BAB 9. KEDUA EKOR BURUNG PIPIT

Kedua ekor burung pipit gereja telah tertangkap. Perangkap pegas yang tersembunyi di bawah lapisan tipis tanah di tengah deret kacang polong bertunas yang masing-masing diberi umpan sepotong roti pun langsung bekerja. Setelah dilepaskan pada waktunya sehingga terhindar dari tercekik, kedua tawanan itu sekarang di dalam sangkar dan bergerak ceria. Anak-anak lelaki itu tak sabar untuk mengetahui apa yang akan dilakukan paman pada burung-burung tadi, mereka bersemangat menantikan eksperimen-eksperimen yang sangat menarik dan penting terkait burung-burung itu. Bagi mereka, sebuah perjalanan belajar yang menghasilkan keingintahuan besar dan didalamnya terdapat kesenangan menangkap burung gereja adalah permainan yang sebenarnya,—suatu keadaan yang sangat menyenangkan bagi paman mereka, yang yakin bahwa jika seseorang ingin belajar dengan baik maka harus dapat menikmati prosesnya. “Sejak kemarin,” katanya kepada mereka, bell jar penuh gas, di mana fosfor tidak akan terbakar lagi, telah diletakkan ke dalam mangkuk air. Setelah percobaan, tersisalah asap putih dan sebagian kecil asapnya mungkin terus bertahan hingga sore hari, gas itu memiliki cukup waktu untuk menghilang, terserap oleh air, sehingga saat ini tidak ada apa pun di dalam gelas kecuali nitrogen murni yang sempurna. Perhatikan tingkat transparansi dari gas tersebut, ia tembus pandang sepenuhnya. 

Tidakkah kalian menganggapnya sebagai udara biasa, udara seperti yang mengisi bell jar (tutup kaca berbentuk lonceng) pada awalnya? Kelihatannya sama saja, namun betapa berbedanya sifat-sifatnya! Tidak ada apa pun yang akan terbakar pada gas ini, tidak peduli apa pun yang kita coba. Setelah apa yang terjadi, itu sudah cukup jelas tanpa perlu demonstrasi lebih lanjut lagi. Beberapa fosfor—sebenarnya cukup banyak—tertinggal di dalam bell jar, seperti yang dibuktikan saat kita membakar residu ini di kebun. Jika sisa fosfor ini tidak dapat terbakar di bawah bell jar, tetapi sangat mudah terbakar di udara terbuka, alasannya pasti karena tidak ada lagi gas yang dibutuhkan untuk mendukung pembakaran di dalam bell jar, setelah fosfor menghabiskan apa yang semula terkandung di dalam bell jar. Di udara terbuka ditemukan persediaan tak terbatas dari unsur gas yang tidak ditemukan di bawah bell jar, dan itulah sebabnya di udara terbuka ia mulai menyala lagi lebih terang dari sebelumnya dan terus menyala sampai partikel terakhir fosfor habis.

Oleh karena itu cukup jelas bahwa karena fosfor tidak dapat terus menyala dalam unsur gas yang tersisa di dalam bell jar, tidak ada zat lain apa pun yang dapat terbakar di sana. Jika zat yang paling mudah terbakar berhenti menyala, bagaimana mungkin zat yang kurang mudah terbakar tetap menyala?’

“Itu sangat jelas,” Jules mengakui; “Apa yang tidak bisa dilakukan oleh yang terkuat, tentu saja tidak bisa dilakukan oleh yang lebih lemah. Kemudian unsur gas ini—nitrogen, begitu Anda menyebutnya—akan segera memadamkan api yang bisa disemburkan ke dalamnya?”

“Tentu saja. Tidak ada zat terbakar yang dicelupkan ke dalamnya yang bisa terus menyala bahkan untuk sesaat.”

“Itu akan sama seperti ketika lilin berhenti menyala di dalam botol? Emile tidak bisa membuatnya tetap menyala walau ia telah upayakan segenap usahanya.”

