Narasi atas Vol. 4 Ourselves pg 92–95
Pada mulanya hanyalah perbincangan emak-emak seputar tips membersihkan dinding dari coretan bocah dengan cairan pencuci piring. Sahabatku, Gina Najjah, bercerita bahwa rumahnya sekarang jadi kelas sementara bagi sekolah anaknya yang sedang dibangun. Setiap hari, anak-anak hilir mudik di sini. Ya ngegeratak, nyoret-nyoret. Dan Gina selalu sigap membersihkan setelah tamu-tamu kecil itu pulang. “Eh bahkan, gue pernah loh ngebersihin item-item di dinding, hangus bekas kebakar gitu. Dan itu nodanya udah lama. Tetep bisa bersih!” Gina menunjuk satu titik di dinding dapur. Kami yang dengar kaget. “Lu abis ngapain emang?”
Alkisah, Gina dan suaminya bertemu satu keluarga pengungsi Palestina yang sedang berdebat soal harga gamis di toko baju muslim di Depok, bahasa Arab vs “bahasa Depok” tentunya. Gina seorang dosen bahasa Arab, suaminya pun pernah lama di Damaskus, jadi mereka bantu menengahi debat kusir itu. Alangkah senangnya mereka bertemu orang yang bisa Bahasa Arab! Ternyata keluarga pengungsi itu sedang mengalami kesulitan untuk memperpanjang sewa kontrakan. Gina yang kebetulan mau pulang kampung dua minggu, sukarela memberikan kunci rumahnya kepada keluarga pengungsi tersebut dan mempersilakan mereka menempatinya selama ia di kampung, sambil mereka mencari solusi.
Kembali dari kampung halaman, Gina menemukan beberapa kerusakan di rumahnya. Salah satunya adalah dinding dapur yang menghitam itu. Orang itu berusaha menutupi dan bersikeras tidak ada masalah, Gina pun bersikap biasa kepada mereka seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sampai akhirnya mereka pamit.
“Lu gak minta ganti rugi, Gin?”
“Mereka itu pengungsi, nyari uang buat bayar kontrakan aja susah, mau minta ganti rugi gimana?”
“Lu gak marah sama mereka?”
“Rumah gue ini mungkin adalah tempat paling bagus yang pernah mereka tempatin. Mereka mungkin baru pertama pakai kompor kayak gini, toilet begini, pintu begini. Kehidupan di pengungsian kayak gimana sih? Pastinya jauh dari kata beradab…”
“Tapi mereka nggak jujur sama lo Gin…”
“Itu gue sayangkan, tetapi mereka hidup di zona konflik ya. Mengungsi juga tidak mudah, ditolak di sana-sini. Mungkin mereka udah pernah mengalami berbagai penolakan, penghinaan, jadi mereka bersikap gitu ke gue. Mungkin mereka takut gue nggak mau menerima mereka lagi,” katanya.
Kami semua bengong. “Kalo gue sih udah ngomel-ngomel…”
Aku melihat sikap Gina tersebut sebagai contoh nyata dari benevolence yang dipaparkan Charlotte Mason. Biasanya, benevolence atau kemurahan hati diidentikkan dengan kedermawanan membagi harta; tetapi banyak orang berderma dalam jumlah besar tanpa diiringi kemurahan hati — sebaliknya, untuk bermurah hati pun tidak selalu soal menyumbang harta.
To be benevolent is to have goodwill towards all men.
Charlotte Mason menyebut Kaisar Roma Marcus Aurelius sebagai salah satu contoh pemimpin besar yang banyak menunjukkan sikap luhur kemurahan hati. Ia berkata: “Men are born to be serviceable to one another; therefore either reform the world, or bear with it!” Bentuk paling ringan dari kemurahan hati adalah menolerir, memaklumi, memaafkan, bertahan, bear with it.
Benevolence makes us able, not only to bear with the people who annoy us and irritate us, but to give them sincere and hearty liking.
Bermurah hati kepada orang yang telah baik kepada kita itu mudah, tetapi tidak semua orang mampu bermurah hati kepada orang yang telah berbuat salah, atau berlaku tidak baik terhadapnya. Seperti kisah Gina tadi, seandainya ada di posisi Gina mungkin aku sudah mencak-mencak, minimal mendongkol di dalam hati, dan mem-blacklist orang itu dari daftar tamu yang boleh datang ke rumahku. Tetapi Gina berusaha mengerti kondisi dan latar belakang orang tersebut, bahkan mempertimbangkan konsekuensi dari cara dia memperlakukan tamunya itu. Di mata bangsa Palestina, Indonesia adalah sahabat penolong, yang selalu mendukung dan membantu mereka tanpa perhitungan. Terbukti, banyak relawan, masjid, dan rumah sakit Indonesia di sana. Gina tidak mau merusak citra itu. Hingga kini, Gina masih menjalin silaturahmi dengan keluarga pengungsi tersebut, dan selalu terbuka kapanpun mereka butuh bantuan. Tidak sekalipun masalah terdahulu diungkitnya.
