Bab 13. Marco Polo di Afrika

Minggu 25

Dari Zanzibar, Marco berkelana ke negara Afrika yang terkenal, sangat kuno dalam sejarahnya, dan ditandai sebagai pusat awal Kekristenan di “benua gelap”. Ini adalah Abyssinia [Ethiopia]; tanah yang, di zaman kita, telah menarik banyak perhatian, sebagai tempat perang antara Inggris dan Raja Theodore yang biadab.

Pada masa Marco, Abyssinia disebut “India Tengah”, dan terkenal sebagai kerajaan besar, dihuni oleh ras yang berani dan suka berperang. Oleh karena itu, tentu saja dia sangat ingin mengunjunginya, terutama karena dia tahu orang-orang Abyssinia adalah orang Kristen.

Perjalanan ke sana dari Zanzibar sangat panjang, sulit dan berbahaya. Suku-suku liar berkulit hitam di pesisir terus-menerus mengancam dia dan rombongannya; dan kadang-kadang, saat dia menyusuri sungai dengan sampan kasar yang disediakan untuknya oleh penduduk asli yang ramah, dia diserang oleh hujan panah dan lembing, yang beberapa di antaranya membunuh pengawalnya.

Ancaman binatang buas juga tidak boleh diremehkan. Terutama di malam hari, keheningan yang dalam dan mengerikan dari hutan Afrika yang berkabut dipecahkan oleh auman singa yang lapar, dan lengkingan kuda nil dan badak. Waspada terus-menerus adalah satu-satunya keamanan dari serangan para binatang kelaparan ini.

Marco dan rekan-rekannya sekarang sudah terbiasa “hidup seadanya”. Pengalamannya di bagian paling terpencil Tartary dan Cina, petualangannya di pulau dan kedalaman Hindustan, tidak hanya menguatkan kepekaannya akan bahaya, tetapi juga mengajarinya bagaimana melewati bahaya rimba dan hutan. Pada waktu kereta Tartar melintasi batas-batas Abyssinia, dan menemukan diri mereka dalam perjalanan ke ibukotanya.

Marco di Afrika

Marco segera membuat dirinya dikenal sebagai orang Eropa Kristen; dan kulitnya yang cerah dan wajahnya yang teratur menunjukkan kepada orang-orang Abyssinia bahwa dia tidak menipu mereka, terlepas dari pakaian dan teman Orientalnya. Tidak lama setelah mereka mengenalnya sebagai saudara seagama, penduduk asli menyambutnya dengan hangat. Mereka menyambutnya dengan sederhana sebagaimana yang disediakan gubuk mereka; mereka membimbingnya, dalam kompi-kompi yang kuat, melalui bagian-bagian negara yang berbahaya; dan mereka mengantarkannya dengan kano terbesar mereka melintasi danau dan menyusuri sungai yang berbatas alang-alang.

Pelancong muda itu mengamati semua yang dilihat dan didengarnya dengan penuh minat; dia ingin membawa kembali laporan sedetail mungkin tentang negeri orang-orang Kristen berkulit gelap ini. Dia kemudian mengetahui bahwa mereka diperintah oleh maharaja yang kuat, disana ada enam raja, yang masing-masing memerintah atas provinsi besar Abyssinia. Tiga dari raja-raja ini orang Kristen, dan tiga lainnya muslim, tiap-tiap provinsi memiliki keyakinan yang sama dengan penguasa mereka. maharaja sendiri adalah penganut Kristen. Marco juga menemukan bahwa ada banyak orang Yahudi di Abyssinia, tetapi mereka sama sekali tidak seperti orang Yahudi berhidung panjang, bermata tajam, berjanggut lebat yang dia ingat ada di Venesia.

Juga sangat berbeda kebiasaan Kristen di negara separuh tidak beradab ini dari kebiasaan Marco di rumah. Orang-orang Kristen membedakan diri mereka dari orang-orang Muslim dan Yahudi, dengan memiliki tiga tanda di wajah mereka; satu dari dahi ke tengah hidung, dan satu di setiap pipi; dan penandaan tanda-tanda ini diberikan menggunakan besi membara saat pembaptisan mereka.

