BAB XI KETEL AIR

Hari itu, mama Ambroisine sangat lelah. Ia baru saja menurunkan ketel, penggorengan, lampu, tempat lilin, panci beserta tutupnya, dan wadah makanan dari rak. Setelah menggosok mereka dengan abu dan pasir halus, mencucinya dengan bersih, ia meletakkan peralatan itu di bawah matahari untuk mengeringkannya. Mereka berkilau bagai cermin. Ketel-ketel yang nampak sangat menakjubkan dengan pantulan-pantulan merah jambunya. Tempat lilin kuning mengkilat. Emile dan Jules terkagum-kagum.

‘Aku sangat ingin tahu terbuat dari apakah ketel itu sehingga berkilau seperti itu,’ ujar Emile. ‘Luarnya sangat jelek, hitam, penuh jelaga, tetapi bagian dalamnya sangat indah!’

‘Kau harus tanya paman,’ jawab kakaknya.

‘Baiklah,’ Emile menyetujui.

‘Ketel terbuat dari tembaga,’ paman mulai bercerita.

‘Dan tembaga, terbuat dari apa?’ tanya Jules.

‘Tembaga tidak dibuat. Di beberapa negara, Tembaga ini bercampur dengan batu. Zat yang manusia tidak dapat membuatnya. Kita menggunakan zat yang telah Tuhan karuniakan kepada kita di dasar bumi untuk tujuan industri; tetapi seluruh pengetahuan dan keahlian kita tidak dapat menghasilkannya.

‘Di dasar gunung-gunung dimana tembaga ditemukan, mereka melubangi gunung dan membuat galeri-galeri sehingga dapat sampai ke dasar bumi. Para pekerjanya disebut penambang, dengan lampu yang menerangi, mereka menghantam dinding batu dengan keras, sementara yang lain membawa balok-balok batu tersebut keluar.  Di dalam balok-balok ini terdapat inti tembaga. Di perapian mereka memanaskan inti tembaga itu dengan temperatur yang sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari anas kompor kita, ketika berwarna merah, tidak ada apa-apanya. Maka Tembaga pun mencair, mengalir dan terpisah. Kemudian dengan menggunakan palu gada besar yang sangat berat, yang digerakkan oleh roda dan roda ini digerakkan oleh air, mereka menghantam massa tembaga. Sedikit-sedikit, menjadi tipis dan dibawa ke bak besar.

‘Pandai tembaga ini pun melanjutkan pekerjaannya. Ia mengambil mangkuk belum berbentuk ini lalu dengan pukulan palu sedikit demi sedikit, membentuknya di atas landasan sehingga memperoleh bentuk yang rata.

‘Itulah mengapa pandai tembaga memukul-mukul dengan palunya,’ Jules berkomentar. ‘Aku sering bertanya-tanya saat melintas di depan toko mereka, mengapa mereka sangat berisik, memalu-malu tanpa henti. Ternyata mereka sedang menipiskan tembaga, membentuknya menjadi penggorengan dan ketel.’

Di sini, Emile bertanya; Ketika sebuah ketel sudah usang, lubang-lubang muncul dan ia tak lagi dapat digunakan, lalu apa yang mereka lakukan? Kudengar mama Ambrosine menjual ketel yang sudah usang.”

‘Ketel itu dicairkan dan dibuat menjadi ketel baru,’ jawab paman Paul.

‘Kalau begitu, tembaga tidak musnah?’

‘Tembaga akan musnah, kawan; ketika mereka menggosoknya dengan amplas agar berkilau, saat itulah tembaga itu hilang. Ada juga yang hilang karena panas; tetapi yang tersisa masih tetap bagus.’

‘Mama Ambrosine juga pernah bilang bahwa ia membetulkan lagi lampu yang tak punya kaki. Lampu terbuat dari apa?

‘Lampu terbuat dari kaleng, jenis lain yang kita temukan di dasar bumi, bahan yang tak dapat kita buat sendiri’

Leave a Comment

error: Content is protected !!