita dan melenyapkan ciri khas sistem pendidikan nasional kita. Sekilas tentang sistem pendidikan yang mengambil alih Eropa dan Amerika seharusnya sudah cukup untuk menunjukkan kepada orang yang jeli betapa dekatnya kita dengan ambang kekacauan.
Tetapi Kita Juga Berada di Tengah-tengah Revolusi Pendidikan
Kata-kata Greenstreet memang bijak dan berwawasan luas, namun janganlah kita putus asa seolah-olah ini adalah akhir dari segalanya. Yang benar adalah, kita sedang berada di tengah-tengah revolusi pendidikan. Kita tidak sedang berada di ambang kehancuran; kita baru saja keluar dari kekacauan. Kita akhirnya mulai menyadari bahwa pendidikan adalah proses penerapan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan. Kita sudah memiliki cukup bahan yang ada dalam filsafat kuno dan penelitian ilmiah saat ini untuk menciptakan sistem pendidikan untuk mengelola dan mengatur kehidupan kita dan anak-anak kita. Kita tidak perlu berpikir bahwa kita membutuhkan kode hukum pendidikan yang lengkap dan lengkap. Hal itu akan terjadi secara alamiah ketika umat manusia telah memenuhi kebutuhannya. Sementara itu, kita sudah cukup untuk memulainya, jika kita mau mempercayainya. Yang perlu kita lakukan adalah bersatu dan mengumpulkan sumber daya kita. Kemudian kita dapat memprioritaskan dan mendahulukan hal-hal yang paling penting, untuk memastikan bahwa pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari aplikasi praktis dari filosofi yang kita yakini. Oleh karena itu, jika kita ingin pemikiran pendidikan kita dibangun dengan baik dan efektif, kita perlu memeriksa filosofi dasar yang melandasinya. Kita harus siap untuk melacak setiap saran untuk membesarkan anak ke salah satu dari dua aliran filsafat yang menjadi sumbernya.
Apakah Sistem Pendidikan Kita Akan Berasal dari Naturalisme atau Idealisme?
Apakah kita menginginkan sistem pendidikan yang berasal dari naturalisme, atau idealisme–atau ada sesuatu di tengah-tengahnya? Alfred Fouillée mencoba menjawab dari sudut pandang seorang ahli pendidikan filosofis. Dia menganalisis teorinya dan menarik kesimpulan dengan lugas, mahir, dan berwawasan filosofis sehingga pembaca merasa yakin untuk mengikuti alasannya. Saya akui dia seperti wasit dalam permainan bisbol yang bersikeras bahwa seseorang harus bersikap adil terhadap kedua belah pihak, namun harus sedikit memihak pada timnya sendiri. Fouillée lebih berpihak pada budaya klasik daripada budaya ilmiah. Namun, ia tidak hanya berpihak pada klasik karena itulah yang ia kenal; ia memiliki alasan filosofis untuk menaruh kepercayaan pada pendidikan klasik. Pengamatannya terhadap masalah pendidikan nasional sangat mendidik dan menginspirasi para guru dan orang tua.
Perspektif Etis dalam Pendidikan
Dalam kata pengantarnya, Fouillée memberikan kunci tentang bagaimana ia menangani subjek ini. Ia mengatakan,
“Pada pertanyaan ini, Guyau telah meninggalkan jejaknya, seperti yang ia lakukan pada semua pertanyaan besar filsafat praktis. Dia telah menangani pertanyaan ini dari sudut pandang tertinggi, dan memperlakukannya dengan sangat ilmiah. Dia bertanya, Setelah kita mengetahui kekuatan dan kesalahan keturunan dari suatu ras, seberapa besar kita dapat memodifikasi keturunan tersebut dengan menggunakan pendidikan untuk menciptakan keturunan yang baru? Dan itulah masalah yang kita hadapi. Kita tidak hanya peduli dengan mendidik beberapa individu. Kita ingin melestarikan dan mengembangkan seluruh ras. Oleh karena itu, pendidikan perlu didasarkan pada hukum fisik dan moral dari budaya suatu ras. . . Sudut pandang etnis adalah perspektif yang tepat. Dengan menggunakan pendidikan sebagai alat, kita perlu menciptakan jenis-jenis kecenderungan turun-temurun yang akan berguna bagi ras manusia baik secara fisik maupun intelektual.
