Ilmu Pengetahuan dalam Bentuk yang Paling Indah

Narasi atas Home Education pg 52-62

“Suppose flowers themselves were new! Suppose they had just come into the world, a sweet reward for some new goodness…

Imagine what we should feel when we saw the first lateral stem bearing off from the main one, and putting forth a leaf.

How we should watch the leaf gradually unfolding its little graceful hand; then another, then another; then the main stalk rising and producing more; then one of them giving indications of the astonishing novelty — a bud!

then this mysterious bud gradually unfolding like the leaf, amazing us, enchanting us, almost alarming us with delight, as if we knew not what enchantment were to ensue, till at length, in all its fairy beauty, and odorous voluptuousness,and the mysterious elaboration of tender and living sculpture, shines forth the blushing flower.”

Leigh Hunt

Kita begitu terbiasa dengan kuntum-kuntum bunga yang kita lihat di kanan-kiri jalan. Selama puluhan tahun hidup di dunia, tentu saja banyak bunga, setiap hari kita melewatinya, apa yang istimewa? Ya OK itu melati, kemuning, mawar, kenanga, dan apa itu lah bunga ungu yang sering tumbuh di pinggir got. Entah apa namanya. Lalu kenapa? Memangnya kita harus tau namanya?

Inilah bagian paling menyedihkan dari tumbuh dewasa. Kita menjadi terbiasa dengan keindahan dan keajaiban alam. We took it for granted. Begitu banyak urusan duniawi yang seolah urgent banget kita pikirkan dan urgent banget kita urusi, sehingga kehidupan kita menjadi begitu terburu-buru. Memakai kacamata kuda, kita fokus kepada to do list, dan ingin agar hari itu lekas berakhir sehingga kita bisa beristirahat agar besok bisa… memulai hari yang seperti itu lagi.

Tidak ada ruang untuk merenung, berkhayal, memperhatikan, menikmati, apalagi mensyukuri keindahan alam yang hanya tinggal sepetak di tepian got pinggir jalan. Atau dari pot-pot tanaman hias milik tetangga yang rajin.

Tetapi coba kita renungkan puisi Leigh Hunt tentang bunga di atas.

Seandainya. Seandainya saja kita hidup di dunia yang tidak ada bunga. Kita belum pernah melihat bunga. Kemudian suatu hari Tuhan menghadiahi kita bunga atas kebaikan yang kita lakukan. Apa yang kita rasakan saat pertama melihat kuncupnya menyembul? Lalu semakin hari, kelopaknya merekah dan mengungkapkan keindahan mahkota dan aroma, serta manisnya nektar yang selama ini tersimpan.

Kita tidak lagi melihat itu sebagai keajaiban, karena kita telah terbiasa dengan keindahan. Hampir-hampir mati rasa.

Tetapi anak-anak baru di dunia ini. Semua yang mereka lihat untuk pertama kalinya adalah keajaiban yang membuat mereka takjub dan penasaran.

All this is stale knowledge to older people, but one of the secrets of the educator is to present nothing as stale knowledge, but to put himself in the position of the child, and wonder and admire with him; for every common miracle which the child sees with his own eyes makes of him for the moment another Newton.

Adalah salah orangtua apabila anak tumbuh dengan sikap acuh tak acuh terhadap alam lingkungan sekitarnya. Orangtua yang tidak membukakan mata, telinga, hidung, akal budi dan HATI anak akan segala ilmu pengetahuan yang datang dalam bentuk kearifan alam. Ia tak peduli pada pohon yang memberinya oksigen agar bisa bernafas; ia tak peduli pada bunga-bunga yang memiliki aneka warna dan aroma; ia tak peduli bunga itu nantinya bakal jadi buah apa — jadi buah atau tidak, bukan urusanku. Kalau mau buah ya beli aja. Ia tak peduli darimana asalnya makanan yang ia makan. Bahwa butuh proses teramat panjang mulai dari bibit disemai, ditanam, dirawat, dipanen, dan seterusnya. Ah, tidak ada kaitannya denganku. Ia tak tertarik tentang makhluk apa saja yang ada di bawah tanah sana, cacing, belatung, ulat kaki seribu, kelabang, keluwing… halah, apa bedanya mereka semua? Bukannya sama aja, panjang dan berkaki? Ibunya berteriak jijik dan cepat-cepat menyuruhnya cuci tangan setiap ia menyentuh tanah.