“Ya, itulah, hanya saja yang terjadi tidak seperti itu. Kan sudah kubilang bahwa nyala lilin tidak memiliki energi yang cukup untuk menyerap semua oksigen di udara. Sebagian besar akan tersisa seperti halnya eksperimen yang kita lakukan sebelumnya; artinya, dalam percobaan dengan lilin yang menyala di dalam botol terbalik, yang tersisa dari gas bukanlah nitrogen murni; masih ada sedikit oksigen yang tercampur di dalamnya, tetapi tidak cukup untuk menjaga lilin kedua menyala di tempat lilin pertama berhenti menyala. Faktanya, kami menemukan bahwa kami tidak dapat meletakkan lilin yang menyala di sana tanpa lilin itu segera padam. Tetapi zat yang lebih mudah terbakar, seperti fosfor, akan menemukan apa yang dibutuhkannya di antara residu oksigen di sana, dan akan terus menyala selama beberapa waktu sedangkan lilin tidak bisa”

“Kalau begitu, seseorang bisa menyimpulkannya begini,” Jules pun berteori: “fosfor sangat haus akan  oksigen sehingga menjilat sisa-sisa yang diserap lilin, yang lebih lembut selera makannya.’

“Ya, teori itu menggambarkan proses yang terjadi dengan mengagumkan. Jika ada sisa-sisa oksigen maka fosfor dengan nafsu makannya yang kuat pasti akan melahapnya; tetapi jika tidak ada sisa oksigen sama sekali, fosfor pasti pergi tanpanya, dan ketika itu terjadi maka fosfor pun ikut habis terbakar seperti halnya bahan yang mudah terbakar lainnya.’

“Tampaknya cukup jelas,” kata Emile, ikut berpendapat; “tapi, bagaimanapun juga, aku ingin melihatnya dibuktikan melalui eksperimen.

“Apa yang kau inginkan adalah persis seperti apa yang aku usulkan untuk dilakukan,” jawab pamannya; “hanya saja kita harus terlebih dahulu memindahkan sedikit gas dari gelas lonceng ke botol bermulut lebar, di mana pengujian kita dapat dilakukan dengan lebih mudah. Jadi sekarang saatnya bagi kita untuk mempraktekkan sedikit yang telah saya ceritakan tentang transfusi gas. Karena mangkuk kita terlalu kecil dan dangkal untuk tujuan ini, kita akan menggunakan bak besar berisi air.”

Sambil berkata demikian, Paman Paul menurunkan mangkuk dengan bell glass (tabung kaca berbentuk lonceng) ke dalam bak tadi tanpa merubah posisi keduanya, dan segera setelah tepi bell glass terbenam dia menarik mangkoknya dari dalam air. Botol bermulut lebar berisi air, terbalik dan hanya mulutnya yang terendam, dipegang oleh Jules. Pamannya sedikit memiringkan bell glass tadi, dan memasukkan sebagian gas ke dalam botol dan mengisinya. Kemudian mangkuk itu kembali diselipkan di bawah tabung lonceng, dan semuanya diletakkan kembali di atas meja. Akhirnya, botol berisi nitrogen dan ditutup dengan telapak tangan, diletakkan tegak di atas meja dan sepotong kaca diletakkan di atas mulutnya. Dalam berbagai aktivitas yang lebih sulit dijelaskan daripada dijalankan ini, berhati-hatilah untuk tidak membiarkan wadah nitrogen terbuka ke udara luar, tindakan pencegahan yang sangat diperlukan dan mudah diamati adalah dengan menjaga bagian mulut botolnya tetap terendam dan bekerja di bawah air.

“Di sini kita punya botol penuh nitrogen,” kata Paman Paul. “Sekarang apa yang harus kita coba dulu,—belerang, fosfor, atau lilin?”

“Mari kita mulai dengan yang terlemah,” saran Emile, “dan coba lilinnya dulu.”

Lilin diikat ke kawat lalu dinyalakan, kemudian perlahan-lahan diturunkan ke dalam botol. Lilin tersebut hampir tidak melewati mulut botol ketika tiba-tiba nyalanya padam sepenuhnya, untuk sesaat pun ia tidak dapat mempertahankan cahaya merah pada sumbunya, yang biasa bertahan selama beberapa waktu bahkan setelah nyalanya ditiup. Bahkan ketika dibenamkan ke dalam air nyala nya pun tak akan mati secepat itu.