Fouillée mulai dari awal. Dia meneliti prinsip seleksi alam, dan menunjukkan bahwa prinsip ini bekerja, tidak hanya dalam kehidupan hewan, namun juga dalam kehidupan intelektual, estetika dan moral. Dia menunjukkan bahwa apa yang disebut seleksi psikologis itu ada, dan berevolusi tergantung pada ide siapa yang dianggap paling cocok untuk memutuskan hukum yang akan mengatur dunia. Dalam terang seleksi alamiah atas ide dan kekuatannya yang luar biasa, Fouillée meneliti masalah kontroversial tentang mata pelajaran dan metode pendidikan.
Tidak Ada Upaya yang Dilakukan untuk Menyatukan Pendidikan
Fouillée mengeluh, dengan alasan yang masuk akal, bahwa tidak ada masyarakat beradab yang pernah mencoba menyatukan atau menyelaraskan pendidikan secara keseluruhan. Sebaliknya, perhatian difokuskan pada isu-isu sekunder. Semua orang berdebat tentang kontroversi apakah pendidikan harus berfokus pada sastra atau sains, atau apakah bahasa modern harus diajarkan. Namun pendidikan lebih dari sekedar sastra dan sains. Fouillée memperkenalkan kandidat baru. Dia menulis,
“Dalam buku ini, kita akan bertanya apakah hubungan antara sains dan sastra dapat ditemukan dalam mengenal manusia, masyarakat, dan hukum alam semesta. Maksud saya, hubungan itu mungkin ada pada moral dan ilmu sosial serta estetika – dengan kata lain, filsafat.
Klaim Filosofi sebagai Sarana Pendidikan
Inilah inti dari apa yang telah dicoba dikembangkan oleh the Parents’ Union. ‘Pembelajaran (studi) yang paling cocok untuk umat manusia adalah manusia’ adalah salah satu jenis ‘pemikiran yang melampaui pemikiran mereka sendiri’ yang ditulis oleh para penyair. Saya dapat menambahkan kesaksian pribadi saya untuk membuktikan bahwa tidak ada studi lain yang saya tahu dapat membuka/memperluas pikiran dan jiwa seorang siswa muda seperti yang dapat dilakukan oleh filsafat.
Buku ini telah secara menyeluruh menyusun sebuah garis pemikiran yang unik – pemikiran bahwa, seperti halnya seorang anak yang memiliki kecenderungan dan minat individu harus didorong dan dididik untuk membangun kecenderungan dan minat tersebut, demikian pula sebuah bangsa.
“Ilmu sosial mungkin menolak untuk mengakui penjelasan mistis apapun tentang roh/semangat yang memberi karakter pada suatu bangsa, tetapi tidak menolak kesadaran yang direfleksikan oleh bangsa tersebut, atau keyakinan spontan akan fungsi-fungsi yang telah dialihkan kepadanya, yang dimiliki oleh setiap bangsa.
Sebuah Bangsa Harus Dididik untuk Tujuannya Semula.
Inilah saran yang produktif. Pertimbangkanlah seberapa cocoknya sebuah rencana untuk pelatihan fisik, intelektual, dan moral yang didasarkan pada cita-cita karakter bangsa dan takdir bangsa kita.
Bab Fouillée yang berjudul ‘Kekuatan Pendidikan dan Kekuatan Ide – Saran – Keturunan’ sangat berguna. Bab ini menggunakan awan samar-samar intuisi yang datang kepada kita dalam kaitannya dengan semua jenis keajaiban hipnotis di zaman kita. Fouillée mengklaim bahwa,
“Kemampuan pengajaran dan pendidikan disangkal oleh beberapa orang dan dibesar-besarkan oleh orang lain. Namun, itu sebenarnya tidak lebih dari kekuatan ide dan sentimen (cara pandang). Tidak mungkin untuk terlalu tepat mengenai seberapa besar dan seberapa jauh batas dari kekuatan ini. Masalah psikologis ini adalah dasar dari pengajaran.
Fouillée Mengabaikan Dasar Fisiologis Pendidikan
Pada dasarnya, Fouillée dengan berani kembali ke filosofi Plato. Dalam pikirannya, ide adalah segalanya, baik dalam filsafat maupun pendidikan. Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa. Gelombang naturalisme tampaknya menurun, dan tidak meninggalkan sesuatu yang berarti baginya, kecuali beberapa fragmen teori Darwin yang terdampar. Namun, pemikiran yang sangat alamiah dan materialistis inilah yang bertanggung jawab dalam memberikan kita fondasi fisik dari pendidikan [yaitu, fakta bahwa kebiasaan membuat perubahan fisik dalam otak].
