Volume 6, Sebuah Introduksi..

Buku ini ditulis setelah Perang Dunia (PD) I dan dibuka dengan beberapa hal yang menarik perhatian Charlotte Mason (CM) selama perang. Bahwa saat negara membutuhkan, ada banyak pahlawan yang terlahir di medan perang, tetapi ada banyak juga orang yang memilih diam di rumah seakan tidak peduli. Padahal, orang-orang ini adalah pemuda terdidik. Bukankah pendidikan seharusnya menumbuhkan manusia-manusia yang berjiwa patriot, dermawan, warga negara yang taat dan berjiwa besar, serta mampu melihat segala sesuatu diluar kepentingan dirinya sendiri?

Jadi apa yang membuat perbedaan? Pendidikan macam apa yang telah mereka dapatkan? CM menyoroti bagaimana Jerman saat bertemu dengan pemikiran Darwin mendapat pembenaran untuk menjadi yang terhebat. Membentuk visi pendidikan yang berfokus pada pelatihan kecakapan dan bersifat materialis. Memisahkan otak berdasar peminatan saja dan sibuk melatih fisik. Oleh karenanya mereka abai untuk memahami sesat nalar mereka sendiri. 

Kesalahan sebagian besar pendidik adalah masih belum memahami kerja ‘pikiran’. Menganggap otak hanya sebagai organ tubuh, bukannya wadah bagi akal budi dan jiwa seseorang yang terkoneksi pada Tuhannya. Padahal, manusia adalah makhluk spiritual, maka pendidikan seharusnya pun bekerja secara spiritual. 

Pendidikan tak sekedar menyiapkan anak untuk bekerja dan mencari uang. Namun, lebih jauh lagi, yakni untuk menjalani kehidupan yang terbaik dan benar. Menjadi manusia yang memiliki pengetahuan luas dan memikirkan banyak subyek, terlatih dalam keseharian dan cekatan, mampu memenuhi peranan hidupnya dan melayani masyarakat dalam kebaikan.

Pendidikan tak sekedar menyiapkan anak untuk bekerja dan mencari uang. Namun, lebih jauh lagi, yakni untuk menjalani kehidupan yang terbaik dan benar.

Pikiran dan ruhlah yang menggerakkan tubuh untuk bekerja. Dan untuk dapat bekerja besar, tentu harus diisi oleh pikiran-pikiran besar. Pikiran, seperti halnya tubuh, membutuhkan makanannya untuk bertumbuh dan latihan untuk berkembang. Pengetahuanlah asupan utama bagi akal budi dan pendidikan kecakapanlah latihannya. 

Maka selain melatih kecakapan seperti yang sudah banyak dilakukan sekolah, CM dengan pengalamannya menawarkan beberapa poin penting pendidikan yang menjadi hasil dari pemikirannya.

Anak, bukan guru yang bertanggung jawab pada kerja pendidikan mereka. Peran guru adalah bersimpati pada kerja anak, terkadang mengembangkan dan membuat kesimpulan. Anak perlu membaca banyak buku karena dari situlah mereka bisa bercakap langsung dengan para pemikir. Dan karena banyak subjek yang perlu dibaca, mereka perlu dilatih perhatiannya agar mampu sekali baca. Bagaimana perhatian mereka itu dilihat dari bagaimana mereka menarasikannya dan menjawab pertanyaan ujiannya.

Baca juga: Pendidikan yang Mencederai Hasrat Pengetahuan

Buku terbaik yang tersedia dipilih dan dibaca berurutan agar utuh, bertahun sampai selesai. Buku tidak dipilih berdasar kesukaan anak, melainkan karya yang sastrawi dan membangkitkan minat belajar anak. Sehingga, tak perlu lagi anak ditekan dengan hukuman atau ditarik dengan pujian dan hadiah untuk memperhatikan. Ada subyek yang membutuhkan bantuan guru, seperti matematika dan tata bahasa, namun kemampuan konsentrasi anak sangat berpengaruh.

Prinsip ini berlaku bagi siswa dimanapun. Di sekolah maupun di rumah, yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin, yang cerdas maupun berkebutuhan khusus. Landasan utamanya adalah  Whereby teachers shall teach less and scholars shall learn more.’

Pendidikan seharusnya mengubah dunia. Demikian pemikiran besar yang menggerakkan kerja keras Miss Mason. Dan beliau menemukan bahwa pendidikan intelektual tidak membutuhkan waktu seharian. Tak butuh PR (pekerjaan rumah) dan anak tetap bisa melatih kecakapan dan minat mereka setelah pelajaran pagi mereka usai. Dan moral mereka akan ditumbuhkan pula dalam pembelajaran.

Dari sebuah momen mendampingi beberapa anak temannya, CM menemukan bahwa seorang anak itu utuh, namun pengetahuannya belum sebanyak kita. Dan pikiran memiliki selera dan memberi makan dirinya sendiri dengan mencari, juga menolak, pengetahuan sesuai apa yang mereka butuhkan.