”Ha!” teriak Emile, ”itu jauh lebih baik daripada saat kami mencobanya sebelumnya. Kemarin nyala api terkadang tampak ragu-ragu untuk keluar; lilinnya harus diturunkan dengan baik ke dalam botol, dan sumbunya tampak ingin mempertahankan sinar nyalanya; tapi hari ini kita tidak melihat hal semacam itu. Begitu lilin diturunkan ke leher botol, api dan sinar nyalanya, keduanya lenyap pada saat yang bersamaan. Dan sekarang mari kita coba fosfor.”

“Fosfor tidak akan lebih mudah terbakar; kalian lihat saja nanti.”

Kepingan barang pecah belah seukuran koin lima franc (diameter sekitar 3cm) kembali digunakan sebagai cangkir kecil. Sebuah kawat besi ditekuk di salah satu ujungnya menjadi sebuah cincin untuk memegang cangkir ini, yang fungsinya untuk menahan potongan fosfor. Pengaturan ini selesai, pertama-tama nyalakan fosfor, dan kemudian diturunkan melalui kawat besi ke dalam botol nitrogen. Apinya mati seketika, seperti yang diperkirakan sebelumnya. Apa yang terbakar dengan menyala-nyala di luar botol segera menolak untuk terbakar ketika dimasukkan ke dalamnya.

Tes serupa dilakukan dengan belerang, yang menurut Emile mungkin terbakar di dalam botol karena sifatnya yang mudah terbakar; tapi nyala belerang itu mati secepat lilin dan fosfor.

“Tes lebih lanjut tidak perlu,” kata Paman Paul; “mereka hanya akan menghasilkan hasil yang sama. Tidak ada yang bisa membakar nitrogen; atau, dengan kata lain, gas itu tidak akan mendukung pembakaran.”

“Jadi sekarang kami akan melanjutkan untuk menggunakan dua burung pipit kalian, yang perannya dalam studi kimia kita masih menjadi teka-teki bagi kalian. Burung-burung pipit tersebut akan mengajari kita beberapa hal yang sangat menarik, untuk menggantikan kacang polong yang telah mereka hancurkan. ‘Pertama-tama, kita harus mengisi botol kita sekali lagi dengan nitrogen. Apa yang tersisa di dalamnya telah bersentuhan dengan fosfor, belerang, dan minyak lilin; oleh karena itu kami tidak yakin gasnya murni sempurna, sebagaimana mestinya untuk tujuan percobaan kita. Dengan demikian, kita akan mendapatkan pasokan baru dari gelas lonceng, pertama-tama kosongkan apa yang tersisa di dalam botol. Tapi bagaimana kita dapat melanjutkan proses mencapai ini!”

“Untuk mengosongkan botol, yang harus dilakukan adalah membalikkannya,” Emile buru-buru menjelaskan, tanpa berhenti untuk berpikir.

“Ya, jika botol itu berisi air atau cairan lain,” jawab pamannya; “tetapi ia mengandung gas yang beratnya hampir sama dengan udara. Jika kalian  mencoba mengosongkan sebotol udara dengan membaliknya, kalian tidak akan pernah berhasil.”

“Begitulah. Kalau begitu mari kita tiup sekeras yang kita bisa ke dalam botol, dan kita akan mendorong keluar apa yang tersisa di dalamnya.”

“Setuju; tetapi pertama-tama beri tahu paman bagaimana kita mengetahui apakah kita telah mendorong semuanya keluar botol, tanpa terlihat gas apa yang keluar dan apa yang masuk. Apalagi, kalian hanya akan mengganti gas yang tadi tersisa dengan nafas kalian, yang akan sama sulitnya untuk didorong keluar botol; dan hal itu harus dilakukan lagi, dan setelah itu masih lagi, dan seterusnya tanpa akhir.”

