Coba bayangkan rumah nenek-nenek kita zaman dahulu di kampung. Ada halaman depan dan belakang yang luas, di mana kita bisa memanjat pohon, memetik buah, ngeletekin kulit pohon, menghamburkan daun kering yang baru disapu, berlarian tanpa pakai sendal, mengorek-ngorek tanah dan bikin “kue coklat meses hijau” dari lempung berlapis lumut. Menyenangkan! Tidak ada bosan.
Orangtua kita tidak sedikit-sedikit berteriak “Awas!” “Jangan lari-lari” “Nanti jatuh!” Mereka hanya sesekali melongok dari dalam rumah dan membiarkan anak-anak bereskplorasi asal masih tetap dalam jangkauan pandangan mereka. Ada batas yang ditegaskan oleh mereka sebelum kita main. “Jangan lewat dari pagar itu ya Nduk, jangan sampai ke sawah sana ya.”
Seperti inilah yang kubayangkan tentang “masterly inactivity” itu.
“We are too much with our children, ‘late and soon.’ We try to dominate them too much, even when we fail to govern, and we are unable to perceive that wise and purposeful letting alone is the best part of education.”
Eh gimana gimana, jadi dibiarkan begitu saja? Terserah anak mau ngapain?
Ternyata tidak. Masterly inactivity, justru harus didahului dengan tegaknya otoritas orangtua. Kalau kita bayangkan luasnya halaman rumah nenek tadi, ada batas atau pagar di mana orangtua berpesan agar kita tidak melewatinya. Selama kita masih berada di wilayah otoritas tersebut, maka kita bebas bereksplorasi. Orangtua pun tidak was-was karena ia masih bisa mengawasi.

Demikian halnya dalam mendidik dan membesarkan anak dalam keseharian. Pertama-tama, tegakkan dulu otoritas kita sebagai orangtua. Ada kata “masterly” artinya kita mesti punya purpose dulu sebelum bisa membiarkan mereka letting alone atau “inactivity.”
“Prinsip otoritas dan ketaatan berlaku bagi semua orang entah mereka menerimanya atau tidak. Keduanya bersifat alamiah, niscaya dan mendasar agar satu kelompok atau keluarga hidup teratur dan harmonis.”
Bagiku, ada tiga batasan yang mesti diperhatikan anak-anak: yaitu segala sesuatu yang berbahaya/mengancam kesehatan dan keselamatan, segala sesuatu yang melanggar syariat dan tidak disukai Allah, dan segala sesuatu yang berbatasan dengan kepentingan orang lain.
Males sikat gigi, jangan. Nanti sakit gigi. Jajan terus tanpa mau makan nasi lauk sayur, ya jangan, nanti nutrisimu tidak terpenuhi. Sepedaan sendiri ke jalan besar, ya jangan. Berbahaya. Sedangkan aspek-aspek yang melanggar syariat di antaranya berbohong, mencuri, mengejek teman, dan seterusnya. Main ke rumah teman di waktu siang akan mengganggu jam istirahat keluarganya. Tapi aku selalu bilang, yang boleh itu lebih banyak daripada yang tidak boleh. Semua peraturan dibuat demi kebaikanmu sendiri. Jadi, berusahalah untuk taat.
Di luar ketiga hal tadi, semuanya bisa dinegosiasikan.
Kamu boleh main, tetapi waktu terdengar azan wajib pulang. Kamu boleh screen time, tetapi hanya pada waktu yang ditentukan dan harus seizin Mama. Hal-hal seperti itu. Ada batas-batas yang mesti ditaati.
Setelah otoritas ditegakkan, atmosfer baik dibangun, maka, idealnya, CM menyarankan orangtua untuk sesedikit mungkin ceramah, mengomel, sesedikit mungkin menginterupsi perkembangan anak. Biarkan mereka tumbuh dan bereksplorasi – tetap dalam pagar otoritas kita.