Segera menjadi jelas bagi Marco bahwa dia berada di antara orang-orang yang suka berperang. Di mana-mana ada pasukan tentara; dan dia sangat sering melewati kamp-kamp besar yang penuh dengan prajurit. Hampir seluruh penduduk laki-laki tampaknya ahli dalam penggunaan senjata, dan siap pada saat peringatan untuk mematuhi panggilan ke medan perang. Di perbatasan Abyssinia ada dua negara lain yang suka berperang, Adel dan Nubia [Sudan utara dan Mesir selatan]; dan raja nya hampir selalu berperang satu dengan yang lain.

Beberapa tahun sebelum kunjungan Marco, raja Abyssinia terlibat dalam pertarungan hebat dengan raja Adel. Penyebab perang ini hanya satu; tetapi ketika dia mendengarnya, itu menunjukkan kepada Marco, betapa setianya orang-orang Abyssinia pada agama mereka. Seorang uskup Kristen diutus oleh raja untuk berziarah ke Makam Kristus di Yerusalem. Setelah melakukan tugasnya dengan aman di Kota Suci, uskup pulang kembali. Jalan pulang nya harus melalui Adel. Raja dan orang-orang di negara adel adalah Muslim yang taat, dan sangat membenci orang-orang Kristen; jadi ketika uskup datang, dia ditangkap dan dibawa ke hadapan gubernur provinsi. Yang mendesaknya untuk meninggalkan agamanya, dan menjadi pengikut nabi. Tetapi uskup itu berpegang teguh pada imannya. Kemudian gubernur memerintahkan agar ia dibawa keluar dan disunat. Karena sangat marah, wali gereja yang terhormat segera kembali ke Abyssinia, namun ia tidak memberitahu raja tentang apa yang telah menimpanya.

Raja Abyssinian sangat marah pada kisah sedih sang uskup, dia sampai menangis dan menggertakkan giginya; lalu segera memanggil para abdi dalemnya, bersumpah bahwa dendam uskup harus dibalaskan. Mengumpulkan pasukan yang sangat besar, dia maju ke depan ke jantung kota Adel, di mana dia bertemu dengan lawan yang kuat  dari musuh bebuyutannya. Pertempuran itu panjang dan hebat; tapi berakhir dengan kemenangan besar bagi para penjajah. Tentara Adel pecah dan melarikan diri; dan orang-orang Abyssinia, yang marah dan mabuk oleh kemenangan mereka, menghancurkan kota-kota terbesar dan ladang paling indah di Adel, dan membunuh banyak orang. Setelah melampiaskan dendamnya uskup, kaisar kembali ke negaranya.

Marco menemukan di Abyssinia, vegetasi terkaya dan paling melimpah. Penduduk asli hidup dari nasi, hewan buruan, susu, dan wijen. Di antara binatang, dia melihat jerapah, singa, macan tutul, dan kera besar, yang terbesar dan paling cerdas yang pernah ia temui. Hewan berbulu, yang muncul di Abyssinia, membuatnya takjub dan kagum. Unggas domestik yang menurutnya paling cantik di dunia; burung unta tampak “sebesar keledai;” dan burung beo melebihi berbagai warna dan kemegahan bulu apa pun yang pernah dia bayangkan. Dia melewati banyak kota yang berkembang di mana beberapa di antaranya dia mendapati pabrik kapas dan kain lainnya; dan oleh banyak bangsawan dibangun kastil-kastil yang tinggi, meskipun dibangun dengan primitif, bertengger di tebing tinggi, atau di lereng bukit berhutan.

Marco ingin berlama-lama di Abyssinia, negara yang sangat menarik baginya dalam banyak hal. Dia juga ingin pergi lebih jauh, menjelajahi semua keajaiban Mesir dan Sungai Nil. Tapi dia sekarang telah jauh dari istana KHAN dan pergi  lebih lama dari yang dia inginkan; dan dia tahu bahwa baik KHAN, maupun ayah dan pamannya, saat ini pasti sedang menantikan kepulangannya dengan cemas.

