Pada pagi yang cerah di bulan April tahun 1271, Marco Polo berdiri di geladak kapal perang, dan melihat kubah-kubah serta menara-menara Venesia yang berkilauan, yang mulai surut dari pandangan, sementara kapal itu berlayar menyusuri Laut Adriatik, dia tidak dapat menebak berapa tahun akan berlalu sampai matanya dapat menyambut pemandangan rumah yang sudah lama dikenalnya itu, lagi.
Tapi kini dia hanya memikirkan masa depan ada di hadapannya; meskipun dia pada awalnya sedikit mabuk laut, saat melewati Teluk Venesia ke perairan Adriatik yang lebih kasar, namun dia segera memulihkan semangatnya, dan sekarang menatap dengan penuh minat pada objek-objek yang disajikan oleh pantai dan perairan.
Itu adalah perjalanan yang menyenangkan, melalui Laut Adriatik, melintasi gelombang ungu berkilauan di Mediterania, mengitari pantai Yunani yang berbatu, dan akhirnya meluncur ke lautan yang lebih terbuka, jauh dari pandangan daratan; dan hari-hari yang berlalu antara keberangkatan dari Venesia dan kedatangan di kota tua Acre [Akko] yang membuat penasaran, di pantai Suriah [sekarang di Israel utara], dengan temboknya yang menjulang, jalan-jalannya yang sempit dan berliku, kastilnya yang tinggi, kuil, istana, dan gerejanya, yang sangat berbeda dengan yang ada di Venesia, merupakan tempat yang menggembirakan bagi para pengembara muda.
Saat mendarat di Acre, Polo dan Marco bersaudara beristirahat di penginapan terbaik di tempat itu; dan Nicolo tidak membuang waktu untuk mencari teman lamanya, pendeta Tedaldo, untuk mengetahui kemungkinan misionaris yang pergi ke timur bersama mereka. Tedaldo senang melihatnya, tetapi ia mengatakan bahwa belum ada paus yang dipilih; dan memohon Nicolo untuk tinggal di Acre sampai pemilihan itu terjadi. Awalnya Nicolo, yang tidak sabar untuk mencapai istana KHAN yang agung, menolak permintaan Tedaldo; tetapi akhirnya pendeta yang cerdik itu menang atasnya.
“Jika kamu mengizinkan kami pergi ke Yerusalem, dan mengambil minyak suci dari lampu di Sepulchre,” kata Nicolo, “kami tidak akan melanjutkan perjalanan kami sampai kamu menyetujuinya. KHAN yang agung akan menerima minyak suci sebagai hadiah berharga.”
“Lakukanlah,” jawab Tedaldo; “pergilah ke Yerusalem, dan setelah melakukan tugasmu, kembalilah ke sini. Mungkin, saat itu, kita telah memiliki seorang paus.”
Marco sangat senang mengunjungi kota suci, yang sekarang dia lakukan, bersama ayahnya. Mereka tidak tinggal lama di Yerusalem; tapi selama di sana, Marco sempat melihat semua peninggalan kuno dan keramat serta pemandangan unik yang masih menarik para pengembara. Setelah mendapatkan sebotol minyak dari lampu di Sepulchre (yang, konon, terus menyala di sana sejak kematian Kristus), Nicolo kembali ke Acre. Belum ada paus yang dipilih; dan sekarang Tedaldo tidak dapat menemukan alasan dalam hatinya untuk melarang kepergian saudara-saudaranya.
Oleh karena itu, mereka pun berangkat dari Acre, menyeberang dengan kapal ke kota tua berbenteng, Ayas [dekat Yumurtalik, Turki], di teluk Scanderoon [Iskenderun, Turki]. Ayas mereka temukan sebagai pelabuhan komersial yang sibuk, dengan pasar yang ramai dan benteng menakjubkan yang menjulang di dekat pantai; tetapi mereka tidak bisa tinggal lama di sana, dan mulai membuat persiapan untuk menembus ke Armenia. Mereka berada di titik awal, ketika sebuah pesan penting dari Acre sampai kepada mereka.
Tampaknya seorang paus akhirnya terpilih, dan pilihan itu tidak lain jatuh pada teman mereka sendiri, Tedaldo, yang kemudian mengambil nama Gregory the Tenth; dan dia telah mengirim mereka untuk segera kembali ke Acre, lalu menerima instruksinya tentang bagaimana menghadapi KHAN yang agung.
Saat mencapai Acre, Polo langsung menerima kehadiran teman lama mereka, yang sekarang telah menjadi kepala Gereja. Tedaldo, atau Paus Gregorius, begitu dia seharusnya dipanggil sekarang, menerima mereka dengan segala kebaikannya yang lama di istana tempat dia tinggal, dan memberikan berkat khusus kepada Marco muda, yang masa muda dan sikapnya sangat menyenangkannya.