Terutama untuk anak usia dini, yang tugas utamanya adalah bermain — tetapi bagi mereka, bermain adalah sama dengan belajar. Seringkali kita menganggap anak kita nggak ngapa-ngapain, kerjaannya setiap hari main aja, menjajarkan mobil, corat-coret, main air, lari sana-sini, menarik baju keluar dari lemari, padahal semua itu adalah proses belajar baginya.
Aku kutip dari sini, orangtua seringkali menganggap pengetahuan sebagai properti materiil. Mereka mengukur kepandaian dari apa yang tampak oleh mata. Anak dianggap sudah belajar hanya ketika dia terlihat mengerjakan sesuatu, menghasilkan sesuatu, dan membuktikannya dari keahlian konkrit.
Maka ketika kita melihat anak seperti “nggak ngapa-ngapain” atau “nggak ada kegiatan” kita pun bergegas mendaftarkannya ke berbagai les, bimba, kursus apapun itu yang merampas kebahagiaan bermain bebas. Ditambah dengan salah kaprah “golden age” tahun-tahun pertama anak, maka para orangtua akhirnya berlomba mengajarkan anaknya calistung, bahasa asing, kelas tari, kelas piano, sedini mungkin. Jamak kita temui saat ini anak balita yang memiliki jadwal padat.*
Padahal, proses berpikir, proses merenungkan, merelasikan, berimajinasi, dan segala yang abstrak di dalam pikiran anak itu pun, merupakan bagian dari proses belajar. Kecamuk ide dan imajinasi dalam pikiran anak bahkan seringkali lebih rumit daripada apa yang bisa mereka tampakkan pada secarik kertas berisi barisan huruf “a” yang dikasih nilai 3 bintang. Seringkali yang terakhir lebih kita banggakan. Kenapa? Karena yang pertama nggak kelihatan, nggak teraba oleh kita. Sementara yang kedua bisa kita lihat dan bisa kita komentari hasilnya.
Sama saja nggak sih dengan seorang ibu, yang mengalami segala macam rasa sakit saat hamil, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, mengerjakan segala pekerjaan rumah mulai dari jam 5 pagi sampai jam 11 malem masih menyetrika, yang memanjangkan doa-doa setelah solat, kemudian dia dianggap di rumah aja nggak kerja, nggak ngapa-ngapain, nggak ada kegiatan, nggak menghasilkan.
Alangkah dangkalnya kehidupan manusia jika segala sesuatunya hanya dilihat melalui paradigma materialistik.
Aku tidak mengagendakan anakku belajar calistung ataupun les-les lain sebelum usianya genap 6 tahun, tetapi bukan berarti aku tidak peduli terhadap pendidikannya. Ada suatu tujuan, yaitu demi membiarkan anakku bermain bebas tanpa tuntutan di enam tahun pertamanya. Percayalah, selama 6 tahun itu banyak kok yang dia pelajari. Dari jatuh, dari mengorek-ngorek tanah, dari duduk di pangkuanku, dari dialog-dialog dan segala pertanyaan pertamanya tentang dunia.
Nothing is trivial that concerns a child; his foolish-seeming words and ways are pregnant with meaning for the wise. It is in the infinitely little we must study in the infinitely great; and the vast possibilities, and the right direction of education, are indicated in the open book of the little child’s thoughts. (Vol.1 pg 6)
Jika kita merenungkan lagi butir pertama dan kesembilan pendidikan CM, anak-anak adalah pribadi utuh, yang memiliki pemikiran mereka sendiri, yang berdaya hidup dan berhakikat spiritual, yang telah diciptakan Tuhan untuk selalu mencerna ide; maka semestinya kita tidak perlu merasa harus membuatkan jadwal sehari penuh untuknya, semestinya kita tidak perlu memenuhi hari bebasnya dengan agenda ala orang dewasa; karena pada hakikatnya keseharian mereka adalah belajar sambil bermain.
Tetapi, karena anak adalah properti publik yang suatu hari mesti kita kembalikan ke masyarakat dan menjadi berkat untuk kehidupan, maka kita tidak boleh membiarkannya begitu saja seperti anak ayam yang dilepas dari induknya. Orangtua mesti terlibat dalam merancang dan melaksanakan proses pendidikan.