Ketika kita percaya bahwa pikiran, seperti tokoh khayalan bidadari, terlalu ringan dan mudah sirna untuk berdampak terhadap materi, filosofi pendidikan kita menjadi samar-samar. Kita bahkan tidak bisa menangkap Ariel si putri duyung itu, jadi bagaimana kita bisa mendidiknya? Namun, kini para ahli fisiologi telah memberi kita bukti bahwa para tokoh khayalan itu setidaknya memiliki ujung jari-jari kaki di atas tanah yang kokoh, cukup untuk meninggalkan jejak kaki. Ada kesan yang ditinggalkan pada dunia fisik/materi yang nyaman dan familiar. Pikiran kita yang tidak berwujud meninggalkan jejaknya pada jaringan otak yang berwujud. Para ahli fisiologi mengatakan bahwa jejak-jejak ini menciptakan hubungan antara sel-sel saraf otak. Sederhananya, otak ‘berkembang untuk mengakomodasi apa pun yang biasa dilakukan paling awal dan paling sering’. Fakta ini memiliki banyak implikasi untuk satu aspek tertentu dari pendidikan yang hampir tidak disebutkan oleh Fouillée.
Aspek tersebut adalah pembentukan kebiasaan – kebiasaan fisik, intelektual, dan moral. Benarlah apa yang dikatakan, “Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah watak; taburlah watak, tuailah takdir. Dan salah satu tugas terpenting dari seorang pendidik adalah melatih tindakan-tindakan tertentu secara teratur, dengan suatu tujuan, dan secara metodis sehingga anak akan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak yang akan membuat hidupnya lebih lancar, dan ia akan mampu melakukannya tanpa banyak berpikir.
Masalah Moralitas Kecil Menjadi Masalah Kebiasaan
Kita baru saja mulai menyadari betapa bermanfaatnya hukum-hukum yang mengatur kehidupan kita. Jika seseorang dilatih untuk memiliki kebiasaan yang benar sejak kecil, maka hidupnya akan berjalan dengan lancar dalam kebiasaan tersebut hingga dewasa tanpa stres dan kecemasan karena harus membuat keputusan tentang masing-masing kebiasaan tersebut. Mungkin ada beberapa kali dalam sehari – mungkin sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali – ketika ia harus berhenti dan melalui proses pengambilan keputusan untuk memilih antara yang mulia dan yang kurang mulia, atau apa yang tampaknya baik dan apa yang benar-benar terbaik. Tetapi semua hal kecil yang lebih rutin tentang moralitas akan menjadi kebiasaan baginya. Dia dibesarkan untuk bersikap sopan, cekatan, tepat waktu, rapi, dan penuh perhatian. Dan dia akan melakukan semua hal ini secara otomatis. Jauh lebih mudah baginya untuk melakukan apa yang biasa dia lakukan daripada menyimpang dan menciptakan pola kebiasaan yang sama sekali baru. Dan alasan mengapa hal ini benar adalah karena Tuhan dengan penuh kasih dan kemurahan hati telah mengaturnya sehingga upaya pendidikan kita meninggalkan catatan nyata dan perubahan fisik dalam otak. Oleh karena itu, kita hanya perlu menghadapi ketegangan emosional dalam membuat keputusan moral dan berusaha untuk melakukan hal yang benar sesekali. “Menabur kebiasaan, menuai karakter. Dengan kata lain, membentuk kebiasaan adalah salah satu cara utama yang dapat kita lakukan untuk mengubah watak bawaan yang diwarisi oleh seorang anak, dan kebiasaannya akan menjadi karakter yang akan dimilikinya saat dewasa.
Ide yang Memulai Sebuah Kebiasaan
Tetapi bahkan dalam upaya fisik ini, kekuatan spiritual dari ide memiliki peran, karena sebuah kebiasaan dikembangkan ketika kita bertindak berdasarkan ide awal dengan melakukan tindakan yang sesuai berkali-kali. Sebagai contoh, seorang anak mungkin mendengar bahwa Duke Wellington tidur di tempat tidur yang terlalu sempit hingga ia sulit membalikkan badannya, maka dia berkata “Ketika saya merasa ingin membalikkan badan, itu berarti saatnya untuk bangun.” Anak-anak tidak suka bangun di pagi hari, tetapi ia ingin menjadi seperti pahlawan Waterloo. Anda, sebagai orang tuanya, menstimulasi dia untuk melakukan hal ini setiap hari selama kurang lebih satu bulan, hingga kebiasaan itu terbentuk. Pada saat itu, bangun tepat waktu sama mudahnya dengan tidur tepat waktu.