“Benar-benar.. semakin aku memikirkannya, semakin sulit bagiku. Aku agak terlalu gegabah ketika mengatakan itu sangat mudah dilakukan. Jules tidak pernah mengatakan sepatah kata pun, dan aku yakin dia tidak lebih tahu bagaimana cara mengelolanya dibandingkan saya.”

“Saya sendiri bingung,” kata Jules. “Masalah kecil ini, yang tampaknya bukan apa-apa, membuatku bingung.”

“Kebingunganmu Itu tidak akan menghentikanmu terlalu lama. Begini cara melakukannya.”

Pamannya mengambil botol itu dan memasukkannya ke dalam bak, di mana botol itu dengan cepat terisi air.

“Di sana kalian memiliki gas yang dikeluarkan sepenuhnya.”

“Ya,” anak-anak itu setuju, “tapi sekarang botolnya sudah penuh dengan air.”

“Dan apa yang mencegah kita menggantinya dengan nitrogen dari kaca lonceng seperti yang kita lakukan sebelumnya?”

“Wah, begitu! Itu semudah kelihatannya. Satu-satunya bagian yang sulit adalah memikirkannya sejak awal, seperti yang paman katakan kemarin.”

“Pada saat ini, saya jadi teringat” kata Paman Paul, “sesuatu yang mungkin pas disebutkan di sini. Untuk memastikan apakah komposisi udara di mana-mana sama, aeronaut dan pelancong kadang-kadang membawa kembali udara yang diambil pada ketinggian tertentu yang mereka inginkan dan telah tercapai. Sekarang, bagaimana contoh udara dapat diambil di puncak Mont Blanc, misalnya, atau di ketinggian yang dicapai oleh para penerbang balon? Bagaimana memastikan bahwa udara benar-benar berasal dari tempat ini dan itu, dari puncak gunung yang telah berhasil dinaiki, misalnya, atau dari ketinggian tertentu di langit atas sana? Bayangkan serangkaian botol berlabel: ‘Ini dari puncak Gunung Perdu/’ Ini diambil pada ketinggian delapan ribu meter, oleh seorang aeronaut / ‘Ini dibawa dengan kapal dari garis lintang dan garis bujur ini dan itu di laut/ Bagaimana spesimen diperoleh dari berbagai titik yang jauh ketika mereka dibutuhkan untuk tujuan pengamatan kimia? Tidak ada yang lebih mudah. ​​Botol berisi air dikosongkan di tempat yang tepat di mana sampel udara akan diambil, dan udara di tempat ini bergegas masuk menggantikan cairan yang dikeluarkan. Kemudian botol yang disumbat dengan hati-hati tadi akan dapat langsung menampung gas, zat tak kasat mata yang pada awalnya tampak begitu sulit untuk dikumpulkan dalam kemurnian yang sempurna.

“Kita sekarang sampai pada burung pipit, yang paman lihat perannya dalam semua ini sudah tidak sabar untuk kalian pelajari. Dari isi gelas lonceng paman sekali lagi mengisi botol kita dengan nitrogen dengan cara yang sudah ditunjukkan. Botol kedua dengan ukuran yang sama dan bentuknya, tetapi penuh udara, diletakkan di atas meja di samping yang pertama. Di sanalah keduanya, dengan potongan kaca di mulutnya sebagai sumbat. Secara tampilan isinya tidak ada perbedaan, masing-masing botol menunjukkan kejernihan yang sama, tembus pandang yang sama, seperti apa yang ada di dalamnya. Sekarang saya akan memasukkan kedua burung pipit ini ke dalam botol kita, yang cukup besar untuk menampung mereka dalam waktu singkat yang diperlukan oleh percobaan. Tapi pertama-tama saya akan bertanya kepada Emile botol yang mana, jika dia adalah burung, dia lebih suka masuk ke dalam yang berisi udara atau yang mengandung nitrogen.’

“Seminggu yang lalu,” jawab anak laki-laki itu, “seharusnya aku mengatakan tidak masalah yang mana yang aku pilih, karena tidak ada yang lebih terlihat di botol yang satu daripada yang lain; tapi sekarang, sejujurnya, “Aku mulai takut pada hal-hal tak kasat mata ini. Nitrogen si nakal yang memadamkan lilin tidak bisa dipercaya. Saya tidak tahu banyak tentang itu, dan saya tahu sedikit lebih banyak tentang udara, jadi saya lebih memilih percaya pada udara daripada nitrogen. Jika saya seekor burung pipit, maka, saya akan memilih botol berisi udara.”

