Pada suatu masa hiduplah dua pangeran kembar bernama Acrisius dan Prætus. Mereka tinggal di lembah Argos yang menyenangkan, jauh di Hellas. Mereka memiliki padang rumput dan kebun anggur yang subur, domba dan lembu, kawanan besar kuda yang mencari makan di Lerna Fen, dan semua yang dibutuhkan manusia untuk membuat mereka bahagia. Namun celakanya, mereka cemburu satu sama lain. Sejak lahir mereka mulai bertengkar; dan ketika mereka dewasa masing-masing mencoba untuk mengambil bagian kerajaan yang lain agar dapat menyimpan semua untuk dirinya sendiri. Awalnya Acrisius mengusir Prætus. Prætus pun menyeberangi lautan, membawa pulang seorang putri asing untuk istrinya dan prajurit asing yang disebut Cyclops untuk membantunya. Dia mengusir Acrisius pada gilirannya; dan kemudian mereka bertempur untuk waktu yang lama di seluruh negeri, sampai pertengkaran itu diselesaikan. Acrisius merebut Argos dan setengah dari tanah itu sementara Prœtus merebut Tiryns dan separuh bagian tanah lainnya. Prœtus dan para Cyclope-nya membangun tembok-tembok besar di sekeliling Tiryns dari batu-batu yang belum dipahat, yang masih berdiri hingga hari ini.
Tetapi datanglah seorang peramal ke hadapan Acrisius yang keras hati itu dan bernubuat melawannya. Dia berkata, “Karena kau telah melawan ‘darah’mu sendiri, maka ‘darah’mu sendiri pun akan bangkit melawanmu. Karena kau telah berdosa terhadap keluargamu, oleh keluargalah kau akan dihukum. Putrimu Danae akan melahirkan seorang putra, dan di tangan putranya itu kau akan mati. Demikianlah para Dewa telah menetapkan, dan itu pasti akan terjadi.”
Pada saat itu Acrisius sangat ketakutan, tapi dia tidak memperbaiki dirinya. Dia berlaku kejam terhadap keluarganya sendiri. Alih-alih bertobat dan bersikap baik kepada mereka, dia malah menjadi lebih kejam dari sebelumnya. Dia mengurung putrinya yang cantik, Danae, di sebuah gua bawah tanah yang dilapisi dengan kuningan, sehingga tidak ada yang mungkin mendekatinya. Jadi dia menganggap dirinya lebih licik daripada para Dewa, tetapi kau akan melihat segera apakah dia dapat melarikan diri dari mereka.
Kemudian terjadilah bahwa pada waktunya Danae melahirkan seorang putra. Bayi yang begitu cantik sehingga siapa pun kecuali Raja Acrisius akan mengasihaninya. Namun, tanpa belas kasihan dia membawa Danae dan bayinya ke tepi laut, memasukkan mereka ke dalam peti kayu besar dan mendorong mereka ke laut agar dibawa angin dan ombak ke mana pun mereka mau.
Angin barat laut bertiup segar dari pegunungan biru dan menuruni lembah Argos yang menyenangkan lalu menjauh ke laut. Dan mengapunglah sang ibu dan bayinya jauh ke laut, sementara semua yang melihat mereka menangis, kecuali ayah yang kejam itu, Raja Acrisius.
Mereka terus mengapung, peti kayunya menari-nari di atas ombak dan bayi itu tertidur di dada ibunya. Namun, ibu yang malang itu tidak bisa tidur, dia terus memperhatikan dan menangis, dan dia bernyanyi untuk bayinya saat mereka mengapung. Lagu yang dia nyanyikan akan kalian pelajari sendiri suatu hari nanti.
Dan sekarang mereka telah melewati tanjung biru terakhir dan masuk ke laut lepas. Tidak ada yang mengelilingi mereka selain ombak, langit, dan angin. Tapi ombaknya rendah, langitnya cerah, dan angin sepoi-sepoi lembut, karena ini adalah hari-hari ketika Halcyone dan Ceyx membangun sarang mereka, sehingga tidak akan ada badai yang mengacak-acak lautan musim panas yang menyenangkan ini.
Siapakah Halcyone dan Ceyx? Kau akan mendengar kisah ini sementara peti terus mengapung. Halcyone adalah seorang gadis peri, putri pantai dan angin. Dia mencintai seorang anak pelaut, menikahinya, dan tidak ada yang sebahagia mereka di bumi ini. Tapi akhirnya kapal Ceyx hancur dan sebelum dia bisa berenang ke pantai ombak menelannya. Halcyone melihatnya tenggelam dan melompat ke laut untuk menolongnya, tapi sia-sia. Kemudian Dewa mengasihani mereka berdua, dan mengubah mereka menjadi dua burung laut yang cantik. Sekarang mereka membangun sarang terapung setiap tahun dan berlayar naik turun dengan bahagia selamanya di atas lautan Yunani yang menyenangkan.