Pendidikan memiliki dua fungsi: (a) membentuk kebiasaan yang benar, dan, (b) menyajikan ide-ide yang menginspirasi. Yang pertama lebih bergantung pada proses fisik daripada yang kita sadari. Yang kedua sepenuhnya bersifat spiritual. Asal-usul, metode dan hasilnya tidak berwujud. Mungkinkah ini merupakan titik temu dari dua filosofi yang telah memecah belah umat manusia sejak manusia mulai berpikir tentang pikiran dan tindakan mereka? Kedua pandangan itu benar dan kita membutuhkan keduanya. Keduanya memiliki peran dalam membantu manusia untuk berkembang ke potensi tertinggi mereka. Inti dari pemikiran modern, dan, pada kenyataannya, dari semua pemikiran yang mendalam, adalah, Mungkinkah dunia spiritual memiliki semacam dampak pada dunia fisik? Setiap masalah, mulai dari pertanyaan tentang bagaimana cara mendidik anak kecil, hingga misteri inkarnasi, bermuara pada titik ini. Jika seseorang dapat memahami bahwa dunia spiritual mungkin berdampak pada dunia fisik, maka segala sesuatu yang lain akan menjadi jelas, mulai dari tindakan konyol yang dilakukan orang di bawah sugesti hipnotis, hingga keajaiban-keajaiban Kekristenan. Menjadi mungkin, meskipun tidak selalu mudah, untuk percaya ketika kita diberitahu bahwa upaya konsentrasi pikiran dan perasaan yang ekstrem telah memungkinkan beberapa orang yang taat untuk mengembangkan tanda salib di tangan dan kaki mereka sendiri. Jika kita dapat menerima kemungkinan bahwa kekuatan spiritual dapat mempengaruhi dunia fisik, tidak ada yang mustahil bagi iman kita. Yang kita minta hanyalah sebuah preseden. Namun, faktanya, interaksi antara kekuatan rohani dan jasmani ini terjadi setiap saat. Ini adalah pengalaman kita sehari-hari yang umum dan normal. Bukankah pengaruh roh pada materi yang mempengaruhi daging fisik kita untuk menunjukkan karakter dan perilaku kita dalam ekspresi wajah kita? Dan bukan hanya wajah kita yang memanifestasikan pribadi kita yang sesungguhnya – seorang pengamat yang baik tentang sifat manusia dapat membaca bahasa tubuh seseorang dengan cukup baik bahkan dari belakang. Seorang pematung tahu cara kerjanya. Ada patung Pangeran Albert yang baru saja meninggal di Edinburgh yang menunjukkan berbagai kelompok orang yang memberikan penghormatan kepada Pangeran Consort. Jika Anda berdiri sehingga Anda dapat melihat punggung dan bahu orang-orang, akan terlihat jelas mana yang cendekiawan, tentara, petani, dan pengrajin. Bukankah ini adalah pengaruh roh atas materi?
Tidak Ada Jalan Tengah
Hal ini menempatkan kami di tengah-tengah dilema. Tidak ada jalan tengah yang terbuka bagi kita. Para ahli fisiologi telah membuktikan secara meyakinkan bahwa otak fisiklah yang berpikir. Faktanya, pemikiran fisik dapat berlangsung di dalam otak bahkan tanpa kehendak sadar atau partisipasi orang tersebut. Bahkan lebih dari itu, beberapa karya seni dan sastra terbaik kita adalah hasil dari pemikiran bawah sadar. Jadi kita harus mengakui salah satu dari dua hal. Entah pikiran adalah proses fisik dari jaringan otak material, hanya reaksi kimiawi, atau otak fisik adalah agen dari pikiran spiritual, dan pikiran spiritual bekerja padanya seperti jari-jari seorang pianis yang menekan tuts alat musiknya. Jika kita dapat mengizinkan hal ini, maka seluruh pertanyaan akan terjawab. Hal-hal spiritual memang dapat mempengaruhi materi fisik. Ini adalah fakta yang diterima.
