Pendidikan sebagai Alat Pembebasan

Narasi atas Towards a Philosophy of Education pg 86–92

Berlomba-lomba dalam kebaikan itu bagus, menumbuhkan jiwa kompetitif pun perlu. Ini merupakan hasrat alami dalam diri manusia, Charlotte Mason menyebutnya sebagai emulation: the desire of excelling - hasrat untuk mengungguli. Namun ketika hasrat alami ini menjadi satu-satunya ‘bahan bakar’ dalam pendidikan hingga berubah menjadi ambisi untuk mendominasi — ini dapat mencederai karakter seorang anak.

Kita tahu, ada penilaian berupa angka/huruf, sistem ranking, kelas dan sekolah unggulan, yang dijadikan iming-iming dalam pendidikan sehingga orangtua/guru kerap menyemangati anak dengan: “Ayo, kamu harus belajar lebih giat supaya makin baik nilainya, supaya bisa ranking 1, supaya masuk sekolah unggulan!” atau sesederhana: “Yang sudah selesai dan betul semua boleh pulang duluan!” Iming-iming semacam ini mengompori anak untuk giat menuntut ilmu demi alasan yang salah, yakni demi menjadi nomor satu dan mengungguli temannya. Jika terus berlangsung selama proses pendidikan, lebih jauh, hal ini dapat berujung bencana.

In the intellectual field, however, there is danger; and nothing worse could have happened to our schools than the system of marks, prizes, place-taking, by which many of them are practically governed. A boy is so taken up with the desire to forge ahead that there is no time to think of anything else. What he learns is not interesting to him; he works to get his remove… for there is no doubt that here and there we come upon impoverishment of personality due to enfeebled intellectual life; the boy did not learn to delight in knowledge in his schooldays and the man is shallow in mind and whimsical in judgment.

Ini diperparah dengan ambisi orangtua yang seringkali ingin menjadikan anak-anak mereka sendiri sebagai creme de la creme, yang terhebat di antara yang paling hebat. Yang paling duluan ngumpulin tugas, yang paling duluan datang, yang paling padat mahal sekolahnya, yang paling cepat menghafalnya, yang paling duluan khatamnya. Seterusnya, menjadi yang paling ‘sukses’, paling tinggi pangkatnya, paling gede gajinya, paling terjamin masa tuanya, paling besar rumahnya, paling berkali-kali naik haji– apakah itu tujuan pendidikan? Apakah itu tujuan hidup?

Kecintaan akan belajar dan dahaga ilmu pengetahuan seharusnya cukup untuk menjadi motivasi anak menuntut ilmu sepanjang hayat. Seperti ibu-ibu di komunitas CharmEd ini yang giat mengikuti diskusi rutin setelah anak-anak tidur, sambil menyusui, menyimak sambil memasak. Mereka melakukannya walau tidak ada yang menyuruh, walau tidak ada tuntutan pekerjaan apalagi ambisi titel dan gaji; mereka bersemangat belajar murni karena hasrat akan pengetahuan.

Anak yang tidak ingin keduluan siapapun dalam mengumpulkan tugas, berambisi untuk selalu ranking 1, tidak menjamin kelak ia menjadi pemimpin yang bijak. Bagaimana bisa bijak, kalau yang ia pikirkan hanyalah kepentingannya sendiri? Harus aku duluan, harus aku yang memimpin, harus aku yang terbaik dan terpuji di mata para guru. Yang lain terserah! Kalau bisa yang bodoh tetaplah bodoh, biar tidak ada anak lain yang mengganggu posisiku saat ini!

Bayangkan, karakter manusia macam apa yang kita tumbuhkan dalam sistem pendidikan yang senantiasa menyuburkan ambisi untuk mengungguli?

Gagasan pendidikan Charlotte Mason adalah gagasan perlawanan. Aku baru menemukan ketika membaca volume 6 ini. Baginya, pendidikan seharusnya dapat membebaskan setiap manusia dari kebodohan, kemelaratan, penderitaan. Tiap-tiap manusia. Charlotte Mason mengutip John Amos Comenius: ALL KNOWLEDGE FOR ALL MEN - yang kemudian ia terjemahkan ke dalam gagasannya LIBERAL EDUCATION FOR ALL.

…and one of the main purposes of a ‘liberal education for all’ is to form links between high and low, rich and poor, the classes and the masses, in the strong sympathy of common knowledge.

Mengapa kurikulum yang kaya berupa sastra, sejarah, filsafat, sains, hanya diajarkan kepada anak-anak bangsawan? Mengapa pengetahuan menjadi barang mewah yang hanya boleh dikonsumsi oleh kaum elit? Mengapa rakyat jelata, anak-anak di pemukiman kumuh, keluarga para buruh hanya disuruh berdoa di gereja?

Charlotte Mason mempelopori pendidikan jarak jauh melalui korespondensi dengan anak-anak pekerja tambang di pedalaman Inggris, yang tidak memiliki akses ke lembaga pendidikan. Ia mengirimi mereka buku-buku terbaik yang bisa ia temukan, meminta anak-anak itu menarasikan apa yang mereka baca, terus menerus selama bertahun-tahun ia melakukannya. Hasilnya mengejutkan bahkan bagi Charlotte Mason sendiri! Narasi dan penalaran mereka sangat kaya dan mengagumkan betapapun sebelumnya mereka tidak pernah bersekolah. Hal ini yang kemudian diyakini Charlotte Mason; bahwa setiap anak memiliki potensi akal budi yang sama, memiliki hasrat akan ilmu pengetahuan - tidak peduli latar belakang mereka. Laki-laki atau perempuan, warga kota maupun penduduk desa, proletar atau bangsawan; semua harus memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati kemewahan ilmu pengetahuan.