Every child has a natural interest in the living things about him which it is the business of his parents to encourage; for, but few children are equal to holding their own in the face of public opinion; ang if they see that the things which interest them are indifferent or disgusting to you, their pleasure in them vanishes, and that chapter in the book of Nature is closed to them.

Tapi tiba-tiba nanti di sekolah dia disuruh menghafal dan memicingkan mata memperhatikan ilustrasi sederhana di buku pelajaran ilmu pengetahuan alamnya, tentang jenis-jenis dan perbedaan tanaman dikotil dan monokotil. Akar tunggang-akar serabut. Bagian-bagian bunga. Jenis-jenis penyerbukan dan pembuahan. Milik siapakah gerangan nama ilmiah Oryza sativa dan Jasminum sambac. Metamoforsis tiga tahap dan empat tahap. Rantai makanan. Dan seterusnya. Pengetahuan yang garing dan membosankan.

For the evil is, that children get their knowledge of natural history, like all their knowledge, at second hand. They are so sated with wonders, that nothing surprises them; and they are so little used to see for themselves, that nothing interests them.

Ketakjuban yang meluap-luap, rasa ingin tahu, serta kemampuan untuk memperhatikan sejatinya telah ada dalam diri setiap anak. Mereka, yang baru datang ke dunia ini tentu saja terheran-heran akan apa yang mereka lihat di lingkungan sekitar. Ma, kenapa bulan ngikutin Aidan terus? Ma, kupu-kupu itu terbang ke sana ke sini nyari apa? Kenapa namanya bunga matahari, apa karena dia bentuknya gede banget kayak matahari? Ada nggak bunga matahari yang segede matahari?

***

 

Pada usia dini, jawaban dan sikap kita atas pertanyaan-pertanyaan pertama anak tentang alam semesta akan sangat menentukan keberlangsungan gelegak ilmu pengetahuan di dalam benak mereka. Apakah kita akan menjawabnya dengan, “Auk ah bawel amat sik nanya mulu diem ngapa!” Atau kita akan mengajaknya berhenti sejenak, berlutut, menyentuh, memperhatikan, mencium aroma, mempertanyakan. Kira-kira apa ya itu. Kenapa ya seperti itu.

Lebih jauh lagi, kita bisa mengajaknya mencatat dan mendokumentasikan dalam Jurnal Alam.

It is a capital plan for the children to keep a calendar — the first oak-leaf, the first tadpole, the first cowslip, the first catkin, the first ripe blackberries, where seen, and when. The next year they will know when and where to look out for their favourites, and will, every year, be in a condition to add new observations. Think of the zest and interest, the object, which such a practice will give to daily walks and little excursions.

Pada mulanya sederhana. Ali bertanya, “Ma, kapan Ali bisa makan rambutan lagi? Ali udah nggak sabar banget.” Buah favoritnya adalah rambutan, dan buah istimewa itu hanya bermusim 1–2 kali setahun.

Kapan ya… Mama juga nggak tau. Jadilah ketika musim rambutan tiba, kami mencatat. Kapan pertama kali kami melihat buah hijaunya di salah satu blok tetangga, lalu tak lama kemudian truk-truk buah mulai membawa rambutan yang kami sambut dengan sukacita setiap malam. Setelah musim rambutan berlalu, Ali ternyata ingat, “Habis musim rambutan, pasti musim mangga! Setelah Ali, sekarang giliran Mama yang pesta!” Allah Maha Pemurah, Indonesia kaya dengan buah manis melimpah. Di sini mungkin tidak ada musim panas-gugur-salju-semi seperti di Eropa. Tetapi aneka buah berganti musim sepanjang waktu. Dengan mencatat, kita jadi bisa memprediksi kapan pesta rambutan berikutnya.

“Mama tahu nggak, ternyata di bawah tanah itu ada banyak banget hewan kecil. Kaki seribu, semut, rayap, kumbang-kumbang kecil, kutu, kelabang, cacing, bahkan ada kayak siput kecil-kecil banget. Dari mana coba?! Dan ternyata, tanah kompos yang longgar (?) gembur kali maksudnya — itu lebih banyak hewannya daripada tanah merah yang keras.”