Individualitas Anak-Anak Terjaga
Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, orang tua dan guru hanya diperbolehkan memainkan peran kecil dalam pekerjaan besar pendidikan. Anda dapat membawa kuda ke air, tetapi Anda tidak dapat membuatnya minum. Dengan cara yang sama, Anda bisa memberikan ide yang paling cocok untuk pikiran seorang anak, tapi Anda tidak bisa mengetahui mana yang akan dia terima dan mana yang akan dia tolak. Dan merupakan hal yang baik bagi kita bahwa individualitas seorang anak terlindungi oleh perlindungan yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Tugas kita adalah memastikan bahwa piring pendidikannya selalu diisi ulang dengan ide-ide yang tepat dan menginspirasi. Setelah kita melakukan tugas kita, kita harus menyerahkannya pada selera mental anak untuk mengambil apa yang dibutuhkannya, dan seberapa banyak yang dibutuhkannya. Tetapi kita perlu memperhatikan satu hal. Tanda-tanda kekenyangan yang paling kecil, terutama saat kita berbicara tentang ide-ide moral dan agama, harus dianggap sebagai peringatan serius. Jika kita tetap bertahan pada titik tersebut, kita mungkin akan merusak selera makan anak selamanya, dan dia mungkin tidak akan pernah mau duduk untuk menyantap makanan itu lagi.
Pentingnya Gagasan yang Menarik
Keterbatasan yang kita rasakan dalam kemampuan kita sendiri dalam menyampaikan ide seharusnya membuat kita lebih berhati-hati dalam menentukan ide apa yang akan kita sampaikan kepada anak-anak kita. Kita tidak akan puas jika mereka hanya belajar geografi, sejarah, bahasa Latin, dan lain-lain. Kita ingin tahu gagasan-gagasan menarik apa yang disajikan dalam setiap mata pelajaran, dan bagaimana gagasan-gagasan itu mempengaruhi perkembangan intelektual dan moral anak. Kita akan memiliki tekad untuk mempertimbangkan masalah pendidikan karena Fouillée menyajikannya dengan tenang dan tulus. Kita mungkin tidak akan setuju dengannya dalam banyak detail, tetapi kemungkinan besar kita akan setuju dengan kesimpulannya – kesimpulan bahwa bukan mata pelajaran yang hanya bersifat praktis/kejuruan, tetapi topik-topik moral dan ilmu sosial yang tercakup dalam sejarah, sastra, atau apa pun, yang tidak dapat kita tinggalkan dalam kurikulum karena murid-murid kita adalah “makhluk yang bernapas dengan penuh pertimbangan”.
Bagan mata pelajaran yang dipelajari dalam Lampiran sangat membantu. Setiap mata pelajaran diperlakukan dari sudut pandang yang ideal.
Semangat Ilmiah
‘Ada dua hal yang diperlukan. Pertama, kita harus memperkenalkan semangat dan metode filosofis ke dalam setiap subjek ilmiah yang dipelajari. Siswa perlu mencari prinsip-prinsip dan kesimpulan yang paling umum. Kemudian kita perlu mereduksi ilmu-ilmu yang berbeda ke dalam kesamaan dan kesatuannya dengan memberikan pelatihan filsafat yang sehat. Filsafat harus diwajibkan bagi para siswa sains dengan cara yang sama seperti yang diwajibkan bagi para siswa sastra. Descartes mengatakan bahwa kebenaran ilmiah adalah pertempuran yang dimenangkan. Kita harus menggambarkan pertempuran yang paling penting dan paling heroik dari pertempuran ini kepada para siswa muda. Hal itu akan membuat mereka tertarik pada semangat ilmiah karena mereka akan antusias dengan penaklukan kebenaran. Mereka akan dapat melihat kekuatan penalaran, yang menghasilkan penemuan-penemuan besar di masa lalu, dan akan menghasilkan lebih banyak lagi di masa depan. Bahkan aritmatika dan geometri akan tampak menarik jika siswa belajar sesuatu tentang sejarah teorema utama mereka. Bayangkan jika seorang anak dapat merasakan bahwa ia berada di sana selama upaya Pythagoras, atau Plato, atau Euclid – atau di masa yang lebih modern, Viète, Descartes, Pascal, atau Leibnitz. Teori-teori besar tidak lagi tampak seperti abstrak tak bernyawa dan anonim. Mereka akan menjadi manusia, kebenaran yang hidup, masing-masing dengan ceritanya sendiri, seperti patung Michelangelo, atau lukisan Raphael.