Narasi atas Towards a Philosophy of Education pg 57–59 dan 79–89
Sama halnya dengan tubuh yang butuh makanan, akal budi kita pun dahaga akan ilmu pengetahuan. Ini merupakan salah satu hasrat alami yang telah ada dalam diri setiap manusia sejak lahir. Kita menyaksikan bagaimana bayi mengeksplorasi; mengemut jari, mengeluarkan seluruh isi lemari, membunyikan panci, mengikuti ke mana semut pergi, memasukkan ke mulutnya benda-benda yang bukan makanan, merobohkan tumpukan pakaian yang telah diseterika — huft. Semua ia lakukan karena keingintahuan yang begitu besar akan hal yang baru ia lihat di sekitarnya.
Ini adalah modal awal dalam pendidikan setiap manusia. Tetapi, metode-metode yang digunakan dalam pendidikan seringkali justru mengabaikan hasrat alami ini, yakni hasrat akan pengetahuan yang murni, kemudian menodai bahkan menggantikannya dengan hasrat-hasrat lain yang tidak perlu.
Sistem pendidikan menyiapkan iming-iming hadiah, peringkat, pujian dan piagam penghargaan, beasiswa, dan tak jarang pula ancaman dan hukuman. Mereka mengupayakan berbagai cara demi si anak belajar lebih giat dan mencapai hasil yang lebih baik.
We do make use of the desires, not wisely, but too well. We run our schools upon emulation, the desire of every child to be first; and not the ablest, but the most pushing, comes to the front. We quicken emulation by the common desire to get and to have, that is, by the impulse of avarice. So we offer prizes, exhibitions, scholarships, every incentive that can be proposed. We cause him to work for our approbation, we play upon his vanity, and the boy does more than he can.
Semua ini tidak perlu, cukuplah pengetahuan itu sendiri yang seharusnya menggugah benak setiap anak sehingga mereka tidak berhenti mencari tahu dan belajar. Alangkah repotnya bila setiap hari para guru harus memikirkan berbagai cara “mengemas” bahkan “mengunyahkan” ilmu pengetahuan agar menarik dan mudah ditelan. Ke mana kita pinggirkan hasrat ingin tahu yang alami tadi?
Jamak kita temui sistem pendidikan yang mengedepankan semangat “competitiveness” guna memotivasi siswa untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik. Aku mengalaminya di sekolahku dulu. Ada kelas unggulan, yaitu A dan B, yang menjadi tempat bagi para siswa dengan pencapaian akademik terbaik. Bisa dibilang, kelas A adalah tempatnya para juara kelas, kelas B tempatnya para runner up, sementara sisanya adalah “siswa rata-rata.” Kebetulan, aku selalu masuk ke dalam kelompok kelas unggulan. Teman sekelasku bisa ditebak, dia lagi-dia lagi orangnya. Kadang ada teman yang sedang terpuruk nilainya, mesti ‘tergusur’ sendirian ke ‘kelas biasa’. Itu menyakitkan kalau kuingat. Juga ada diskriminasi yang kurasakan ketika aku tidak bisa berinteraksi lebih bebas dengan teman-teman di kelas lain. Pelabelan “anak unggulan” membuatku tidak nyaman.
Saat ini, sekatnya malah lebih tinggi lagi. Anak-anak “unggulan” ditempatkan pada kompleks khusus, dengan kemewahan fasilitas hingga menu makanan yang berbeda. Jadi, anak-anak pintar diberi menu daging, sementara anak rata-rata diberi menu tempe? Aku merasa ini sangat tidak adil. Apakah kita ingin memotivasi anak untuk meraih hasil yang lebih baik, agar mereka dapat pindah ke tempat yang lebih baik? Mengapa harus begitu? Niat belajar bukan lagi karena kecintaannya yang besar kepada ilmu pengetahuan, tetapi ia belajar demi mendapatkan nilai ujian dan peringkat yang lebih baik — mungkin juga pengakuan dan kebanggaan.
