Tuhan menumbuhkan rasa cinta yang alami pada setiap ibu sejak saat ia mengetahui ada makhluk lain yang bertumbuh dalam rahimnya, bergantung hidup kepadanya. Ketika bayi itu lahir, ia menatapnya dengan mata berkaca-kaca, betapa besar anugerah yang Tuhan karuniakan kepadanya. Bayi itu menyusu kepadanya, tak mau lepas dari dekap hangatnya, tenang ketika mendengar senandungnya, tubuhnya seketika menjadi sumber kehidupan.
Betul, bahwa Tuhan telah membekali seorang ibu dengan segala keajaiban dalam tubuhnya dan ketajaman nalurinya untuk membesarkan si bayi yang tidak berdaya itu. Tetapi, bayi manusia, dengan segala potensi besar dalam dirinya, membutuhkan lebih dari sekadar cinta. Para ibu perlu memiliki cinta yang berpikir.
Tatkala memandangi bayi yang akan cepat besar itu, selayaknya ibu merenung, “Bagaimana aku harus melatih tangan-tangan mungil ini agar hanya melakukan kebaikan? Bagaimana aku menjaga hati yang suci ini dari keriuhan duniawi? Bagaimana aku harus melatih akal budi yang berkembang pesat ini agar dapat ia gunakan sebaik-baiknya, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk melayani orang lain?”
Seorang ibu yang memiliki kesadaran untuk berpikir demikian, akan dapat mempersiapkan masa depan anak dengan lebih mumpuni. Lebih dari sekadar melahirkan dan menyusui, tugas besar seorang ibu sebenarnya adalah mendidik sosok manusia yang kelak akan menjadi berkat bagi dunia. Agaknya itulah yang membedakan kita dengan makhluk lain. Anak ayam, anak kucing, anak sapi, akan tumbuh besar asalkan ia makan. Tapi anak manusia butuh lebih dari itu.
Pada saat Charlotte Mason menulis buku ini pada 1905, Inggris tengah mengalami pesatnya industrialisasi, Revolusi Industri 2.0 yang ditandai dengan penggunaan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Penemuan ban berjalan, pembangkit tenaga listrik, motor penggerak, mengubah wajah dunia secara signifikan. Tenaga kerja massal pun dibutuhkan untuk menyokong perekonomian.
Tidak terkecuali para perempuan, yang mulai bergerak dari sektor domestik menuju sektor publik. Perempuan memiliki akses yang mumpuni kepada pendidikan tinggi, yang mereka gunakan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan. Para perempuan mulai mendapatkan pengakuan dan kesetaraan dalam karier, serta menghadirkan kesenangan tersendiri ketika mereka dapat menjalankan peran yang lebih besar, melakukan pekerjaan yang bermanfaat, serta dihargai dengan upah yang memuaskan.
Tetapi CM tidak ingin para perempuan melupakan tugas besar mereka sesungguhnya, yakni mendidik anak-anak di rumah.
“Now, that work which is of most importance to society is the bringing up and instruction of the children — in the school, certainly, but far more in the home, because it is more than anything else the home influences brought to bear upon the child that determine the character and career of the future man or woman. It is a great thing to be a parent: there is no promotion, no dignity, to compare with it. The parents of but one child may be cherishing what shall prove a blessing to the world.” (Vol.1 pg 2)
Tidak ada tugas yang lebih penting di dunia ini selain mendidik dan membesarkan anak-anak. Bagai putri/pangeran kecil yang dititipkan oleh Sang Maha Raja untuk diasuh petani jelata, orangtua harus sadar amanah yang diembannya dan siapa yang memberinya amanah tersebut.
Bagaimana seharusnya ia mempertanggungjawabkan apa yang telah dititip-asuhkan kepadanya? Yaitu dengan mendidik dan membesarkan sosok manusia penuh kecakapan dan penuh kasih, yang dengan kapasitas akal budi dan cintanya, akan menjadi berkat bagi kehidupan.
Paradigma ini penting dimiliki orangtua, bahwa anak bukanlah properti pribadi yang bebas dibentuk dan diperlakukan sesuka hati! Anak adalah ciptaan Tuhan, yang tujuan hidupnya mesti selaras dengan tujuan penciptaannya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat: 56)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Al-Baqoroh: 30)
وَهُوَالَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Al-An’am: 165)
خَيْرُ النَّا سِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Charlotte Mason adalah seorang feminis dan pemikir yang progresif. Bayangkan saja, perihal pentingnya peran para wanita terdidik ini sudah dia tulis dan ia publikasikan pada tahun 1886 dengan judul “Lectures to Ladies”. Ini menunjukkan besarnya perhatian Charlotte Mason atas pendidikan perempuan, bukan demi lapangan pekerjaan yang lebih mapan; melainkan demi melahirkan anak-anak generasi masa depan yang lebih baik. Kita sering mendapati beberapa gerakan feminisme justru bergerak menuju arah yang berlawanan dengan mandat alamiah seorang perempuan sebagai pengasuh dan pendidik pertama di rumah.

Jelas sekali, ada banyak orang yang tidak layak punya anak. Sekadar punya anak itu terlalu gampang. Islam memandang agung dan sakral hubungan seksual yang terjadi antara perempuan dan laki-laki, karena besarnya konsekuensi dari hal tersebut.
