Narasi atas Towards a Philosophy of Education pg 81–88
Beberapa waktu lalu teman-teman di komunitas Charmed mengadakan kelas pengenalan kurikulum pendidikan Charlotte Mason. Aku tercengang menyadari banyaknya subjek yang mesti dipelajari oleh anak-anak. Mulai dari pengetahuan tentang Tuhan: agama dan kitab suci — pengetahuan tentang alam semesta: sains, matematika, geografi, fisika —pengetahuan tentang manusia: sejarah, sastra, kewarganegaraan, ekonomi, bahasa dan seni, ditambah yang tak kalah penting: pengetahuan tentang diri sendiri.
Wow!
Dengan metode yang sangat gentle, dalam short lessons dan evaluasi berupa narasi, Charlotte Mason membuktikan bahwa anak-anak mampu mencerna semua “nutrisi akal budi” ini, tidak peduli latar belakang sosial mereka. Melalui narasi-narasi menakjubkan dari para anak didiknya seusai membaca living books yang ia berikan; Charlotte Mason yakin, dahaga ilmu pengetahuan adalah satu-satunya yang diperlukan untuk keberlangsungan pendidikan. Dan anak-anak ini, dengan pikiran yang bertumbuh pesat—mereka senantiasa kelaparan.
Cannot people get on with little knowledge? Is it really necessary after all? My child-friends supplied the answer: their insatiable curiosity shewed me that the wide world and its history was barely enough to satisfy a child who had not been made apathetic by spiritual malnutrition.
Bukan hanya soal melatih mata dan tangan agar lebih terampil, bukan hanya demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau naik ke status sosial yang lebih tinggi — pendidikan adalah hal spiritual. Tentang persemaian ide, proses dialektika yang membentuk paradigma, karakter, dan budi pekerti. Bukan alat peraganya yang mesti macam-macam, bukan gurunya yang mesti bersertifikasi, bukan sekolahnya yang mesti mewah nan mahal, melainkan idenya yang mesti berkualitas dan beragam.
Charlotte Mason menyebutnya sebagai perjamuan ide.
Terbayang, suasana perjamuan di meja makan (atau lesehan!) tersaji berbagai jenis makanan lezat menggugah selera. Ini versi Sunda yah — mulai dari sayur asem, ayam bakakak, sate usus, jambal roti, tempe-tahu, sambel limau, tumis daun pepaya, peuteuy goreng, lalapan segar, serta aneka pepes. Nasinya anget ditutug oncom. Minumnya air putih yang di-infused dengan potongan jeruk nipis dan kemangi — eh itu mah kobokan. Minumnya apa yah? Teh tawar anget aja deh. Aih aih… Mangga ditampi…
Bayangkan jika semua yang terbaik, termewah, yang bisa engkau sajikan ini bukan makanan melainkan ide, nutrisi untuk akal budi. Alangkah bahagianya anak-anak memuaskan dahaga.
Jika sekarang orang berpendidikan dituntut untuk menjadi spesialis di bidangnya masing-masing, Charlotte Mason justru ingin anak-anak menjadi generalis; artinya tahu tentang banyak hal. Para ilmuwan terdahulu bukanlah spesialis, mereka ahli dan meminati banyak bidang. Aristoteles adalah seorang filsuf, matematikawan, ahli politik dan pemerintahan, juga seniman. Ibnu Rusyd menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, akidah, fiqih, dan linguistik. John Audubon pun pelukis yang juga pemerhati alam dan ahli burung, pebisnis, dan anggota dewan. “Kok nggak nyambung ya?” kata orang zaman now. Bukan tidak nyambung, justru hal ini jadi bukti nyata luasnya cakupan intelektual manusia, dan tidak semestinya dikotak-kotakkan.
Beginilah sesungguhnya para pangeran dan keluarga bangsawan dididik. Kelak, sebagai pemimpin mereka mesti luwes bercengkerama dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Sejarawan, pelukis, filsuf, dokter, ekonom, pedagang, petani, guru, perawat, ibu rumah tangga; bahkan bertemu dengan pemimpin/tokoh dari berbagai negara. Apakah ketika berbincang dengan mereka, sang pangeran hanya mampu berbasa-basi tentang cuaca hari ini?
In this way princes are trained; they must know something of botany to talk with botanists, of history to meet with historians; they cannot afford to be in the company of scientists, adventurers, poets, painters, philanthropists or economists, and themselves be able to do no more than ‘change the weather and pass the time of day’; they must know modern languages to be at home with men of other countries, and ancient tongues to be familiar with classical allusions. Such considerations rule the education of princes, and every boy has a princely right to be brought up so that he may hold his own in good society, that is, the society of those who ‘know.’
