“Aha!” Moment dari Charlotte Mason

“Kemarin ranking berapa?” “Nilainya bagus-bagus nggak?” “Kuliah di situ emang nanti bakal kerja apa?”

Kalau diingat-ingat, jarang sekali yang bertanya, apa pelajaran favoritmu? Coba cerita dong apa yang paling kau ingat dari pelajaran itu? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat mata anak berbinar-binar menceritakan, bukan pertanyaan-pertanyaan tentang nilai yang seringkali justru menyudutkan dan membuat rendah diri.

Belasan tahun mengenyam pendidikan formal yang demikian, membuatku mengernyitkan dahi ketika membaca satu per satu butir pendidikan CharlotteMason.

“Anak adalah pribadi utuh, anak tidak terlahir sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk melainkan memiliki potensi untuk menjadi baik atau buruk.”

“Pikiran anak bukan ember kosong yang menunggu diisi. Pikiran, benak, adalah sesuatu yang berdaya hidup, berhakikat spiritual, dengan hasrat akan pengetahuan.”

Kedua kalimat itu tajam mengusik sudut pandang kita selama ini tentang kepribadian dan akal budi anak. Selama ini, kita merasa berhak membentuk anak sesuai yang kita mau, menjejali mereka dengan sebanyak mungkin pengetahuan dan berharap ember mereka segera penuh, sementara mereka menampungnya dengan pasrah. Pernyataan Charlotte Mason bahwa benak pikiran anak adalah sesuatu yang berdaya hidup, berhakikat spiritual, memerlukan diet sehat dan beragam seperti halnya tubuh yang perlu makan; benar-benar membuatku tertegun sejenak. Apa sebenarnya hakikat dan tujuan hidup manusia? Apa sebenarnya hakikat dan tujuan pendidikan? Apakah cara kita selama ini mendidik anak sudah tepat?

Selain itu, bagiku, prinsip otoritas dan ketaatan adalah sesuatu yang benar-benar baru aku hayati. Ya, seharusnya itu ada secara alami -pada orangtua dan anak, pada guru dan siswa- tetapi kita tidak pernah benar-benar mempelajari, bahkan menyadari pentingnya hal itu dalam pendidikan. Tanpa adanya otoritas dan ketaatan, dunia ini akan semrawut, semua orang ingin menyuarakan kepentingannya masing-masing. Hukum Tuhan sebagai otoritas tertinggi, harus ditaati bersama-sama baik oleh pendidik maupun terdidik sebagai prinsip kebenaran yang menaungi pendidikan.

Bukan berarti, “Kamu harus nurut aku karena aku adalah orangtuamu.” Seharusnya, “Mama meminta kamu melakukan yang benar, bukan yang kamu suka,” lalu anak melihat kita juga menaati hukum kebenaran yang sama. Di situlah otoritas bisa ditegakkan dan ketaatan akan terjadi dengan sukarela. Itu adalah suatu gagasan yang benar-benar baru bagiku. Di satu sisi, itu menumbuhkan kepercayaan diriku sebagai ibu namun di sisi lain ia juga menyadarkanku akan beban tanggung jawab yang kumiliki sebagai pendidik sekaligus pemegang otoritas di rumah, karena “Otoritas bukanlah lisensi untuk menyakiti anak,” bahkan prinsip otoritas dan ketaatan ini harus dibatasi dengan respek pada kepribadian anak.

Begitulah, kita pun seringkali salah kaprah memahami “otoritas” seolah-olah itu sesuatu yang membungkam, mengekang, menghancurkan. Padahal, otoritas semestinya digunakan untuk membantu, melindungi, dan membimbing sampai akhirnya kelak anak/siswa dapat menemukan otonomi dirinya sendiri.

Gagasan Miss Mason bahwa pendidikan adalah ilmu tentang relasi-relasi juga menjawab mengapa filosofi dan metode pendidikannya dianggap holistik. Cabang ilmu pengetahuan, mata pelajaran yang harus diketahui anak, sangatlah banyak. Selama bertahun-tahun sistem pendidikan terus menerus mencari cara agar anak mempelajari yang penting-penting saja. Ada yang menganggap sains dan matematika terpenting. Ada yang mengatakan, agama nomor satu! Ada pula yang berpendapat, sejarah dan ilmu sosial tak mungkin ditinggalkan.