There is an uneasy dread in some minds lest a liberal education for all, the possibility which is now before us, should cause a social bouleversement, such an upheaval as obtained in the French Revolution. But this fear arises from an erroneous conception. The doctrine of equal opportunities for all is no doubt dangerous. It is the intellectual rendering of the ‘survival of the fittest’ and we have had a terrible object lesson as to how that doctrine works.

Ia menyadari bahwa gagasan ini mungkin tidak akan disukai oleh kelompok elit yang mendominasi - kaum penguasa. Sejarah mencatat, salah satu faktor meletusnya Revolusi Prancis adalah tumbuhnya kesadaran rakyat, kian banyaknya masyarakat terdidik (baca; Abad Pencerahan) yang menyadari korupnya pemerintah monarki mereka. Demikian pula di Indonesia, Sejarah Pergerakan Nasional dimulai ketika kaum-kaum muda Indonesia mulai mendapatkan pendidikan: Kartini, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dst. Mereka sadar, kemudian mereka melawan.

Liberal education for all; yakni ketika keran-keran pengetahuan dibuka lebar-lebar untuk semua kalangan sehingga pendidikan menjadi alat untuk membebaskan diri; membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Kesadaran rakyat bodoh jelas berbahaya bagi penguasa/kaum yang dominan karena sejarah membuktikan, itu bisa merusak tatanan sosial (baca: kelanggengan kekuasaan mereka.)

Ketamakan penguasa yang mungkin dibentuk oleh sistem pendidikan yang menyuburkan hasrat untuk mendominasi tadi dicontohkan Charlotte Mason pada pribadi Louis XIV;

The uneasy, ambitious spirit comes to the front, gets all the chances, dominates his fellows, and thinks no upheaval too great a price for the advancement of himself and his notions. Men of this type come to the top through the avenue of examinations. Ambition and possibly greed are seconded by dogged perseverance. As was said of Louis xiv, such men elevate their practice into a theory and arrogate to their habits the character of principles of government. And these pseudo-principles inflame the populace because they promise place and power to every man in the state, with no sense of the proportion he bears to the rest.

Pendidikan mestinya sama dengan keadilan, agama, bahkan udara bersih - yang harus bisa didapatkan oleh setiap orang secara bebas, cuma-cuma, dan merupakan “natural birthright” - hak dasar setiap anak manusia. Charlotte Mason tidak hanya bicara tentang kepentingan satu anak, melainkan kepentingan seluruh bangsa, bahkan seluruh umat manusia.

The only safeguard against fallacies which undermine the strength of the nation morally and economically is a liberal education which affords a wide field for reflection and comparison and abundant data upon which to found sound judgments… we shall see even in our own day how righteousness exalteth a nation.

Pendidikan zaman sekarang yang “ada harga ada rupa” ataupun sikap orangtua yang hanya berfokus kepada prestasi anak-anaknya saja tanpa pernah memikirkan perlunya berperan serta di masyarakat - gagal memahami konteks pendidikan yang membebaskan ini. Paradigma pendidikan semacam ini hanya akan melanggengkan status quo, yang kaya dan mampu akan mulus jalannya menjadi penguasa, sementara yang miskin dan bodoh selamanya menjadi keset mereka.

Seandainya kekayaan pengetahuan tidak lagi menjadi barang mewah di negeri ini, aku membayangkan setiap anak pergi tidur sambil melamunkan Staircase of Time di benaknya, ibu-ibu ngerumpiin Marie Antoinette dan Revolusi Prancis di warung bakso, bapak-bapak ngobrolin hukum termodinamika di Pos RW sambil menyeruput kopi panas mereka.

Staircase of Time

 

Kenyataannya, diskusi-diskusi intelektual hanya berlangsung di kalangan elit. Di kafe mewah dan berbayar mahal, atau di ballroom hotel ditayangkan di televisi, atau antar profesor-doktor di kampus. Tidak secara langsung dapat menjalankan fungsinya untuk mencerdaskan, mencerahkan, membebaskan rakyat jelata dari kemiskinan dan kebodohan.

Meminjam istilah Antonio Gramsci, masyarakat memerlukan hadirnya intelektual organik - mereka yang dengan kesadaran dan pengetahuannya mengambil langkah-langkah untuk membangkitkan kesadaran perlawanan terhadap agenda-agenda penguasa. Di tangan mereka, pendidikan digunakan sebagai alat pembebasan.

Aku selalu berpikir, buku-buku itu tidak seharusnya ada hanya untuk dikoleksi, atau dibaca sekali lalu dipajang di dalam lemari kaca. Bukan itu hakikat penciptaannya. Ia ada untuk dibaca. Jujur, kalau soal buku yang dipinjamkan aku tidak terlalu sayang-sayang; selama ia bukan teks kuno atau buku yang sudah tidak akan terbit lagi. Kalau dibalikin alhamdulillah, tapi kalau tidak ya tidak apa-apa. Aku senantiasa mendoakan buku-bukuku yang berkelana agar ia dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Biarpun halamannya usang-usang, biarpun penuh dengan selotip, biarpun kelak riwayatnya berakhir akibat terlalu sering dibaca dan dibolak-balik bahkan dibawa tidur, sang buku akan mengakhiri kisahnya dengan bahagia - karena ia bermakna. Jasadnya mungkin musnah, tetapi gagasan-gagasan yang berhasil ia sampaikan kepada orang-orang yang terus membacanya - akan tetap hidup. Ide tidak bisa mati.

Demikian pula kita, manusia. Apakah kita akan memamerkan piagam-piala pencapaian, buku, bahkan mungkin anak-anak kita sendiri di dalam lemari kaca, tanpa merasa perlu memikirkan lagi hakikat hidup yang Tuhan berikan ini? Mari merenung lagi.

Leave a Comment

error: Content is protected !!