Aku teringat bahwa dulu, sebagai jurnalis pun aku dilatih untuk menjadi generalis. Jurnalis adalah generalis yang spesialis, kami tahu (sedikit-sedikit) tentang banyak hal. Bayangkan, dalam satu hari, kami bisa mewawancarai beberapa orang dari latar belakang berbeda. Pagi mewawancarai ekonom, sore menelepon pakar tata kota, malamnya kami menemui buruh migran korban kekerasan. Besoknya, kami akan menemui orang yang berbeda lagi. Tugas ini memaksa kami memperkaya diri dengan wawasan yang luas sebelum mewawancarai mereka, dan setelah berbincang dengan orang tersebut, wawasan kami pun bertambah kaya.
Lalu, kenapa hanya para pangeran yang mendapatkan kemewahan pengetahuan seperti ini? Kenapa rakyat biasa hanya berhak mendapatkan pengetahuan yang “biasa”? Bagi Charlotte Mason, kurikulum yang kaya adalah kunci terbukanya sekat-sekat dalam struktur sosial masyarakat. Satu hal yang ia cita-citakan: liberal education for all. Semua anak berhak menikmati kemewahan ilmu pengetahuan.
Suatu hari, ia menyaksikan Yang Mulia Ratu dan Raja sedang melakukan kunjungan ke British Museum. Mereka mengamati benda-benda seni nan bersejarah yang dipajang di sana. Tepat di ruangan sebelahnya, anak-anak dari London County Council School, juga sedang mengamati Ruang Parthenon dengan ketakjuban dan rasa ingin tahu yang membuncah. Ini bukan hal remeh ketika anak-anak memiliki kesempatan untuk menikmati level pengetahuan dan ketertarikan yang sama dengan Ratu.
Of such strands are formed the cord which binds society; and one of the main purposes of a ‘liberal education for all’ is to form links between high and low, rich and poor, the classes and the masses, in the strong sympathy of common knowledge…
Bagaimana kita berharap dapat meruntuhkan sekat-sekat sosial, jika yang miskin hanya diberi kesempatan untuk bergaul sesama orang miskin; buruh sesama buruh; anak sekolah dengan teman-teman sekelas mereka saja. Seorang anak pekerja tambang di pelosok negeri yang memiliki minat besar terhadap dunia serangga, misalnya, tidak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi minatnya lebih jauh melalui buku-buku atau bertanya kepada para ahli di bidang itu.
Ali punya teman baru yang datang dari sebuah kota nun jauh di utara Sumatera: Bangunpurba. Ia cerita bahwa ia menempuh perjalanan tiga hari lebih dengan naik bus, bahkan menyebrang selat untuk sampai ke sini. Ali membalas cerita bahwa kalau pulang kampung, ia harus naik pesawat ke Makassar, lalu naik bus juga. Sang anak menebak kampung Ali dengan menyebut nama-nama kota sebatas yang ia tahu — sampai aku menunjukkan kepadanya peta besar Indonesia, kemudian bola dunia — yang baru pertama kali ia lihat. Kaget, takjub, dan sederet pertanyaan lanjutan darinya pun mengalir tak tertahankan.
Aku ingat dulu pernah mengajar sebentar kelas menulis di sekolah terminal Depok. Para remaja dengan masa kecil yang suram menemukan buku-buku Charles Dickens, George Orwell, dan Mark Twain dari loakan buku bekas. Yang paling kuingat namanya Dika, jiwa kepemimpinannya tampak dan ia sangat kritis terhadap isu-isu toleransi beragama. Ia senang berbicara denganku dan selalu enggan melepasku pulang, hingga akhirnya aku memberikan satu buku paling berhargaku untuknya: Catatan Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib. Suatu hari aku mendengar ia telah menjadi ketua BEM di sebuah universitas dan memimpin protes atas kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampusnya. I see you when I see you, Dika.
Mind appeals to mind and thought begets thought and that is how we become educated. For this reason we owe it to every child to put him in communication with great minds that he may get at great thoughts; with the minds, that is, of those who have left us great works; and the only vital method of education appears to be that children should read worthy books, many worthy books.
Semua pembelajaran dalam pendidikan Charlotte Mason sesungguhnya tidak memerlukan benda-benda khusus, sebagian besar proses belajar berlangsung di alam dan dalam keseharian. Satu-satunya yang mungkin terbilang mewah adalah buku-bukunya. Soal ini, Charlotte Mason tidak mau tawar menawar. Anak-anak HARUS mendapatkan yang terbaik. Bukan buku pelajaran yang dipadatkan, ilustrasi yang disederhanakan, sastra yang dicadel-cadelkan, apalagi lembaran kisah sejarah yang diringkas.
