Cakrawala Pengetahuan, Guru Kepribadian

Narasi atas Home Education pg 66–72

Kemarin adalah hari terakhir sulungku belajar di TK, dan bulan depan, dia sudah memulai babak baru sebagai siswa SD. Pertanyaan yang sering ditanyakan adalah, sudah bisa baca? Sudah bisa menulis? Sudah bisa ngitung sampai berapa? Meski tes calistung untuk masuk SD telah dilarang, kenyataan bahwa anak-anak yang belum bisa calistung akan tertinggal (atau ditinggal?) tak pelak membuat orangtua gelisah.

Paradigma sempit tentang belajar yang hanya sebatas kemampuan calistung mesti kita kaji ulang, terutama terkait anak usia dini. Membaca rangkaian huruf serta mengira jumlah bilangan adalah kemampuan mental yang sulit bagi anak-anak usia dini, apalagi jika ia tidak pernah mempelajari hal itu sebelumnya melalui benda konkret dan pengalaman inderawi. Charlotte Mason menyebut ini sebagai “overpressure”.

A great deal has been said lately about the danger of overpressure, of requiring too much mental work from a child of tender years. The danger exists; but lies, not in giving the child too much, but in giving him the wrong thing to do, the sort of work for which the present state of his mental development does not fit him.

Kenapa huruf A yang berbentuk segitiga itu bunyinya “A”? Terus huruf “a” kecil beda bentuk tapi bunyinya sama. Huruf alif dalam aksara Arab yang berbentuk seperti tongkat juga dibaca “a”. Kenapa angka “10” yang berjumlah dua digit itu digunakan untuk menyebut jumlah jari tangan yang ada banyak? “100” juga angkanya cuma ada 3 tapi kenapa bisa dipakai untuk merepresentasikan benda yang banyak banget?

Jangankan soal jumlah dan angka, untuk memahami soal jauh-dekat, besar-kecil, benda 2 dimensi atau 3 dimensi, itupun butuh kemampuan mental yang hanya bisa anak dapatkan dari pengalaman inderawi. Dan alam menyediakan segala paparan sensori yang anak perlukan sebagai bekalnya memahami bagaimana dunia bekerja.

Because far and near, large and small, are ideas he has yet to grasp. The child has truly a great deal to do before he is in a condition to ‘believe his own eyes’; but Nature teaches so gently, so gradually, so persistently, that he is never overdone, but goes on gathering little stores of knowledge about whatever comes before him.

Pada bagian ini pula, Charlotte Mason tampak mengkritik pendidikan usia dini/Taman Kanak-Kanak yang menggunakan objek, alat peraga, atau aparatus yang bersifat artifisial. Menurut dia, objek buatan manusia itu tidaklah diperlukan, bahkan berpotensi membatasi kemampuan eksplorasi anak. Seandainya orangtua memahami bahwa di alam dan bahkan di rumah sekalipun, seorang anak dapat belajar lebih bebas dan lebih banyak; daripada mengikuti serangkaian rutinitas dan metode yang kompleks di sekolah.

In infant and kindergarten schools, by the object lesson, which is good so far as it goes, but is sometimes like that bean a day on which the Frenchman fed his horse. The child at home has more new things brought under his notice, if with less method.

Pengetahuan yang layak — Rasa ingin tahu yang besar serta kemampuan untuk mengobservasi secara detail telah ada secara alami dalam diri setiap anak; dan ini menjadi modal dasar dalam pendidikan. Charlotte Mason ingin orangtua memfasilitasi kemampuan alami yang menakjubkan ini dengan memaparkannya kepada “hal-hal yang layak diobservasi”. Lingkungan kota yang sarat akan benda artifisial buatan manusia dinilainya tidak cukup layak dan tidak cukup menarik untuk diobservasi anak.

There is plenty to be seen in a town and children accustomed to the ways of the streets become nimble-witted enough. But the scraps of information to be picked up in a town are isolated fragments; they do not hang on to anything else, nor come to anything more; the information may be convenient, but no one is the wiser for knowing which side of the street is Smith’s, and which turning leads to Thompson’s shop.

Ya, OK anak sudah memahami arah. Dia tahu letak sekolahnya, rumah temannya, warung jajannya, lalu apa? Apakah anak mampu mengaitkannya dengan dunia tempat ia tinggal dan ilmu pengetahuan yang lebih luas?

Meski awalnya cukup kaget dengan pendapat Charlotte Mason tersebut, aku baru memahaminya ketika mengajak anakku ke tepi pantai, melihat matahari terbenam. Ada satu hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya dan memantik perenungan yang lebih jauh; di kala ia melihat CAKRAWALA. Tahu kan, garis batas antara langit dan bumi, tempat di mana matahari tampak terbit dan tenggelam. Jika tidak sedang di laut atau di puncak gunung, memang sulit bagi kita melihat cakrawala lantaran selalu tertutup dengan lansekap bangunan perkotaan. Dan pengalaman melihat matahari terbenam di cakrawala ternyata membuatnya merenung lama, lalu bertanya: “Di ujung sana ada apa? Jadi matahari pergi ke mana? Berarti dia sebenarnya nggak terbenam dong?” Dan seterusnya, hingga akhirnya kami membelikan bola dunia. Kita tahu salah satu perenungan penting Colombus bahwa bumi itu bulat bukan datar, adalah ketika ia memandangi cakrawala.