“Dan kamu akan memilih dengan sangat bijak, seperti yang akan segera kamu lihat hasilnya.”

Diambil dari kandang sementara, burung pipit dimasukkan, yang satu ke dalam botol berisi udara, satu lagi ke dalam botol nitrogen. Potongan kaca diletakkan di atas mulut masing-masing botol tertutup sepenuhnya pada mulut botolnya. Para pengamat muda memandang, sangat tertarik pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam botol udara tidak ada hal yang tidak biasa terjadi. Tawanan itu mengepak-kepakkan sayapnya, mematuk dinding kaca yang memenjarakannya, penghalang misterius yang tidak bisa dilihatnya namun tidak bisa dilewatinya. Ia mencoba untuk terbang, jatuh kembali, bangkit kembali, dan memulai kembali usahanya yang sia-sia. Semua ini hanyalah kegelisahan seekor burung yang berusaha mendapatkan kembali kebebasannya yang hilang, tidak lebih dari upaya putus asa untuk melarikan diri dari penjara. Dengan sekuat tenaga, berjuang dengan paruh, cakar, dan sayap, burung itu ternyata tidak memiliki penggerak lain selain ketakutan yang luar biasa.

Burung pipit di dalam botol berisi nitrogen berperilaku cukup berbeda. Tidak lama setelah ditempatkan di dalam sangkar kaca, ia takluk sampai seolah-olah pingsan. Sempoyongan, paruh terbuka, dada naik-turun, seakan ia sedang menghirup napas terakhirnya. Dengan kejang-kejang, ia jatuh ke samping, berjuang tanpa tujuan, terengah-engah membuka paruhnya lagi dan lagi kemudian berhenti bergerak. Burung itu sudah mati. Yang satunya lagi, sebaliknya, masih tegak berdiri dengan penuh kesadaran dan energik.

Diakui Paman Paul, ”Eksperimen ini adalah eksperimen yang tidak saya sukai; juga tidak menyenangkan Anda, anak-anakku. Melihat makhluk kesakitan, menderita sebagai korban rasa ingin tahu kita, seperti burung pipit ini sekarat untuk memberi kita pelajaran, sama memuakkannya bagi sifat baik Anda seperti halnya saya. Ini adalah hal yang dilihat sekali, pengejaran pengetahuan memiliki kebutuhan yang kejam; tetapi itu tidak untuk diulang. Mari kita bergegas untuk membebaskan yang selamat. Demi sesamanya, yang mati karena kimia, saya memaafkannya karena mencuri kacang polong saya.”

Kedua burung pipit dikeluarkan dari botol, yang berasal dari botol berisi udara selincah jangkrik. Emile memegangnya di tangannya sejenak, mengucapkan selamat tinggal, membawanya ke jendela yang terbuka, dan melepaskannya, di mana ia terbang seperti anak panah, dengan teriakan kegembiraan yang luar biasa. Yang satunya lagi, cakar kecilnya yang malang telah terbujur kaku, tek bergerak di atas meja, dadanya membusung ke atas. Emile dan Jules sesekali meliriknya, bingung memahami penyebab kematian yang begitu mendadak, dan mungkin berharap melihatnya dapat hidup kembali. Paman mereka memahami apa yang ada dalam pikiran mereka.

“Jangan berharap akan kebangkitan burung gereja,” katanya. “Ia sudah mati—makhluk kecil yang malang!—mati untuk selamanya.”

“Kalau begitu, apakah nitrogen ini racun yang mengerikan?” tanya Jules.

“Tidak, teman mudaku. Jauh dari racun, nitrogen sama sekali tidak berbahaya. Ia pasti tidak berbahaya atau kita tidak bisa hidup dalam atmosfer yang empat per lima bagiannya terdiri atas nitrogen. Kita semua menghirupnya tanpa henti, dan tidak seorang pun dari kita pernah ada keluhan tentangnya. Nitrogen tidak berbahaya; bukan itu yang membunuh burung itu.”