Menurut Charlotte Mason, hanya ada tiga instrumen yang boleh digunakan untuk mendidik anak:
- atmosfer alamiah
- disiplin kebiasaan-kebiasaan baik
- penyajian ide-ide hidup
Atmosfer adalah sesuatu yang tidak bisa kita buat-buat, kita sandiwarakan di depan anak. Dan itu adalah sesuatu yang ia hirup setiap saat. Raising children, raising ourselves. Jika kita ingin anak kita tumbuh dalam atmosfer yang baik, maka kita orangtua yang juga harus terus menerus memperbaiki diri, sehingga kita layak menjadi “kawan seperjalanan anak.” Tak pelak kerap terlintas, jauh lebih gampang menyerahkan anak ke tangan profesional ketimbang kita harus repot-repot ikutan memperbaiki diri.
Mendisiplinkan kebiasaan baik, juga bukan perkara gampang. Mesti terencana, tegas, konsisten, dan beralasan.
The mother who takes pains to endow her children with good habits secures for herself smooth and easy days. (Vol.1 pg 137)
Jelas membangun kebiasaan baik ini penuh trial and error, peluh bercucuran, jatuh bangun dan air mata, ya ilah kek lagu. Karena seringkali bukan hanya soal anak, tapi juga memperbaiki kebiasaan buruk kita sebagai orangtua yang terlanjur mengakar bertahun-tahun lamanya. Itu lebih sulit daripada membentuk kebiasaan baru pada anak. Yang sering menjadi sumber inkonsistensi juga kita sendiri, orangtuanya, bukan anaknya.
Terakhir, penyajian ide-ide hidup. Mengajak anak sesering mungkin berinteraksi dengan alam pun penuh risiko. Di alam, anak bisa terjatuh dan terluka, gatal terkena getah, bertemu ular dan lebah, bajunya akan kotor. Belum lagi menghadapi cuaca dan suhu yang tidak pasti. Tetapi itulah hidup. Mungkin akan jauh lebih mudah jika kita mengurungnya di dalam kamar, kasih ponsel dan internet 24 jam, sudah pasti dia tak akan jatuh dan terluka, tidak akan kotor, tidak akan ketemu ular, bahkan mungkin nggak akan keluar kamar 😂 Ide-ide hidup lain, semisal living books, pemikiran para tokoh besar, karya-karya seni klasik, juga tak bisa kita sajikan begitu saja. Kita mesti banyak membaca dulu, mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan mereka (karena salah satu tanda anak mendapat ide hidup adalah dengan munculnya banyak pertanyaan menggugah) intinya kita mesti capek-capek mikir juga. Alangkah jauh lebih mudah jika kita menyuruh mereka mengerjakan 10 lembar soal pilihan ganda. Cap cip cup.
Masterly inactivity adalah cara Charlotte Mason mengingatkan kita bahwa anak-anak adalah pribadi utuh, yang mesti kita hargai kepribadian dan individualitasnya, bahwa mereka akan berkembang dengan cara mereka sendiri, dan hendaknya kita tidak terlalu sibuk mengatur, menginterupsi, menceramahi dengan hal-hal yang justru dapat merampas kebebasan dan keunikan setiap pribadi mereka.
Alih-alih banyak mengatur dan menceramahi, Charlotte Mason menyarankan kita agar lebih banyak mendengarkan, mengamati, untuk kemudian bisa memfasilitasi perkembangan anak-anak kita, serta memberikan guidance agar mereka dapat tumbuh di jalan yang benar menjadi pribadi berjiwa besar. Bukan berarti kita diam dan tidak melakukan apa-apa, orang bijak pun lebih banyak diam. Bukan berarti ia tidak tahu apa-apa, justru ia tahu lebih banyak dengan mengamati dan mendengarkan. Sekalinya memberikan komentar, kita tahu ia telah berkata benar. Itulah sebabnya, masterly inactivity disebut juga “passive wisdom”.
Father and mother have no greater delight than to watch the individuality of their child unfold as a flower unfolds (Vol.1 pg 5)