In the intellectual field, however, there is danger; and nothing worse could have happened to our schools than the system of marks, prizes, place-taking, by which many of them are practically governed. A boy is so taken up with the desire to forge ahead that there is no time to think of anything else. What he learns is not interesting to him; he works to get his remove.
Butir pertama yang dirumuskan Charlotte Mason dalam filosofi pendidikannya adalah children are born persons. Anak-anak terlahir sebagai pribadi utuh. Mereka suci, fitrah, dan lebih dekat dengan Tuhan. Orang dewasa kerap merasa lebih superior sehingga mereka repot-repot mengajari anak ini-itu, bahkan tak jarang orang dewasa merasa harus memenuhi “lembaran kertas putih kosong” ini dengan catatan agenda dan cita-cita yang baik, keren versi mereka sendiri.
Charlotte Mason ingin para pendidik menghormati kepribadian setiap anak dengan segala keunikannya. Proses pendidikan semestinya berlangsung tanpa menodai fitrah mereka.
Aku ingat dulu pernah disarankan untuk mempraktikkan hypnosis untuk menyapih anakku, yaitu dengan mengucapkan sugesti berulang-ulang ketika otak anak sedang berada pada gelombang alpha-theta; utamanya saat dia sedang rileks, mengantuk, mata mulai tertutup, dan saat ia sedang tertidur lelap.
Apakah berhasil? Ya, berhasil. Aku sangat terbantu dengan cara ini. Dan kita tahu bahwa hypnosis dapat diterapkan pada berbagai hal, mulai dari menurunkan berat badan, meredakan stres, hingga menghilangkan phobia dan kecanduan. Aku tidak menyangka bahwa 200 tahun lalu, Charlotte Mason telah menyinggung hal ini dan menyebutnya sama dengan mencederai pribadi anak.
‘Suggestion’ goes to work more subtly. The teacher has mastered the gamut of motives which play upon human nature and every suggestion is aimed at one or other of these… Dr. Stephen Paget holds that it should be used only as a surgeon uses an anesthetic [in small doses]; but it is an instrument easy to handle, and unconsidered suggestion plays on a child’s mind as the winds on a weathercock. “Unstable as water, thou shalt not excel” is the unfortunate child’s doom; for how is it possible for stability of mind and character to evolve under a continual play of changing suggestions?
Alangkah mudahnya jika kita menggunakan ‘anestesi’ sugesti ini sebagai alat dalam pendidikan. Ini serupa jalan pintas. Dalam beberapa hal, ia mungkin berhasil, tetapi ia tidak dapat digunakan untuk mengokohkan karakter. Coba bayangkan, seandainya keseharian kita bersama anak berlangsung seperti ini. Bangun tidur, kita sugesti ia agar menurut, sarapan, mandi, lalu bersiap belajar. Kita mensugestinya untuk jangan banyak tanya dan membantah, mengerjakan setiap tugas sampai selesai. “Adek… tatap mata mama… Dalam hitungan ketiga…”
Kita berikan ia sugesti untuk selalu jujur dan mengemukakan setiap rahasia yang ia simpan. Kita sugesti ia agar tidak menolak makanan, tidak mengompol, tidak berebut dengan adik, tidak main, tidak ngeberantakin…
Itu anak apa robot?
Jelas enak dong kalau begitu. Kita tidak perlu mengeluarkan urat dan capek-capek mengurusi dia, dia sudah kita ‘program’ untuk berperilaku sesuai keinginan. Secara keilmuan pun ada caranya. Tetapi, apakah sungguh kita ingin memperlakukan anak kita seperti itu? Akan jadi orang macam apa ia kelak? Pribadi utuh kah? Bagaimana jika kita; sang pemberi sugesti; tidak ada? Akankah ia dapat memiliki otonomi diri?
Hal lain dalam pendidikan yang juga dapat mencederai hasrat alami anak akan pengetahuan adalah sosok guru itu sendiri. Kharisma, karakter, dan pengaruh guru yang kehadirannya malah menjadi distraksi dari menu utama yang seharusnya disajikan: yakni pengetahuan.
