Sebuah refleksi dari bacaan Home Education: Out of Door Life for the Children
Alam luas menyimpan sejuta misteri yang tak akan habis dieksplorasi. Ia adalah lahan tak berbatas untuk menguji kemampuan akal manusia. Namun di sisi lain, ia juga memiliki potensi resiko dan bahaya yang tidak dapat kita prediksi.
Suatu hari sehabis main di sungai, Ali mengalami gatal yang luar biasa menyiksa. Kami coba mencari penyebabnya tapi belum ketemu, satu rumah tidak tidur semalaman karena Ali terus menangis. Gatal, digaruk, lecet, semakin perih dan gatal. Ia minta kompres dingin, kompres panas, serba salah. Akhirnya, kami mencoba memelototi setiap lipatan kulit di bagian yang terasa sangat gatal itu, hingga akhirnya kami menemukan satu makhluk berwarna merah yang keciiiiiiiiil sekali, lebih kecil daripada titik di akhir kalimat ini. Ada kakinya enam, aku gak liat mukanya, seekor kutu. Saking kecilnya, tidak bisa diambil pakai tangan atau cotton bud, ia baru bisa diambil dengan menggunakan tusuk gigi. Makhluk sekecil ini mampu membuat serumah kelimpungan tidak bisa tidur.
Alam menunjukkan betapa tidak berdayanya kita di hadapan kuasa Tuhan. Ia memiliki pesona, tetapi ia juga menyimpan bahaya.
Jelas, ada pilihan lain yang lebih aman. Mengurung anak di dalam ruangan kaca, berbantal dan berbusa, beralas karpet lembut dalam “negeri liliput” dan objek buatan yang telah lulus uji keamanan, guna memastikannya aman pula bereksplorasi. Namun Charlotte Mason menganggap hal ini seperti memberi makan kuda sebutir kacang setiap hari. Tidak cukup. “I want so much for children,” katanya.
Sama seperti investasi. Kalau kamu mau opsi yang aman, ada. Tentu hasilnya pun tidak seberapa. Tetapi bagi orang yang lebih berani mengambil resiko, hasilnya pun bisa jadi lebih besar dan nyata. Greater potential, greater risk.
Belum hilang dari ingatan kita saat beberapa pekan lalu seorang anak pejabat dinyatakan hanyut saat berenang di sungai. Ia seorang pemuda atletis, memiliki lisensi diving, dan mencintai alam. Alam pula yang memanggilnya untuk pulang ke Tuhan. Tetapi dari ketabahan orangtuanya, aku juga merenungkan satu hal penting, bahwa melepas anak ke alam butuh lebih dari sekadar kesiapan fisik dan lain lain; kita perlu kesiapan hati dan iman.
Aku teringat Norman Edwin, wartawan Kompas sekaligus ikon pencinta alam Indonesia yang meninggal saat mendaki Gunung Aconcagua di Argentina. Ia menulis, “Orang yang tak pernah membuat kesalahan adalah orang yang tidak pernah berbuat apa-apa.” Ia juga menulis, bahwa rasa takut itu ada agar kita bersikap hati-hati. Persis, itulah yang tempaan mental yang tidak akan didapat dari lingkungan serba aman. Kemudian Soe Hok Gie yang berkata, “Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur.” Dan demikianlah hidupnya berakhir di Gunung Mahameru yang agung.
Tidak mungkin kita berharap dapat menjaga anak kita 24/7 agar jangan sampai ia lecet dan luka, sementara takdirnya sudah digariskan Sang Pencipta. Andrew Kalaweit, remaja “tarzan” yang tengah naik daun itu, enggan menukar hidupnya yang bebas di alam liar saat ini dengan apapun. “Lebih baik aku cuma hidup sampai 30 tahun tetapi aku bahagia, ketimbang aku hidup 100 tahun terkurung di dalam kamar yang mewah,” katanya.
Seorang kawan yang juga guru sekolah alam bercerita, bahwa pertanyaan pertama orangtua ketika melihat model kelas terbuka yang di bawahnya ada kolam ikan, lumpur, selalu begini: “Emangnya aman? Nanti kalau kecemplung gimana?”
Sama sih, seperti aku yang sering ditanya, “Emang nggak sakit dibiarin hujan-hujanan gitu anaknya?” Aku juga tidak tahu persis kenapa, hampir setiap hujan mereka selalu main di luar, dan mereka tidak jadi sakit karenanya. Kecuali jika hujan petir dan angin kencang, tentu aku melarang mereka keluar. Bagiku, hujan adalah rahmat, berkah dari Tuhan untuk makhluk bumi dan karenanya aku mempersilakan anakku menikmatinya. Mungkin itu salah satu bentuk imanku.