Maka satu malam berlalu, satu siang berlalu menjadi satu hari yang panjang bagi Danae. Lalu satu malam dan siang lagi, sampai Danae pingsan karena kelaparan dan menangis, namun tidak ada daratan yang terlihat. Selama itu sang bayi tidur dengan tenang dan akhirnya Danae yang malang menundukkan kepalanya, tertidur pulas dengan pipi menempel di pipi bayi itu.
Setelah beberapa saat dia tiba-tiba terbangun karena peti itu bergemuruh, bergemeretak, dan udara penuh dengan suara. Dia mendongak, di atas kepalanya ada tebing-tebing besar, semuanya tampak merah di bawah matahari terbenam. Di sekitarnya tampak bebatuan dan pecahannya juga serpihan buih yang beterbangan. Dia mengatupkan kedua tangannya dan berteriak keras minta tolong. Ketika dia menangis, bantuan datang padanya. Sesaat datanglah dari atas bebatuan seorang pria tinggi dan agung yang melihat ke bawah, memperhatikan Danae malang yang terombang-ambing dalam peti kayu di antara deburan ombak.
Dia mengenakan mantel yang kasar, dan di kepalanya ada topi lebar untuk menaungi wajahnya. Dia membawa trisula di tangannya untuk menombak ikan, dan di atas bahunya ada jaring. Namun Danae dapat melihat bahwa dia bukanlah orang biasa dari perawakan dan cara berjalannya, serta rambut dan janggut keemasannya yang tergerai. Juga dari dua pelayan yang datang di belakangnya membawakan keranjang untuk ikannya. Namun Danae hampir tidak punya waktu untuk memperhatikan, karena orang itu meletakkan trisula dan melompat ke bawah bebatuan, melemparkan jaringnya dengan sangat yakin ke Danae dan petinya. Kemudian dia menariknya, dan Danae bersama bayinya pun aman di atas langkan batu.
Kemudian nelayan itu memegang tangan Danae, mengangkatnya keluar dari peti dan berkata,
“Wahai gadis cantik, kesempatan aneh apa yang membawamu ke pulau ini dengan kapal yang begitu rapuh? Siapa kamu dan dari mana? Tentunya kau adalah putri seorang raja, dan anak laki-laki entah bagaimana bukan manusia biasa.”
Saat berbicara dia menunjuk ke bayi itu karena wajahnya bersinar seperti bintang pagi.
Tapi Danae hanya menundukkan kepalanya, dan menangis tersedu-sedu, “Katakan padaku di negeri mana aku yang bersedih ini tiba, dan di antara orang-orang apa aku berada!”
Lelaki itu berkata, “Pulau ini bernama Seriphos. Aku orang Hellen dan tinggal di sana. Aku saudara raja Polydectes, orang-orang memanggilku Dictys si Penjaring, karena aku menangkap ikan di pantai.”
Kemudian Danae tersungkur di kakinya, memeluk lututnya dan menangis,
“Oh, Tuan, kasihanilah orang asing, yang telah dibawa oleh malapetaka yang kejam ke tanahmu. Biarkan aku tinggal di rumahmu sebagai pelayan, tetapi perlakukan aku dengan hormat, karena aku pernah menjadi putri raja. Anak laki-lakiku ini (seperti yang kau katakan sebelumnya) bukanlah manusia biasa. Aku tidak akan membebanimu atau makan roti buah kemalasan karena aku lebih ahli dalam menenun dan menyulam daripada semua gadis di negeriku.”
Danae hendak melanjutkan, tetapi Dictys menghentikan dan mengangkatnya, kemudian berkata, “Putriku, aku sudah tua dan rambutku mulai beruban sementara aku tidak punya anak untuk membuat rumahku ceria. Ikutlah denganku kalau begitu, dan kau akan menjadi anak perempuan bagiku dan istriku, sedangkan bayi ini akan menjadi cucu kami. Aku takut pada para Dewa sehingga akan menunjukkan keramahan kepada semua orang asing. Mengetahui bahwa perbuatan baik, seperti perbuatan jahat, selalu kembali kepada mereka yang melakukannya.”
Danae pun terhibur dan pulang bersama Dictys si nelayan yang baik, dan menjadi anak perempuan bagi dia dan istrinya sampai lima belas tahun berlalu.