Aku pikir itulah yang dimaksud Charlotte Mason, bagaimana objek-objek yang kita amati di alam dapat menghubungkan kita dengan pengetahuan yang lebih luas tentang semesta. Ia juga mengutip Charles Kingsley, sebagai berikut:

“I say it deliberately, as a student of society and of history: power will pass more and more into the hands of scientific men. They will rule, and they will act — cautiously, we may hope, and modestly, and charitably — because in learning true knowledge they will have learnt also their own ignorance, and the vastness, the complexity, the mystery of Nature. But they will also be able to rule, they will be able to act, because they have taken the trouble to learn the facts and the laws of Nature.”

Anak yang telah melihat bagaimana aliran sungai membentuk kelok-kelok jurang, menghaluskan permukaan batu, akan dapat memahami jika suatu saat ia belajar tentang konsep “erosi” dalam geografi. Anak yang terbiasa memperhatikan aneka bentuk daun dan meraba permukaan batang pohon, akan memahami ketika tiba saatnya ia mengenal istilah “dikotil” dan “monokotil” dalam biologi.

The power to classify, discriminate, distinguish between things that differ, is amongst the highest faculties of the human intellect, and no opportunity to cultivate it should be let slip;

Relasi dengan alam juga dapat membentuk anak menjadi pribadi yang lebih ceria, menyenangkan, gigih, dan sabar. Ia tidak butuh “healing” dari kepenatan duniawi, karena alam selalu menghibur dan menyibukkannya dengan hal-hal menarik.

Beberapa waktu lalu aku menyimak podcast Deddy Corbuzier dengan Andrew Kalaweit. Anakku suka sekali sama sosok remaja satu ini. Ia dibesarkan di tengah hutan, sejak usia 5 bulan sudah dibawa oleh ayahnya yang seorang pelestari alam untuk ikut mencari orangutan, mengikuti jejak owa, macan kumbang, sampai berhari-hari dan berminggu-minggu.

Waktu tampaknya berjalan begitu lambat bagi Andrew. Dan ia menikmatinya. Tidak ada sesuatu pun yang menggegasnya untuk ini-itu, tetapi ia tidak pernah bosan meski dengan listrik dan internet yang sangat terbatas di tempat tinggalnya. Ia tidak sekolah formal, tetapi alam mengajarkannya banyak hal.

Consider, too, what an unequalled mental training the child-naturalist is getting for any study or calling under the sun — the powers of attention, of discrimination, of patient pursuit, growing with his growth, what will they not fit him for? Besides, life is so interesting to him, that he has no time for the faults of temper which generally have their source in ennui; there is no reason why he should be peevish or sulky or obstinate when he is always kept well amused.

“Nggak kepingin main sinetron?”

“Enggak. There’s no point of me doing that. jawabnya santai sambil memamerkan senyum menawan dari wajahnya; wajah blasteran yang umumnya digemari para produser serial remaja.

“Pindah ke Jakarta hidup glamor, main sinetron, kumpul-kumpul clubbing, belanja di mall, party-party gitu…”

“Nggak pengen. I am enjoying this, what we’re doing in Borneo, Andrew menjawab tanpa ragu. Dia baru 18 tahun, dan di kota-kota besar, apa yang dilakukan para remaja memang tak jauh-jauh dari mencari kesenangan, menikmati hidup, dan berkumpul bersama teman-teman. Remaja menggemari adrenalin, banyak juga yang ujung-ujungnya balap liar atau tawuran. Tetapi kesenangan bagi Andrew adalah memanjat pohon setinggi puluhan meter sendirian lalu pasang hammock dan tiduran seharian di atas sana, just for fun!

Lagi-lagi, Charlotte Mason mengutip Charles Kingsley tentang betapa alam dapat menyalurkan energi anak yang sangat besar kepada hal-hal positif — bahkan menjauhkannya dari urusan duniawi yang remeh-temeh dan sia-sia.

“I have seen the young man of fierce passions and uncontrollable daring expend healthily that energy which threatened daily to plunge him into recklessness, if not into sin, upon hunting out and collecting, through rock and bog, snow and tempest, every bird and egg of the neighbouring forest . . . I have seen the young London beauty, amid all the excitement and temptation of luxury and flattery, with her heart pure, and her mind occupied in a boudoir full of shells and fossils, flowers and seaweeds, keeping herself unspotted from the world, by considering the lilies of the fields of the field, how they grow.”

Leave a Comment

error: Content is protected !!