Karena itu, dengan enggan, ia memalingkan wajahnya ke timur lagi. Selama perjalanannya, dia telah mengumpulkan banyak pengetahuan tentang tempat-tempat aneh yang telah dia kunjungi; dan dia telah kehilangan sejumlah besar orang Tartar yang telah menjadi bagian dari rombongannya. Dia sekarang hanya memiliki cukup orang untuk membawa barang bawaannya, dan untuk bertindak sebagai penjaga. Marco mencari pelabuhan untuk memulai perjalanan, ia merasa perlu untuk melanjutkan ke kota besar dan berkembang Aden, pelabuhan yang merupakan pusat dari semua perdagangan laut Afrika dan India. Sesampainya di Aden, Marco terkejut dengan kejayaan banyaknya jumlah pelayaran yang ada di pelabuhan itu; juga pada keagungan sultan yang memerintah kota dan negara di sekitarnya. Di tempat yang begitu sibuk, dia tidak mengalami kesulitan dalam menyewa kapal untuk membawanya dan rombongannya kembali ke Tartar; dan sekali lagi ia menemukan dirinya berada di pedalaman, dalam perjalanan ke Kambalu.

Minggu 26

Perjalanan itu panjang, melelahkan, dan penuh badai. Kadang-kadang Marco putus asa untuk dapat melihat daratan lagi, begitu dahsyatnya angin topan, badai dan hujan; kadang-kadang tenang selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Marco mendarat di banyak pulau yang telah dia kunjungi dalam perjalanan berangkatnya, dan melihat beberapa pulau yang pernah dia lewati sebelumnya; tetapi selama transit yang panjang dia cukup sering mengunjungi beberapa lokasi di daratan.

Akhirnya perjalanan panjang itu pun berakhir. Pantai Cathay muncul dalam garis panjang yang redup di cakrawala; kemudian kota-kota yang sudah dikenalnya mulai terlihat; akhirnya, kapal itu mendekati pelabuhan tempat Marco berangkat; dan dengan sepenuh hati dia melompat ke pantai, dan tahu bahwa tak lama lagi dia akan dipeluk ayahnya, dan menerima sambutan dan pujian dari KHAN yang agung.

Kepulangannya ke Kambalu dirayakan dengan kegembiraan di mana seluruh istana ambil bagian; karena para bangsawan Tartar tidak pernah tahu tentang petualang yang begitu hebat dan tak kenal lelah seperti yang telah dibuktikan oleh Marco. Eksplorasinya, bahaya di laut, orang liar dan binatang buas yang telah dia temui, negara-negara indah dan kebiasaan aneh yang dia saksikan, dan jasa berharga yang dia berikan kepada KHAN, membuatnya menjadi pahlawan sejati, bahkan di antara para jenderal yang telah bertempur dalam pertempuran besar, dan bangsawan yang memiliki kekuatan sedikit di bawah Kubilai KHAN sendiri.

Nicolo bangga dengan prestasi putranya, dan ia terus-menerus memujinya. Sang KHAN semakin menyayangi Marco, dan melimpahkan hadiah paling mahal dan bantuan paling langka kepadanya. Dia menjadikannya seorang bangsawan di kerajaannya; dia memanggilnya hampir setiap hari untuk makan malam bersamanya; dia menawarkan untuk menikahkannya dengan salah satu gadis bangsawan paling cantik, dan kaya di wilayahnya; dia memberinya kandang kuda yang indah; dan berkonsultasi dengannya tentang urusan negara yang paling penting.

Lambat laun kehangatan kasih sayang sang KHAN terhadap Marco mulai memenuhi dada para baron Tartar yang angkuh dan garang dengan kecemburuan; dan sekarang Marco harus merasakan pahit dan manisnya keberuntungan. Dia terus-menerus diancam dengan jerat dan pembunuhan. Dia dipaksa untuk pergi bersenjata, dan dilindungi oleh penjaga yang kuat, agar serangan rahasia tidak dilakukan terhadapnya. Jadi hidupnya di istana, dikelilingi dengan segala kemewahan dan hak istimewa yang diinginkan hati, namun menjadi sesuatu yang tidak nyaman.