‘Lalu kenapa ia mati?”

“Lilin yang menyala di udara padam dalam nitrogen. Apakah gas ini penyebabnya? Tidak, karena jika demikian, lilin tidak dapat menyala di atmosfer yang berlimpah nitrogen. Di mana gas ini hadir dengan sendirinya, lilin padam, bukan karena nitrogen, tetapi karena kekurangan unsur penting untuk pembakaran, dan itu adalah oksigen. Bukan karena keberadaan satu gas, melainkan karena tidak 

adanya gas yang lain, yang membuat pembakaran menjadi tidak mungkin.

“Kita sendiri mudah meninggal di dalam air. Mengapa? Mungkinkah air adalah racun? Tentu saja tidak; gagasan seperti itu tidak akan pernah terpikirkan oleh kita. Kita mati di dalam air karena kekurangan udara, air itu sendiri tidak ada hubungannya dengan kematian. Orang yang tenggelam, yang semata-mata disebabkan oleh kurangnya udara untuk bernapas. Dengan cara yang sama, kita dapat mengatakan bahwa burung pipit menemui ajalnya karena tenggelam dalam nitrogen. Tidak dapat dikatakan bahwa ia benar-benar kekurangan udara, karena burung itu telah menghirup dengan banyak, salah satu dari dua gas yang menyusun atmosfer; udaranya hanya kehilangan bagian yang dibutuhkan untuk bernapas, yang dengan satu jenis gas saja dapat mendukung hewan mempertahankan kehidupannya, suatu tindakan yang serupa dalam segala hal dengan yang terjadi pada terbakarnya sumbu lilin hingga ia menyala.

“Kekurangan oksigen itulah yang menyebabkan burung pipit mati dan padamnya lilin. Ketika tidak ada oksigen, kehidupan maupun pembakaran tidak mungkin terjadi. Tidak ada hewan yang dapat hidup di mana lilin tidak dapat menyala, karena kehidupan dan pembakaran sangat mirip, seperti yang akan saya tunjukkan pada waktu yang tepat. Tetapi pertama-tama kita harus mempelajari dengan cermat pasangan nitrogen ini di atmosfer kita, gas ini disebut oksigen; dan kemudian kalian akan bisa melihat kemiripan yang dekat antara kehidupan dan api.”

Anak-anak itu saling bertukar pandang karena terkejut mendengar paman mereka mengasosiasikan dua hal ini.

“Saya tidak mengatakan apa pun yang tidak sesuai dengan pengamatan ilmiah terhati-hati; yang memang, sampai batas tertentu, menjadi bagian dari pemikiran kita sehari-hari, begitu jelasnya bagi setiap orang. Kita mengatakan tentang api yang telah padam, bahwa ia sudah mati. Lagu terkenal yang dinyanyikan Harlequin di bawah jendela temannya Pierrot memberitahu kita bahwa lilin itu mati. Untuk mengalami mati, sesuatu harus hidup terlebih dahulu. Api yang mati, lilin yang mati, mereka pernah hidup sebelumnya, sementara mereka menyala. Sehubungan dengan proses kimia yang yang kita bahas tadi, Paman tidak akan mencontohkan kehidupan, karena itu akan keterlaluan, tetapi setidaknya Paman mencontohkan keadaan yang tidak berbeda dengan kehidupan. Lilin yang menyala dan hewan hidup mengkonsumsi oksigen untuk dapat terus menyala dan tetap hidup. Baik nyala lilin maupun hewan, mati dalam nitrogen karena di sana mereka kekurangan oksigen. Itulah seluruh rahasia akhir dari burung pipit yang malang.”

“Dan hewan lainnya?” tanya Emil. “Apakah mereka akan mati dalam nitrogen seperti burung pipit?”