Sebagai pemula yang masih meraba-raba luasnya cakupan pendidikan holistik ini, belum banyak yang kulakukan. Aku baru mulai dari menyortir buku bacaan untuk anakku. Ia sangat meminati sejarah dan geografi, meski belum lancar membaca, jadi aku yang membacakan untuknya. Aku baru membacakan biografi Gandhi untuknya, melalui buku bernarasi hidup (living books) tentu saja, dan efeknya luar biasa.
“Ma, seandainya Indonesia ini India, mungkin Ali dan Orlando (salah satu sahabatnya yang beragama Katolik) akan beda negara.” Eh, kenapa? “Karena kami beda agama. Gandhi itu gagal, dia tidak bisa menyatukan orang India yang Islam dan yang Hindu di satu negara. Jadinya orang India yang Islam harus pindah ke negara baru, namanya Pakistan. Untung aja Soekarno bisa nyatuin orang Indonesia. Jadi Ali ngga perlu beda negara sama teman-teman Ali yang bukan Islam.”
Bukan sekali saja, tapi berkali-kali Gandhi disebut tiba-tiba dalam cerita kesehariannya. “Tadi si A bikin lecet mobil orang karena kena stang sepedanya waktu dia jatuh. Mukanya tuh langsung kayak Gandhi waktu ketahuan mengambil uang abangnya: udah siap banget dimarahin tapi ternyata orang itu nggak marahin dia,” 😀
People are naturally divided into those who read and think and those who do not read or think; and the business of schools is to see that all their scholars shall belong to the former class; it is worth while to remember that thinking is inseparable from reading which is concerned with the content of a passage and not merely with the printed matter.
“Lancar baca aja belom, ngapain dah sok-sokan belajar sejarah? Ya karena dia ingin tahu!” Dan dia menikmati ilmu pengetahuan itu! Belum bisa baca, ya aku bacakan. Charlotte Mason meyakini kapasitas otak anak-anak bahwa mereka mampu, tidak ada yang ‘terlalu sulit’ atau ‘terlalu cepat’ buat mereka, asalkan ilmu pengetahuan disampaikan dengan cara yang benar. “I am jealous for the children; every modern educational movement tends to belittle them intellectually;” katanya. Selama 30 tahun ia mempraktikkan metode ini kepada anak-anak dari berbagai kelas sosial dan hasilnya menakjubkan. Kurikulum yang kaya memberi mereka data yang menjadi bekal untuk memahami bagaimana dunia bekerja.
Science, history, philosophy, literature, must no longer be the luxuries of the ‘educated’ classes; all classes must be educated and sit down to these things of the mind as they do to their daily bread. History must afford its pageants, science its wonders, literature its intimacies, philosophy its speculations, religion its assurances to every man, and his education must have prepared him for wanderings in these realms of gold.
Teman lamaku, Ai Nurhidayat adalah salah satu yang memperjuangkan kesetaraan pendidikan lewat gagasannya berupa beasiswa Kelas Mutikultural untuk siswa dari berbagai daerah di Indonesia. Jika Charlotte Mason menginginkan warga dunia tanpa sekat-sekat pengetahuan, Ai berinisiatif menghadirkan dunia itu ke kampungnya. Kebayang, para remaja dari Aceh, Jambi, Sulawesi, Flores, Maluku dan Papua datang ke Pangandaran, menjadi duta bagi budayanya masing-masing. Kelak, setelah lulus dan kembali ke daerahnya dengan bekal pengetahuan, pengalaman, serta pastinya cara pandang yang telah berubah, para remaja ini merobohkan sekat-sekat pengetahuan yang sebelumnya ada. Bahwa mereka tidak akan bisa belajar ini-itu, tidak akan bisa bergaul dengan orang selain di kampungnya, tidak bisa mengecap pengetahuan yang mewah.
“Dari 60 juta anak usia sekolah, 500 ribu di antaranya putus sekolah pada usia sekolah. Dan angka ini hanya di Papua… Anak kita punya teman sebangsa yang akan hidup bersama mereka nanti. Negara ini, bila dihuni oleh orang yang kurang teredukasi, kebayang kan suasananya? Tega sih, kalau kita tidak menyiapkan ekosistem masa depan yang lebih berarti bagi anak-anak.” kata Ai.
Perbincangan dengan Ai mengingatkanku bahwa gagasan liberal education for all sejatinya adalah tentang berbagi. Berbagi kemewahan perjamuan ide. Bagaimana meluaskan cakupan pengetahuan, meluaskan peran kita di tengah masyarakat, agar pendidikan tidak hanya melanggengkan status quo. Sekat-sekat pengetahuan yang pada akhirnya menciptakan sekat-sekat di masyarakat; yang pintar dan kaya semakin sejahtera — yang miskin dan bodoh semakin terbelakang; inilah tantangan terbesar yang belum juga terpecahkan semenjak Charlotte Mason menulis ini 200 tahun lalu.