Ketika berada di tengah-tengah alam liar, mau tak mau kita terputus dari teknologi dan peradaban. Tidak ada sinyal, tidak ada colokan. Ngapain juga HP-an sih. Kita pasti sibuk menjelajah dan menikmati. Aku tahu karena gini-gini dulu aku suka camping. Tetapi berbeda ketika untuk pertama kalinya aku melepas Ali camping bersama ayahnya di dekat air terjun Bantimurung, Sulawesi Selatan. Saat itu aku dapat kabar, di sana hujan seharian. Pernah ada kejadian banjir bandang di sungai itu, dan dua hari tanpa kabar dari mereka membuatku sangat cemas. Bagaimana jika begini, jika begitu? Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan, kecuali beriman dan berdoa mengharap penjagaan Tuhan. Selain itu, semuanya di luar kuasaku.
Seorang kawan bertanya, bagaimana anakku bisa berenang di usia 4 tahun, sedangkan anaknya baru main air sebentar saja malamnya sudah masuk angin. Bagaimana anakku bisa melompat-lompat riang di pematang sawah, sedangkan anaknya menginjak tanah tanpa sendal pun enggan. Pernah juga seseorang nyinyir, ketika melihat anakku lincah menggowes sepeda roda 2 di usia 3 tahun. Anaknya tidak ada yang bisa naik sepeda, keluar rumah saja tidak boleh. “Ngapain juga cepet-cepet naik sepeda, nggak bisa naik sepeda nggak mati juga anak gue, nanti langsung naik mobil aja ya Kak, amin.”
Iyah, amin…😁
Hidup ini lebih dari sekadar kotak-kotak rumah kita. Dunia ini luas, belum lagi alam semesta. Potensi manusia dapat berkembang lebih daripada sekadar pekerjaan kantoran, daripada sekadar mobil untuk berkendara. Bagaimana kita bisa melepas anak kita merantau ke pulau/negeri seberang, kalau ke luar rumah saja tidak kita izinkan? Bagaimana kita melepas anak menyelam ke lautan dalam, atau bahkan menjadi astronot di luar angkasa, sedangkan kita selalu gelisah memantau ia di setiap langkah?
Hal-hal yang lebih besar menanti hanya jika kita membebaskan eksplorasi anak-anak ke cakupan yang lebih luas, bahkan mungkin daerah yang belum pernah terjamah. Tentang keselamatannya, kita serahkan kepada Tuhan. Dapatkah kita beriman?
Islam memuliakan orang-orang yang bepergian sehingga banyak sekali keringanan ibadah yang dikhususkan untuk mereka. Doa yang dipanjatkan seorang musafir pun mustajab, didengar dan dikabulkan Allah. Dalam Islam, kita mengenal Ibnu Batutah sang penjelajah. Imam Syafi’i yang menghabiskan hidupnya untuk berguru dari Gaza ke Makkah, Madinah, Baghdad, hingga akhirnya wafat di Mesir. Al-Quran memaparkan keutamaan hal ini, dalam QS Al-Mulk ayat 15:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Kalimat terakhir pun mengisyaratkan keimanan dan kepasrahan. Hanya kepada-Nya lah kamu kembali…
***
Tentang alam pikiran — Kita sedang bicara tentang alam semesta tetapi sesungguhnya aku jadi teringat kepada keluasan alam pikiran juga. Salah satu penulis yang berpengaruh bagi cara berpikirku, yaitu Ahmad Wahib. Sebagai seorang santri, catatan pergolakan pemikirannya begitu “liar” atau “nyeleneh” mempertanyakan hal-hal yang dianggap tabu dan terlalu suci bagi akal pikiran.
Sesungguhnya, bagaimana orang disuruh dengan sukarela untuk percaya pada Tuhan ada, kalau tidak boleh memikirkan kemungkinan benarnya “kepercayaan” bahwa Tuhan tidak ada.
Pada hemat saya, orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir.
Saya kira orang yang tidak mau berpikir bebas itu menyia-nyiakan hadiah Allah yang begitu berharga yaitu otak. […] Mungkin akan ada orang yang mengemukakan bahaya dari berpikir bebas yaitu orang yang berpikir bebas itu cenderung atau bahkan bisa menjadi ateis. Betulkah? Orang yang sama sekali tidak berpikir juga bisa ateis! Lebih baik ateis karena berpikir bebas daripada ateis karena tidak berpikir sama sekali. Ya, meskipun sama-sama jelek.
Senafas dengan pemikiran Charlotte Mason tentang pendidikan anak; bahwa ia ingin setiap anak dapat memekarkan segala potensi yang ada di dalam dirinya, push the boundaries, dan orangtua mengerahkan seluruh tenaga, hati dan pikirannya demi mencapai potensi maksimal; yang mungkin belum pernah dicapai sebelumnya.
Aman saja tidak cukup. Ada saja tidak cukup. Cinta saja tidak cukup. Buku saja tidak cukup. Patuh saja tidak cukup. Cukup saja, tidak cukup.
Itulah yang sesungguhnya diinginkan Charlotte Mason, yang terbaik untuk anak-anak. Dan untuk merelakan anak menjelajah tempat yang tidak diketahui sebelumnya baik di alam semesta maupun alam pikiran, orangtua mesti memiliki kelapangan hati yang luar biasa.
Aku tidak menyangka, dari buku panduan mendidik anak usia dini ini, Charlotte Mason mengantarkanku pada perenungan yang lebih dalam.