Nicolo dan Maffeo Polo, serta Marco, membangkitkan permusuhan dari banyak baron; dan begitu tidak menyenangkannya posisi mereka di istana, meskipun mendapat kebaikan hati dan disukai raja, mereka sering berbincang dengan cemas tentang kemungkinan mereka bisa pulang ke Venesia.

Enam belas tahun telah berlalu sejak hari di mana mereka mengucapkan selamat tinggal pada kota asal mereka. Kedua Polo yang lebih tua semakin tua; rambut mereka memutih, wajah mereka berkerut, dan kekuatan mereka memudar. Marco sendiri, yang telah berangkat dari Venesia sebagai seorang remaja, sekarang menjadi pria yang kuat, berbahu lebar, berusia antara tiga hingga empat puluh tahun, dengan janggut cokelat tebal dan kuat seperti singa. Misi mereka di Cathay telah tercapai; karena mereka telah membujuk KHAN untuk menjadi seorang Kristen, telah mengubah banyak rakyatnya, dan memperoleh kekayaan besar untuk diri mereka sendiri.

Mereka akhirnya memutuskan untuk berusaha keras membujuk Kubilai KHAN agar mengizinkan mereka pergi, dan memberi mereka bantuan sarana untuk dapat melakukannya dengan aman. Hari pertama, mereka berkata satu sama lain, bahwa Kubilai tampak dalam keadaan hati yang sangat baik dan riang, mereka akan mengajukan petisi mereka.

Tidak lama setelah ini, KHAN mengadakan pesta besar; dan kemudian menyaksikan, olahraga yang mengasyikkan yang biasa dia lakukan untuk menghabiskan waktu sore yang menyenangkan, setelah dia makan dan minum sampai puas.

Setelah lelah, kemudian, ia beranjak pergi ke tamannya, Kubilai KHAN berbaring di bawah naungan pohon, dan memanggil abdi dalem dan istri favoritnya. Di dekatnya ada tiga Polo, yang mengamati bahwa raja sedang senang hati. Dia bercanda dengan teman-temannya, dan berbaring dengan mewah di atas bantalnya.

Para Polo saling memberikan pandangan yang berarti; dan pada saat yang tepat, Nicolo maju dan bersujud di kaki raja. “Saya hendak meminta bantuan yang sangat besar dari Yang Mulia,” katanya, menggenggam tangannya, dan mengangkat matanya ke wajah Kubilai, “dan mohon Anda untuk mendengarkan dengan baik permohonan saya ini.”

“Dan bantuan apa yang akan Anda minta, orang Venesia yang baik, yang tidak akan saya berikan? Anda dan saudara Anda, dan putra Anda yang gagah dan pemberani, telah melayani saya dengan mulia selama bertahun-tahun; bagaimana saya bisa menolak permintaan Anda?”

“Tapi saya takut menyinggung Yang Mulia, dengan meminta lebih dari yang ingin Anda berikan. Kami mohon tidak ada lagi kekayaan, tidak ada lagi kehormatan. Ini Yang Mulia telah limpahkan kepada kami jauh melampaui keinginan kami. Yang Mulia telah memenuhi kami dengan bantuan dan emas Yang Mulia. Memang, bertahun-tahun kami telah hidup di bawah sinar matahari di hadapan kerajaanmu; begitu banyak, sehingga saudaraku dan aku menjadi tua dalam pelayananmu. Dan setelah waktu yang lama ini, Baginda, hati kami merindukan tanah air kami, untuk orang-orang terkasih yang belum pernah kami dengar kabarnya sedikit pun; dan kami akan kembali dengan susah payah, untuk memberi tahu Eropa tentang keajaiban wilayah Anda yang luas, dan kebajikan luhur yang berdiam di hati kerajaan Anda. Yang Mulia, beri kami izin untuk kembali ke Venesia; itulah petisi yang akan kami mohonkan di kaki Anda.”