“Semuanya, benar-benar semuanya akan mati, beberapa lebih cepat, beberapa lebih lambat menurut jenisnya, karena tidak ada makhluk sekecil apa pun yang dapat hidup tanpa oksigen, sedangkan nitrogen tidak akan berfungsi sebagai penggantinya. Jika itu bukanlah kekejaman yang memuakkan dan tidak akan berguna, kita mungkin mengulangi eksperimen kita dengan semua penghuni kebun kita, dengan burung, tikus ladang, tikus tanah, serangga, siput, dan sebagainya,—dan kita pasti melihat mereka semua takluk pada nitrogen, beberapa menyerah dengan cepat sedangkan yang lain setelah waktu yang cukup lama yang mengetes kesabaran kita; karena saya harus memberitahu kalian bahwa meskipun semua hewan tanpa kecuali membutuhkan oksigen jika ingin hidup, tidak semua merasakan kebutuhannya dengan urgensi yang sama. Ada beberapa yang langsung tak berdaya dalam nitrogen: seperti yang terjadi pada burung pipit kita; namun yang lain dapat hidup di dalamnya selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari, tetapi pasti akan mati pada akhirnya. Aturannya universal; lamanya korban dapat bertahan itu berbeda-beda. Yang pertama takluk adalah burung, pernapasannya sangat cepat. Kemudian diikuti hewan berbulu seperti kucing, anjing, kelinci, dll. Singkatnya, mamalia, sebagaimana naturalis menyebutnya. Memiliki kekuatan perlawanan yang lebih besar: seekor kadal, ular, atau katak mungkin tidak akan benar-benar mati bahkan setelah satu jam berlalu. Pada akhirnya, serangga, siput, dan bentuk kehidupan hewan kecil lainnya adalah yang terakhir binasa.

“Ini adalah sesuatu yang sangat penting, sehingga saya tidak boleh menolak untuk menjelaskannya dengan eksperimen, terlepas dari rasa kasihan kita pada penderitaan. Selain itu, saya memikirkan walau mereka tidak mati dalam percobaan, mereka bisa saja jadi korban malang yang akan binasa secara menyedihkan di bawah cakar kucing. Lebih baik ia bertemu kematian yang lembut dalam nitrogen daripada menanggung penderitaan kejam yang akan ditimbulkan oleh cakar kucing. Kita akan melakukan kebaikan hati demi menghindari siksaan itu. Ini adalah tikus yang terperangkap dalam perangkap tikus. Saya melihatnya pagi ini di salah satu rak dapur.”

Emile kembali dengan perangkap tikus dan tawanannya. Dari nitrogen yang tersisa di gelas lonceng, botol tempat burung pipit mati lalu diisi ulang. Membuka sedikit perangkap, Paman Paul menjatuhkan tikus ke dalam botol. Menyadari dirinya berada di penjara kaca ini, hewan tadi awalnya berputar-putar beberapa kali, memeluk dinding botol dan mencari jalan keluar, tanpa terlihat ketidaknyamanan apapun selain ketakutan. Kemudian ia berjongkok, mulai gemetar, dan tampak tertidur. Akhirnya, kejang yang datang tiba-tiba, menjadi pengumuman bahwa ia sudah mati. Hanya beberapa menit telah berlalu, tetapi jelas bahwa binatang itu membutuhkan waktu lebih lama untuk mati daripada burung tadi.

“Berikan tikus itu ke kucing,” kata Paman Paul, “dan eksperimen tadi akan mengakhiri rangkaian eksperimen kita dengan hewan. Sekarang mari kita simpulkan apa yang baru saja kita pelajari. Nitrogen membentuk empat perlima atmosfer kita. Ia adalah zat yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak terlihat. Gas di mana tidak ada yang bisa terbakar. Lilin yang menyala akan padam saat diturunkan ke dalam gas ini. Kehidupan hewan juga tidak dapat bertahan dalam nitrogen: setiap hewan yang menghirupnya tanpa dicampur dengan oksigen maka akan mati cepat atau lambat. Bukan karena nitrogen yang tidak memiliki sifat berbahaya, tetapi karena kekurangan oksigen, satu-satunya bagian dari atmosfer yang akan menopang kehidupan.”

Leave a Comment

error: Content is protected !!