“Mereka adalah para pekerja yang berhati mulia, ” Paman Paul memulai cerita. “Setiap pagi ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, aku senang memperhatikan kegiatan di sekitar gundukan-gundukan tanah kecil-kecil itu. Setiap puncaknya berlubang dan merupakan pintu keluar masuk.
“Beberapa semut ada yang keluar dari bawah gundukan. Yang lain berbaris mengikuti di belakang. Di kedua gigi nya mereka tercapit sebutir pasir yang sangat berat. Sampai di puncak gundukan mereka lepaskan bulir tanah yang kemudian menggelinding ke lerengan. Semut-semut itu segera turun ke lubang. Dalam perjalanan, mereka tak bermain-main atau berhenti sejenak untuk istirahat. Pekerjaan mereka sangat penting dan masih banyak yang harus dilakukan. Setiap semut, bersungguh-sungguh. Mereka sampai di puncak, lalu menjatuhkan bulir tanah kemudian turun kembali untuk mencari bulir yang lain.
Apa sih yang sedang mereka kerjakan?
Ooh, ternyata mereka sedang membangun sebuah kota bawah tanah yang memiliki jalan-jalan, ruangan, kamar, dan gudang. Mereka sedang membuat lubang tempat tinggal mereka dan keluarga. Di kedalaman dimana air hujan tak mampu menembus, mereka menggali tanah membentuk serambi-serambi, yang memanjangkan nya menjadi jalanan penghubung, lalu dibagi lagi menjadi jalan-jalan kecil yang bersinggungan. Ada jalanan yang menanjak dan kadang turun. Lalu kita bisa lihat ruangan besar.
Projek maha karya ini dilakukan dengan sebulir demi sebulir tanah yang ditarik oleh rahang kuat. Sekiranya kita dapat menyaksikan tentara hitam sang para penambang bekerja di bawah tanah, kita akan terkagum-kagum.
Ribuan jumlah mereka, menggaruk, menggigit, menarik, mendorong, dalam gelap yang pekat.
Betapa sabarnya. Betapa keras kerja mereka. Saat bulir tanah berhasil diperoleh, lihatlah bagaimana semut-semut itu berjalan: kepala merea tegak dan bangga membawanya ke puncak dengan penuh kemenangan. Aku pernah melihat semut-semut yang menahan beban sangat berat di kepala-kepala mereka, kelelahan menuju puncak gundukan. Saat berpapasan dengan semut lain mereka seolah berkata “Lihat kerjaku!”
Mereka boleh merasa bangga karena rasa bangga mereka mulia.
Sedikit demi sedikit, di gerbang kota atau di ujung lubang, gundukan kecil pun meninggi. Ia terbentuk dari bahan-bahan galian dari kota yang sedang mereka dirikan. Semakin tinggi gundukan, semakin besar kota bawah tanah tempat mereka tinggal, sederhana.
Pekerjaan membuat lubang-lubang ruangan ini belum selesai: mereka harus menghindari longsoran, memperkuat tempat-tempat yang masih lemah, memancang kubah-kubah dengan pilar-pilar dan membuat sekat-sekat.
Para semut penambang dibantu oleh tukang kayu. Tugas penambang adalah mengangkut tanah dari bukit sementara para tukang kayu membawa materi bangunan: materi kayu tiang penyangga dan balok-balok kecil yang sesuai untuk bangunan besar. Selembar jerami kecil merupakan tiang penyangga yang kokoh untuk langit-langit sementara batang daun kering mereka sulap menjadi tiang-tiang yang kuat. Para tukang kayu menjelajah hutan terdekat mencari helai-helai rumput.
Perhatikan! Kalian lihat kulit bulir gandum ini. Sangat tipis, kering dan keras. Cocok untuk papan-papan pembatas yang sedang mereka bangun di bawah sana. Namun gandum itu berat, sangat berat. Semut mundur, mendukungnya. Ia tak berhasil: benda berat itu tak bergerak. Sang semut mencoba lagi, tubuhnya bergetar menumpahkan seluruh energi. Kulit gandum hanya bergerak sedikit. Ia pun mengakui ketidakmampuannya. Dia pun pergi. Apa ia akan tinggalkan gandum itu begitu saja? Tidak! Semut adalah semut, yang memiliki kegigihan untuk meraih keberhasilan. Kali ini ia datang dengan dua ekor semut lain membantunya. Yang satu menarik dari depan, yang lain menyentak ke sisi lain, dan lihat! Gandum itu berguling. Ia bergerak dan akan sampai ke tujuan. Ada tangga-tangga yang sulit tetapi mereka melalui jalur yang membantu mereka.
Mereka berhasil, bukan tanpa kesulitan. Gandum berada di pintu kota bawah tanah. Persoalannya menjadi rumit; ia miring, bersandar pada ujung lubang. Gandum tak dapat masuk. Semut-semut berdatangan untuk membantu. Sepuluh hingga dua puluh semut bersatu namun tanpa hasil. Dua atau tiga semut, nampaknya para insinyurnya, keluar barisan dan mencari tahu penyebab gandum tak bergerak. Masalah Pun terpecahkan: mereka harus menggeser ujung gandum. Gandum ditarik sedikit sehingga satu ujungnya menghadap lubang. Seekor semut menarik ujungnya sementara yang lain mengangkat ujung lainnya. Bulir gandum itupun terbalik dan jatuh ke lubang, tetapi dipegang oleh tukang kayu dengan kuat.
Dengan beban material yang mereka gali mereka bekerja tanpa menoleh pekerjaan para tukang kayu. Mereka bahkan berani melewati dengan resiko cacat. Itulah apa yang mereka kerjakan.
“Untuk bekerja keras, orang harus makan. Rasa lapar yang besar disebabkan oleh pekerjaan yang berat. Para semut pemerah susu masuk barisan. Mereka baru saja memerah susu dan membagi-bagikannya.
Emil tiba-tiba tertawa. ‘Tapi tak mungkin demikian! Ujarnya pada paman. ‘Semut pemerah, sapi, dan susu! Ini cerita khayalan sama seperti yang diceritakan Mama Ambrosine.
Tak hanya Emile yang terkejut pada raut wajah Paman Paul. Mama Ambroisine tak lagi memintal, Jacques menghentikan anyamannya, Jules serta Claire menatap. Semua hanya lelucon.
‘Kalian tidak percaya! Paman tidak bercanda.’