“Education is a science of relations,” menjawab permasalahan ini. Hmm, ya, kita manusia, terkait dengan alam semesta, dan tentu saja dengan Sang Pencipta. Ilmu pengetahuan manusia berkembang dalam konteks ruang dan waktu, sehingga ia tak bisa dipisahkan satu sama lain. Jujur saja, bagiku, salah satu metode belajar Charlotte Mason yang membuatku terkesan adalah penyusunan Book of Centuries. Dalam buku ini, siswa mencatat peristiwa-peristiwa besar pada setiap masa. Kapan manusia belajar mengendalikan api, kapan Nabi Ibrahim mendirikan Ka’bah, kapan Perang Dunia pecah, kapan listrik ditemukan, tahap demi tahap revolusi industri, dan seterusnya.

Apakah itu semata pelajaran sejarah? Tidak, itu adalah metode yang membantu anak merelasikan dirinya, hidupnya, dengan dunia. Maka, CM menekankan pentingnya generous curriculum, yang bervariasi dan tidak monoton, dan teramat penting, ia harus disampaikan dalam bentuk dan bahasa yang indah (literary form). CM ingin anak mempelajarinya melalui karya-karya sastra dan seni klasik, kisah indah dan lukisan, tokoh-tokoh besar. Ini sangat mengesankan bagiku. Seolah tidak ada alasan bagi anak untuk tidak tertarik pada ilmu pengetahuan, karena tidak ada jeda baginya untuk merasa bosan. Demikianlah CM ingin kita memberi makan akal budi anak yang secara alamiah terus menerus merasa lapar dan haus akan ilmu pengetahuan.

Tak terpikir sebelumnya olehku, betapa selama ini nalar seolah dipandang agung, tetapi Charlotte Mason menulis nalar sebagai,

“…untuk membenarkan ide-ide, nalar belum tentu bisa dipercaya, sebab penalaran kita akan membenarkan segala macam ide yang keliru kalau kita memang berniat mempercayainya.”

Nalar tidak bisa dijadikan otoritas tertinggi dalam membentuk opini. Setiap pribadi utuh harus mampu memilih ide-ide mana yang harus diterima atau ditolak. Bagaimana membekalinya? “… dengan latihan kebiasaan-kebiasaan baik, ajaran-ajaran etis, dan wawasan yang luas dari banyak bacaan dan pengalaman.”

Ini terasa relevan di masa kini, ketika kita melihat begitu mudahnya orang terombang-ambing tanpa pendirian di tengah derasnya arus informasi dalam genggaman. Begitu mudahnya orang terprovokasi dan terhasut dengan apa yang mereka lihat dan baca sekilas di media sosial. Dalam jurnalisme, ini yang betul-betul kami pelajari. Untuk dapat melihat gambaran lebih luas dari suatu peristiwa, memverifikasi fakta dan sumber, cek dan ricek. Agaknya itu hal yang paling kurasakan manfaatnya dari 5 tahun belajar jurnalistik di kampus, betapa kami dilatih untuk menemukan kebenaran. Nah, bagaimana jika setiap anak dididik tentang hal itu?

“…anak akan terhindar dari cara pikir dan tindakan asal-asalan yang sering menyebabkan seseorang hidup lebih rendah dari ideal yang seharusnya bisa ia capai.”

Dan itulah sebenar-benarnya tujuan pendidikan, yakni membentuk anak menjadi pribadi yang magnanimous. Berwawasan luas, berkarakter luhur, tetapi juga memiliki misi kebermanfaatan yang sejalan dengan misi penciptaannya di muka bumi. Dan CM menutup butir pendidikannya dengan menegaskan bahwa,

“Tidak ada alasan untuk mendirikan sekat antara ranah intelektual dan spiritual dalam kehidupan. Kita mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua kebenaran adalah milik Tuhan, dan bahwa kajian sekuler sama baiknya dengan kajian religius. Mereka perlu sadar, kehidupan beragama dan kehidupan akademis bukanlah dua dunia yang terpisah, dan apapun yang ia pelajari atau kerjakan, Tuhan selalu bersama mereka.”

Wah, kesannya ideal banget ya, grande banget, filosofi pendidikan CM ini. Apa iya pantas dan mampu aku mengerjakannya?

Leave a Comment

error: Content is protected !!