Aku ingat dulu pernah diajar oleh guru sejarah yang sangat…lucu! Begitu banyak akal cerdiknya membuat kami melek di jam-jam ngantuk, membuat kita tertawa seru di tengah pelajaran sejarah yang biasanya mendayu-dayu. Aku sangat menyukai sosok guruku itu. Tapi bagaimana dengan pelajarannya? Seberapa banyak yang nyantol? Aku bahkan tidak ingat dia mengajarkan sejarah apa 😂😂😂. Hapunten Pak… Ya Alloh…
We may not pose before children, nor pride ourselves on dutiful getting up of knowledge in order to deliver it as emanating from ourselves… The personality of the teacher would influence them to distraction from the delight in knowledge which is itself a sufficient and compelling force to secure perfect attention, and seemly discipline.
Sama halnya dengan kharisma. Aku merelasikannya dengan tokoh-tokoh pemimpin yang mampu membakar semangat rakyat dari balik podium, tokoh-tokoh agama yang kehadirannya selalu dinanti ribuan jamaah — mereka kharismatik. Sulit untuk mengabaikan mereka. Ada masa di mana mereka dipuja bagai manusia setengah dewa. Hitler, Soekarno, Habib ono-Ustad ini… Orang-orang yang memuja mereka senantiasa bersorak, tidak mampu mengkritisi ide yang menyimpang; bahkan kekeuh membela walau mereka salah. Mereka terbutakan fanatisme sehingga tidak bisa melihat ide. Apa yang terjadi jika sosok ini tidak ada atau membuat mereka kecewa? Maka runtuh pulalah segalanya.
Aku ingat betapa marahnya ibu-ibu ketika tahu Aa Gym menikah lagi. Seketika pesantrennya sepi. Foto-foto mereka pun diturunkan dari pajangan. Padahal, materi dakwah Aa Gym itu banyak yang adem lho. Kecintaan kepada sosok— terbukti telah menjadi distraksi bagi pengetahuan yang disampaikan.
… and the schoolgirl who idolises her mistress, the boy who worships his master, is deprived of the chance of free and independent living. His personality fails to develop and he goes into the world as a parasitic plant, clinging ever to the support of some stronger character.
Waktu SD siang-siang sepulang sekolah sementara ibuku tidur, aku pernah membukakan pintu bagi orang asing yang berpakaian rapi, berwajah tampan, bicaranya cepat nan memukau — yah, sales — tapi ternyata ia menggondol beberapa barang dari rumah kami termasuk sepatu kerja Bapak yang bernilai lumayan. Sejak itu Bapak sering mewanti-wanti aku agar jangan mudah terpukau sama yang namanya manusia. Manusia mah di mana-mana sama aja. Nggak pernah tuh aku ikut ngerumunin atau foto sama artis. Seperti kata Bapak, semuanya “Biasa-biasa saja…” 😂
This education of the feelings, moral education, is too delicate and personal a matter for a teacher to undertake trusting to his own resources. Children are not to be fed morally like young pigeons with predigested food. They must pick and eat for themselves and they do so from the conduct of others which they hear of or perceive.
Aku takjub betapa Charlotte Mason memperhatikan hal sehalus ini dalam proses pendidikan: motif dan hasrat. Ia diciptakan Tuhan secara alami ada dalam diri manusia untuk digunakan sebagai alat meregulasi diri. Pendidikan seharusnya tidak memanipulasi hasrat-hasrat ini sehingga yang satu lebih dominan dan merusak yang lain. Seperti halnya api dan air, dalam jumlah yang terkendali, ia bisa menjadi alat yang membantu. Namun, jika ia meluap tak terkendali, ia akan menjadi petaka. Ada begitu banyak potensi manusia, untuk menjadi baik, dan untuk menjadi buruk. Kita mesti sangat berhati-hati.
1 thought on “Pendidikan yang Mencederai Hasrat Pengetahuan”