Salah satu kisah paling menyentuh tentang Nabi Muhammad adalah bahwa beliau punya kebiasaan menyuapi seorang pengemis buta yang sangat membencinya, setiap hari mencaci maki beliau tanpa mengetahui bahwa orang yang sangat ia benci itu adalah orang yang setiap hari menyuapinya dengan penuh kelembutan. Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad… Sungguh aku merindukan sosoknya.
Di sini, Charlotte Mason mencontohkan; seperti halnya istri seorang penjahat yang akan tetap mencintai suaminya walau ia seorang kriminal lantaran ia memiliki keyakinan — kesalahan yang dilakukan seseorang tidak lantas mendefinisikan keseluruhan pribadinya. Seorang dengan sikap benevolence tidak kesulitan untuk tetap mengasihi orang yang berbuat salah, memperlakukannya dengan baik seolah kesalahan mereka tidak pernah ada.
Bagiku, benevolence merupakan pondasi sikap bagi toleransi antar sesama manusia. Tidak ada manusia yang suci sempurna, setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan bisa berulang kali berbuat salah. Seandainya kita bersikap keras terhadap orang-orang yang berbuat “dosa”, mungkin hati kita akan usang dipenuhi kebencian yang membakar, karena setiap orang — bahkan diri kita sendiri — dekat dengan khilaf.
Oleh sebagian orang Islam, perintah amar ma’ruf nahi munkar sering dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran atau mendukung pandangan-pandangan yang menghakimi antar satu kelompok dengan kelompok lain.
Bencilah perilakunya, bukan orangnya — Gus Mus
Benevolence diartikan juga sebagai goodwill — niat baik. Seorang yang murah hati akan selalu memiliki niat dan prasangka baik terhadap orang lain. Pramoedya Ananta Toer menulis: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Adil sejak dalam pikiran, pun sejalan dengan makna Benevolence.
Ketika seorang balita tak sengaja menjatuhkan gelas, apakah kita akan membenci dia sampai memaki-maki, menghukum, memukuli dia? Pikiran yang adil — serta prasangka baik, dapat melihat dengan jernih bahwa anak kecil ini justru butuh bantuan. Dia hanya belum tahu caranya meletakkan gelas yang benar; atau mungkin dia tidak tahu bedanya gelas plastik dan kaca. Kemarin, dia menjatuhkan gelas plastik dan tidak ada yang pecah, kali ini kok pecah? Mungkin meja itu terlalu tinggi, atau isi gelas itu terlalu banyak sehingga genggamannya tidak cukup kuat; serta kemungkinan-kemungkinan lain yang membuat kita mencoba memahami sebab kesalahannya — yang mungkin ada andil kita juga.
Sebaliknya, apakah kita akan membiarkan dia menemukan kesenangan dalam permainan memecahkan gelas yang kita biarkan setiap hari? Tidak juga. Pertama-tama, kita pasti membereskan pecahan gelas terlebih dahulu supaya dia tidak menginjaknya, lalu kita akan memberitahu dia cara memegang dan meletakkan gelas di meja supaya dia lebih berhati-hati. Mungkin kita akan memberi bangku pijakan di dekat meja, mungkin kita akan memberikannya gelas plastik. Kita membantunya.
Demikian pula dikatakan Charlotte Mason, benevolence bukan berarti duduk diam mentolerir. Mentolerir adalah bentuk paling rendah dari sikap ini, dan sangat tipis jaraknya dari Ketidakpedulian (Indifference) tetapi sejatinya, seorang benevolence selalu ingin melakukan lebih. Hati, pikiran, dan tangannya senantiasa disibukkan dengan hal-hal yang bertujuan melayani dan membantu orang lain — ia tidak diam saja melihat kebodohan, rasa sakit, kesepian, dan penderitaan — ia selalu sibuk! Pribadinya ramah, senantiasa tersenyum, dan mudah didekati. Ia memahami tujuan dari kesibukannya bukanlah semata-mata untuk kepentingannya sendiri melainkan demi melayani orang lain. Ia berusaha merangkul sebanyak mungkin orang, tak lelah membantu mereka.
To tolerate, or bear with, the principles and opinions which rule the lives of others is the part of Indifference and not of Goodwill. Candour, fair-mindedness to other people’s thoughts, is what Benevolence offers.
Tidak mudah menemukan sikap seluhur ini di antara banyaknya orang bersumbu pendek di masa sekarang, tetapi aku bersyukur menemukannya langsung dari pribadi sahabatku.
Makasih mbak Ken..
Indah.. mengalir.. lalu mengguncang nurani