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Al-Mu’minun: 14)
Seingatku, waktu aku dan suami mengikuti pembekalan jelang pernikahan di KUA, topik ini tidak dibahas secara serius. Bahwa konsekuensi menikah adalah punya anak, dan bahwa konsekuensi punya anak sangatlah besar. Ia titipan dari Tuhan yang suatu saat mesti kita kembalikan untuk mengabdi di masyarakat.
Yang dibahas ya hanya normatif tentang hak dan kewajiban suami-istri, dan hal-hal yang umumnya bisa kita baca sendiri dari buku panduan yang sudah ada. Tetapi tidak ada penekanan tentang besarnya tugas yang akan kami emban, tentang beratnya menjadi orangtua, tentang peliknya memahami setiap fase pertumbuhan dan perkembangan anak.
Ketika bayi lahir dan tak mau menyusu, kita menyerahkannya pada botol susu formula. Ketika anak tak mau makan apa yang kita sajikan di rumah, kita memberinya uang dan menyuruhnya makan apa yang dia mau di warung. Ketika anak tak mau diam, kita menyalakan televisi dan menyuruhnya duduk menonton. Hahaha… ini namanya menyentil diri sendiri. Si bayi tak berdaya itu pada akhirnya tumbuh menjadi dirinya sendiri yang perlahan-lahan terpisah dari kita, dari keinginan kita. Kita mengira dapat membentuk dia seperti lilin mainan, kita mengira dapat melukiskan apa saja yang kita mau di atas kertas putih. Tapi nyatanya tidak semudah itu.
Anak memiliki watak, pemikiran, teman-temannya sendiri, bahkan ia hidup di zamannya sendiri yang telah jauh berbeda dengan masa kecil kita dulu. Sungguh jumawa jika kita merasa sudah menguasai segala hal tentangnya, karena ia anak kita sendiri. Sungguh bodoh jika kita merasa, “Nih anak, anak gue, suka-suka gue lah mau gue kasih makan apa, mau gue apain, ape urusan lo.” Anakku pernah hampir ditabrak oleh seorang anak 9 tahun yang diberikan kunci motor oleh orangtuanya, mengendarai motornya dengan serampangan, dengan kaki yang belum ajeg, sambil berbonceng tiga dengan temannya, hilir mudik di jalanan komplek yang… milik umum.
Ada hukum alam yang berjalan dalam kepastian dan keteraturan. Hukum-hukum itulah yang harus kita pelajari dan kita gunakan untuk mendidik anak. Bahwa, bayi baru lahir harus disusui oleh ibunya, bukan dikasih makan pisang atau daging cincang. Bahwa, anak pada usia tertentu harus mencapai berat badan dan tinggi badan tertentu. Bahwa, anak adalah peniru ulung yang akan meniru apapun yang ia lihat dan dengar. Bahwa, anak memerlukan bimbingan dalam mengelola emosi negatif, agar tidak menyakiti dan merusak. Bahwa, motor tidak diciptakan untuk dikendarai anak 9 tahun sambil berbonceng tiga dengan temannya di jalanan umum.
Itu hukum alam. Yang kalau dilanggar atau tidak digubris, maka akan berpotensi bahaya bagi si anak. Kematian, gagal tumbuh, kurang nutrisi, meniru hal yang tidak baik, tidak mampu mengelola emosi negatif sehingga ia jadi pemarah dan pemukul, anak mengalami kecelakaan. Benar saja, suatu hari si anak tadi betul-betul tersungkur bersama motornya ke dalam selokan besar dan menabrak tembok. Siapa yang salah? Jelas selokan dan tembok yang salah, ngapain ada di situ ngalangin anak naik motor aja.
Idealnya, menurut Charlotte Mason, setiap orangtua wajib menguasai dasar-dasar fisiologi dan psikologi sebagai bekal minimal mengasuh anak. Inilah yang semestinya menjadi perhatian besar bagi setiap calon pengantin, calon orangtua. Bukan soal kemegahan pesta, pembentukan panitia acara, besaran biaya sewa gedung, tetapi tentang bagaimana ia mempersiapkan dirinya membangun keluarga dan mendidik anak-anak.
Sayangnya, tidak ada sekolah persiapan khusus menjadi orangtua. Sepasang lelaki dan perempuan muda menyambut kedatangan buah hati mereka berbekal sebatas pengalaman masa kecil atau apa kata orang tentang bagaimana cara membesarkan anak. Kalaupun ada, bukan suatu pelatihan yang wajib diikuti oleh tiap-tiap pasangan, hanya segelintir pasangan yang memiliki kesadaran untuk mencari dan mengikuti pelatihan pra-nikah, atau bahkan mengikuti pelatihan pengasuhan anak jauh sebelum mereka memiliki anak. Alangkah beruntungnya anak-anak yang lahir dari orangtua seperti itu. Tetapi kenyataannya, orangtua yang tidak memiliki persiapan justru lebih banyak lagi.
Ketika pada akhirnya kita memiliki kesadaran untuk lebih memikirkan tujuan pendidikan anak-anak, sesungguhnya tidak ada kata terlambat. Semoga Tuhan masih memberikan kita kesempatan dan memampukan kita untuk memperbaiki diri.