Ia tidak akan bisa melaporkan dengan lancar celotehan yang kaya informasi itu andai sejak awal aku melarangnya main tanah, apalagi berjongkok lama di sana sambil mengorek-ngorek.

Children should be encouraged to watch, patiently and quietly, until they learn something of the habits and history of bee, ant, wasp, spider, hairy caterpillar, dragon-fly, and whatever of larger growth comes in their way.

Bayangkan, alangkah indahnya ilmu pengetahuan yang datang kepada mereka dalam bentuk gradasi warna dan pola fraktal kelopak bunga. Dalam bentuk kupu-kupu yang menetas dari kepompong. Batu yang beraneka bentuk dan tekstur. Bulan yang berganti bentuk setiap malam. Aneka serangga dan makhluk hidup kecil menakjubkan yang tak habis-habisnya diamati.

Alam terbentang di hadapan mereka bagaikan buku yang selalu terbuka.

Whoever saw a child tired of seeing, of examining in his own way, unfamiliar things? This is the sort of mental nourishment for which he has an unbounded appetite, because it is that food of the mind on which, for the present, he is meant to grow.

Jangan sampai anak-anak menjadi seperti kita, orang dewasa yang kehilangan rasa akan keindahan. Yang tidak memiliki kepekaan dan kelembutan hati, akan semut yang mungkin terinjak, akan pohon yang hendak ditebang. Alam mengajarkan dengan lembut, sabar, dan perlahan. Tidak banyak yang mesti kita lakukan selain mengajak mereka sesering mungkin untuk melihat, mendengar, mencium, merasakan, dan menikmati alam yang sedemikian menakjubkan. Charlotte Mason mengutip kesaksian John Audubon, seorang ahli burung sekaligus pelukis ternama pada masa itu, tentang masa kecilnya.

“When I had hardly learned to walk,” he says, “and to articulate those first words always so endearing to parents, the productions of Nature that lay spread all around were constantly pointed out to me . . . My father generally accompanied my steps, procured birds and flowers for me, and pointed out the elegant movements of the former, the beauty and softness of their plumage, the manifestations of their pleasure, or their sense of danger, and the always perfect forms and splendid attire of the latter. He would speak of the departure and return of the birds with the season, describe their haunts, and, more wonderful than all, their change of livery, thus exciting me to study them, and to raise my mind towards their great Creator.”

Salah satu karya Audubon

Tidak ada yg lebih menyedihkan ketimbang melihat anak-anak yang acuh pada kupu-kupu yang terbang melintas, pada bunga yang mekar warna-warni, pada gurat dedaunan, pada rumput yang mengatup ketika terinjak. Mereka mengabaikan semua keindahan, enggan memalingkan mata dari gawai yang melenakan.

Coba agendakan rutin jalan-jalan mengamati alam. Jangan cuma kalau sempat aja ya. Nature walk harus diagendakan dengan sengaja dan terencana —yap, se-urgent itu bagi Charlotte Mason.

“Aku tinggal di perkotaan, di mana menemukan tempat untuk mengamati?”

National Geographic pernah membuat edisi khusus tentang “Life Within One Cubic Foot”. Coba dekati bunga ungu yang tumbuh di tepian got itu. Berlututlah. Bayangkan kotak imaji berukuran 1 meter kubik, mulai dari bagian atas tanaman sampai ke bawah tanahnya. Amati di situ saja. Sungguhkah kamu tidak menemukan apa-apa?

Bekali mereka dengan teropong, kaca pembesar, mungkin kertas dan pensil, biarkan mereka menghitung jumlah kaki semut, mengamati apa yang dibawa burung gereja di paruhnya, biarkan mereka mencium aroma bunga, menyentuh bulu halus pada daun labu dan duri pada batang mawar. Biarkan mereka membaca, merasakan, mempelajari, dan mencintai semesta. Dengan begitu, akan tumbuh rasa kekaguman dan khusyuk yang mendalam atas kebesaran Tuhan Pencipta Alam.

Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. (QS Al-‘Alaq: 1)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS Ali Imron 190–191)

Leave a Comment

error: Content is protected !!