KHAN pada awalnya mengerutkan kening, dan dengan tidak sabar menggelengkan kepalanya; lalu tersenyum dan berkata:

“Orang Venesia, saya tidak bisa membiarkan Anda pergi. Anda terlalu berguna bagi saya. Siapa yang bisa saya kirim sebagai utusan ke provinsi-provinsi terpencil saya, jika Marco tidak ada di sini? Siapa yang bisa mengajari orang-orang saya bagaimana menjadi orang Kristen, jika Anda pergi? Tidak, tidak, tetaplah puas, orang-orang Venesia; dan apa pun harta milik Anda saat ini, itu akan digandakan dari rumah penyimpanan harta saya. Apa pun yang Anda inginkan untuk membuat Anda kaya, untuk memberi Anda hiburan, untuk memberi Anda kemudahan dan kepuasan di Cathay, akan menjadi milik Anda. Pilih tempat tinggal Anda, kuda Anda, pelayan Anda, penjaga Anda, dan mereka akan diberikan kepada Anda. Tapi jangan berpikir untuk pergi ke sana; itu tidak mungkin.”

Nicolo terus memohon dengan segala kefasihan yang bisa dia lakukan; tapi doanya cukup sia-sia. Sang KHAN sebenarnya tuli terhadap permohonannya. Dia kemudian mencoba cara lain untuk mendapatkan keinginannya.

“Baginda,” kata Nicolo, “nasib baik kami di sini, dan kemurahan hati Anda, telah menjadikan kami musuh di antara para baron dan abdi dalem Anda. Mereka iri melihat kasih sayang raja mereka diberikan kepada orang asing; dan mereka benci melihat sebagian besar kepercayaan dan nasihat rahasia yang Anda curahkan kepada kami, yang memiliki kelahiran dan darah berbeda. Jika kami pergi, para bangsawan ini tidak akan lagi menyimpan perasaan begitu marah, dan akan sekali lagi bersatu, sebagai kesatuan, mendukung takhta Anda. Demi, kedamaian di istanamu, kabulkan doa kami.”

KHAN melihat sekeliling di antara para abdi dalemnya dengan alis yang merendahkan dan mengancam.

“Siapa yang berani,” teriaknya, “bersungut atas keinginanku yang berdaulat; siapa yang akan melarangku memilih penasihat seperti yang kuinginkan? Tunjukkan, orang Venesia, orang-orang yang kamu bicarakan!”

“Baginda, saya tidak melihat seorang pun di antara mereka yang hadir; saya juga tidak ingin menumbuhkan ketidakpuasan dan pertengkaran lebih lanjut di istana Anda, dengan menyebut siapa-siapa mereka yang iri pada kami. Mereka tidak akan tinggal diam sampai kami pergi ke barat.”

Namun, KHAN itu keras kepala; dan meskipun Polo berulang kali memintanya untuk melepaskan mereka, dia tidak mau bergerak sedikitpun dari tekadnya untuk menahan mereka. Sepertinya tidak ada harapan untuk mereka. Polo tidak bisa berharap untuk melarikan diri secara sembunyi-sembunyi dari Cathay; karena setiap jalan raya dijaga oleh pasukan KHAN yang setia, dan para kurirnya, dengan estafet kuda mereka, dapat melakukan perjalanan jauh lebih cepat daripada yang bisa mereka harapkan.

Mereka sekali lagi dengan enggan melepaskan harapan untuk kembali ke rumah, dan mulai mengatakan satu sama lain bahwa, kemungkinan besar, mereka ditakdirkan untuk tidak pernah melihat Venesia lagi, tetapi untuk hidup dan mati di Cathay. Marco melanjutkan kehidupan menganggurnya di istana, menemukan kesenangannya dalam menulis catatan perjalanannya. Di awal musim panas, dia pergi dengan rombongan KHAN yang tak terhitung banyaknya ke tempat berburu kekaisaran di utara; dan karena dia sekarang telah menjadi salah satu pemburu yang paling kuat dan terampil di istana, dia terjun dengan semangat baru ke dalam olahraga hutan dan rimba.

Marco berpikir, setelah musim panas, dia kembali lagi, dengan rombongan kekaisaran, ke Kambalu,  telah terjadi peristiwa dalam ketidakhadirannya yang akan mempercepat kembalinya dirinya, ayahnya, dan pamannya ke Venesia; dan setibanya di istana, ia sangat gembira menemukan bahwa nasib baik tiba-tiba membuka jalan bagi keberangkatan terakhir mereka.

 

Leave a Comment

error: Content is protected !!