Charlotte Maria Shaw Mason adalah seorang pendidik dan pemikir yang hidup di Inggris pada abad ke-19. Ia lahir pada tahun 1842, dan berkarya sebagai seorang pendidik selama hidupnya. Ia sangat mencintai anak-anak. Motto hidupnya adalah: for the children sake. Selain aktif menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai artikel maupun majalah; CM pun mensarikan konsep-konsep pendidikannya sendiri, yang kemudian diterbitkan dalam enam volume:
- Home Education
- Parents and Children
- School Education
- Ourselves
- Formation of Character
- Towards a Philosophy of Education
Home Education secara khusus menguraikan prinsip-prinsip dasar mengasuh dan mendidik anak sampai dengan usia sembilan tahun. Namun selama 90 tahun, ia seolah terkubur, kalah populer dibanding dengan tokoh dan metode pendidikan lainnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini.
Pertama, pada masa itu, Inggris justru sedang bergerak menuju sekularisasi di mana orang mulai memisahkan agama dari segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan. CM mengkritik hal itu, dan dia tegas menyatakan bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari agama. Ketika manusia belajar tentang ilmu pengetahuan dan sains, alam, bahkan belajar tentang manusia itu sendiri, maka manusia pun sebenarnya sedang mempelajari tentang Tuhan, karena semua adalah ciptaan Tuhan. Pemikiran dan metode pendidikan religius yang diusung CM pada saat itu, menjadi kurang diminati.
Kedua, pendidikan Charlotte Mason sangat filosofis. Ia tidak setuju jika pendidikan disebut sebagai sebuah “sistem”. CM mencita-citakan adanya a working philosophy of education. Filsafat pendidikan yang bukan sekadar bagus dalam teori, tetapi juga dapat diaplikasikan secara riil. Apa yang diharapkan CM adalah setiap orang dapat menjadi pembelajar mandiri. There is no education but self education. Dia mengharapkan orisinalitas. karena baginya children are born persons, setiap anak adalah pribadi utuh. Metode pendidikan CM sulit untuk dikomersialisasi, karena ia tidak bisa diadaptasi menjadi sebuah sistem.
Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata “sistem”? Seperti suatu alat atau mesin, yang bisa mengubah bahan mentah menjadi produk akhir yang seragam. Revolusi industri juga turut andil membentuk sistem pendidikan yang utilitarian, yakni pendidikan yang diharapkan dapat mempersiapkan siswanya menjadi tenaga kerja siap pakai. Sebagai gambaran, tahun 1913 adalah tahun diciptakannya conveyor belt (ban berjalan) yang kemudian mengubah keseluruhan proses produksi.
Bisa teman-teman bayangkan pendidikan utilitarian dan paradigma materialistik yang dikritik keras oleh CM. Anak yang merupakan pribadi utuh dengan segala keunikan potensinya, masuk ke dalam sistem pendidikan yang mengkotak-kotakkan potensi, minat, bakat mereka dalam nilai A, B, C, pada jurusan IPA, IPS. Tujuannya, agar dapat mencetak siswa-siswa yang hasil akhirnya terprediksi, dengan kemampuan dan capaian yang terukur. Supaya mengerucut keahliannya di bidang apa, profesinya apa, bisa kerja apa.
Apakah itu tujuan sebenar-benarnya dari pendidikan? Apakah itu tujuan manusia berada di muka bumi?
Hingga pada akhir 1980-an keluarga homeschooler asal Amerika berhasil menemukan enam buku lengkap pemikiran Charlotte Mason, di sekolah yang ia dirikan di Ambleside, suatu wilayah pedesaan yang indah di pelosok Inggris. Mereka mencetak ulang dan mempublikasikan keenam buku langka itu.
Metode pendidikannya bisa diterapkan oleh siapa saja, dan untuk siapa saja; ia menyebutnya sebagai “liberal education for all”. Jika kini kita menjalani pendidikan jarak jauh berupa sekolah daring, kelas tele-conference; Charlotte Mason sudah mempelopori hal itu. Ia mempraktikkannya melalui korespondensi. Siswanya sebagian adalah anak-anak pekerja tambang yang berasal dari kelas pekerja, yang tidak sekolah karena di desanya tidak ada sekolah. CM mengirimkan kepada mereka buku-buku terbaik yang bisa ia temukan pada masa itu, karya-karya sastra dan seni klasik, dan meminta para siswanya untuk menarasikannya lewat tulisan. Semua surat tulisan muridnya ia baca satu per satu, ia beri catatan dan komentar, tidak ada nilai A, B, C maupun benar-salah. Metode ini, hasilnya sangat mengejutkan bahkan bagi CM sendiri.
Anak-anak para pekerja tambang yang dipandang miskin, rendah, dan tidak memiliki akses memadai ke fasilitas pendidikan, ternyata bisa mengunyah dan mencerna buku-buku bacaan pilihan CM, bahkan mengungkapkan pikiran-pikiran mereka yang orisinil melalui narasinya. Dengan ini CM membuktikan, bahwa mereka bisa jadi sama cemerlangnya dengan anak-anak orang kaya dan para bangsawan, selama mereka mendapatkan buku-buku terbaik sebagai gizi yang memadai untuk pikiran mereka.
– – –
Tidak mengherankan, apabila kini gagasan Charlotte Mason populer lagi dalam pendidikan alternatif. Para orangtua yang tidak puas terhadap sistem pendidikan arus utama seperti menemukan harta karun yang selama ini terpendam ketika membaca tulisan-tulisan Mason. Walau ditulis hampir dua abad lalu, ide-ide CM masih relevan hingga kini, menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang visioner. Ia menuliskan “Never be within doors when you can rightly be without,” menunjukkan kekhasan metodenya, yang selalu menyarankan anak agar sebanyak mungkin berinteraksi dan belajar langsung dari alam. Ia menulis itu jauh sebelum televisi dan ponsel pintar ditemukan, tetapi kini relevan bagi kita yang telah jemu dengan kuasa kedua teknologi itu dalam mengambil alih keseharian kita dan anak-anak.
“Point to some lovely flowers or gracious tree, not only as a beautiful work, but a beautiful thought of God,”
… kata-kata itu seolah menjadi oase bagi iman kita, yang bertahun-tahun di-drill untuk menghafal nama-nama bagian tanaman dan bahasa ilmiahnya dalam pelajaran IPA yang membuat kepala kita cenat-cenut. Betapa kita hampir tidak melihat warna-warni bunga, corak sayap kupu-kupu, dan gradasi warna dedaunan sebagai keindahan ciptaan Tuhan yang Maha Indah, Yang Maha Teliti, yang telah menciptakan segala sesuatunya sesempurna mungkin.
Charlotte Mason memiliki enam volume buku tebal, serta sejumlah artikel yang sangat layak dikaji. Bukan hanya karena konsepnya yang masih relevan, tetapi juga setiap detail deskripsi dan pilihan kalimatnya yang matang, seolah setiap kata dipikirkan baik-baik. Tidak berlebihan untuk menyebutnya sebagai magnum opus dalam dunia pendidikan — meski sang penulis sendiri sepertinya terlalu rendah hati untuk dianggap demikian.