Anak terlahir utuh dengan alat untuk mengolah ide–sebuah gambaran– tanpa perlu bantuan kita untuk menyaringkan sari-sarinya. Hasrat alaminya akan pengetahuan saja cukup menggerakan mereka untuk mencari ide demi ide yang menghidupkan pikiran mereka. Ini membawa pertanyaan baru, apa itu pengetahuan? Seberapa banyak yang dibutuhkan?

Sejauh yang sudah dipelajari, pengetahuan, seperti nutrisi tubuh, adalah segala hal yang telah dicerna secara aktif oleh pikiran. Dan pikiran manusia mampu menampung pengetahuan dari seluruh dunia jika mereka mau. Tak peduli dari kelas sosial mana mereka berasal. Maka kurikulum anak seharusnya tak boleh dibatasi selain dari umurnya. Berikan mereka sebanyak mungkin buku sastrawi berisi pikiran-pikiran orang besar, karena saat pikiran bertemu pikiranlah lahir pikiran dan terjadi proses pendidikan yang kaya. Menyediakan perpustakaan lengkap saja bukanlah benar-benar sebuah pendidikan karena tidak menjamin seseorang membacanya secara aktif. 

Anak terlahir utuh dengan alat untuk mengolah ide–sebuah gambaran– tanpa perlu bantuan kita untuk menyaringkan sari-sarinya. Hasrat alaminya akan pengetahuan saja cukup menggerakan mereka untuk mencari ide demi ide yang menghidupkan pikiran mereka.

Lalu bagaimana memastikan perhatian anak agar mampu membaca dengan aktif? Pertama, mereka perlu merasa pembelajaran mereka menarik. Itulah pentingnya bahasa buku yang sastrawi dan naratif. Secara alami manusia menyukai keindahan bahasa sebelum ‘pendidikan’ justru mengubah kita menjadi penyuka kumpulan fakta dengan rentang perhatian yang singkat. 

Tentu saja rasa lapar akan beragam pengetahuan yang akan menjadi kunci. Sejarah, geografi menunjukkan kemanusiaan yang sangat menarik untuk kita sesama manusia. Sains menarik karena mengajarkan kita pengetahuan tentang tempat yang kita tinggali. Seni menajamkan rasa keindahan kita. Pengetahuan sosial dan etika mengajarkan kita bagaimana bersikap dalam hidup. Yang paling penting, pengetahuan akan Tuhan adalah yang menguatkan kita.

Pemahaman akan kerja pikiran akan sangat membantu proses pendidikan. Pikiran sangat aktif, mereka akan cepat lelah jika hanya mendengar terus menerus. Topik yang beragam dan bahasa yang indahlah daya tarik yang utama. Bahasan yang banyak serta beragam dan perhatian yang dibangun dalam proses membaca sekali dengar akan diuji melalui narasi. 

‘The mind can know nothing save what it can produce in the form of an answer to a question put to the mind by itself.’

Narasi bukanlah proses menghafal semata. Dalam narasi anak mempertanyakan dirinya sendiri sekaligus mendengar ulang. Narasi membutuhkan imajinasi, refleksi, kemampuan menilai dan membangun proses berlogika dengan penuh perhatian. Ini adalah kemampuan alamiah yang terus dilatih agar maksimal. Dari perhatian ini anak melatih kemampuan bersintesa, menghasilkan narasi yang bersifat personal dan menemukan pengetahuan baru. Intelektual membutuhkan dorongan moral dari dalam diri. Dan pemahaman bahwa dia akan diminta bernarasi dengan sekali baca atau dengar cukup untuk mengamankan perhatiannya. Penting untuk diingat, narasi bukanlah ujian seberapa anak tahu, tapi kesempatan anak melatih perhatian dan kemampuan mencerna serta mengolah pengetahuannya.

Studies serves for delight’ adalah tujuan utama dari semua prinsip-prinsip tersebut. Dimana proses pendidikan yang sebenarnya tidak menaruh beban berat di pundak pendidik dan justru memberikannya kesenangan yang sama dengan sang murid. 

Semua kerja pendidikan, pelatihan, haruslah beragam, melimpah dan berkelanjutan. Namun, hal yang paling utama adalah semua prinsip ini harus dilaksanakan utuh, tidak hanya dicomot beberapa yang kita mau saja. Bukankah berbahaya jika sebuah prosedur bedah terlewat satu dua tahap?

Perang memberikan banyak pelajaran, termasuk bagaimana membentuk peradaban yang dibentuk dari kemanusiaan sekaligus bersandar pada aturan ajaran Tuhan. Mereka yang dididik dengan ide-ide hidup akan menumbuhkan kemampuan, kontrol diri, inisiatif dan tanggung jawab. Karakter mulia dari warga negara yang bijak hasil dari pendidikan yang kaya. Pendidikan yang liberal.

Leave a Comment

error: Content is protected !!