Kemudian, sambil menoleh ke dua bersaudara itu, sang paus berkata:
“Sekarang aku dapat memberimu kekuatan dan otoritas penuh untuk menjadi utusan Gereja bagi Kubilai KHAN. Kamu harus membawa serta dua biarawan yang dapat dipercaya, yang akan membantumu dalam mengubah orang-orang kafir Cathay; dan kamu sendiri dapat menahbiskan uskup dan imam. Untuk menunjukkan keinginanku menerima Kubilai ke dalam pangkuan Gereja, aku akan memberimu beberapa vas dan stoples kristal, untuk dibawa kepadanya sebagai hadiah dariku.”
Nicolo bersimpuh di kaki paus, dan menunjukkan kerendah-hatiannya dan berterima kasih; lalu Maffeo dan Marco mengikuti teladannya. Semua keinginan mereka tampaknya sekarang terpenuhi; setelah mengucapkan kata perpisahan sekali lagi kepada paus serta menerima restunya, mereka berangkat untuk kembali ke Ayas, terinspirasi oleh tujuan baru dan mulia untuk mengubah bangsa barbar yang besar ke iman yang benar. Bersama mereka pergilah dua biarawan yang telah diangkat oleh paus, Nicolo dari Vicenza, dan William dari Tripoli; dan saat mendarat di Ayas, mereka memutuskan untuk tidak menunda lagi perjalanan mereka.
Namun, kemalangan lain ditakdirkan untuk menimpa mereka sebelum mereka menemukan diri mereka melakukan perjalanan ke timur. Di Ayas mereka mengetahui bahwa Armenia, negara yang akan mereka lewati, baru saja diserang oleh Sultan Babel [Hillah; tidak jauh dari Bagdad, Irak] dengan pasukan yang tangguh.
Segera setelah kedua biarawan itu mendengar berita yang tidak menyenangkan ini, mereka berlari ke Nicolo, dan menyatakan bahwa mereka takut untuk pergi, atau bahkan untuk tinggal di Ayas. Sia-sia Nicolo meminta mereka untuk terus bersamanya, dan untuk berani menghadapi bahaya yang sekarang membayangi mereka, daripada menghentikan proyek untuk mengubah orang-orang Cathay.
“Tidak,” jawab para biarawan: “Kami takut pada orang-orang Saracen yang kejam ini. Jika mereka menangkap seorang imam Kristen, orang-orang itu akan menyiksa dan membunuhnya. Ambillah surat kepercayaan dan dokumen kami, Messer Polo; dan Tuhan menyertaimu. Kami harus kembali ke Acre.”
Dan mereka melakukannya, naik ke galai pertama yang berangkat ke tempat itu.
Keluarga Polo menemukan bahwa mereka harus maju sendiri; setelah melihat Ayas untuk terakhir kalinya, dan sejujurnya merasa agak khawatir kalau-kalau mereka harus bertemu dengan para penyerbu Saracen, mereka mulai di jalan raya yang mengarah ke utara ke arah Turcomania.
Marco mengamati segala sesuatu dalam perjalanan dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi; dan ayahnya yang sudah pernah melintasi wilayah itu mampu menjelaskan banyak pemandangan yang misterius baginya itu. Mereka melewati banyak kota Asia yang unik, dan Marco memandangi kulit kehitaman dan pakaian penduduk setempat yang indah. Penduduk setempat pun, mengamati para pengembara dengan penuh keheranan; tetapi di semua bagian negara ini, penduduknya tampak ramah, dan sama sekali tidak berniat menganiaya mereka.
Terkadang para pengembara akan berhenti di satu atau dua kota dalam satu atau dua minggu sekaligus, menginap di penginapan yang sangat tua, dan menikmati hidangan yang belum pernah dilihat Marco, dan beberapa hidangan di antaranya tak satu pun dari mereka bertiga tahu apa namanya.
Orang-orang dari daerah yang mereka lewati biasanya dilanda kemiskinan, dan kelihatannya mereka cukup puas dengan segala sesuatu yang sangat sedikit. Marco mengamati bahwa mereka adalah kelompok yang pemalas, mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk meminum minuman keras yang bermutu rendah, yang dengan cepat membuat mereka menjadi mabuk.
Namun, kadang kala, para pengembara datang ke kota yang diatur dengan baik, kota berkembang, dan di sana mereka bertemu pria dan wanita dari kelas yang lebih tinggi dan lebih aktif. Para kepala suku di tempat-tempat ini akan memperlakukan mereka dengan keramahan yang tulus, menempatkan hidangan terbaik dan buah-buahan paling lezat yang disediakan wilayah tersebut di hadapan mereka, dan memberi mereka kamar terbaik di kediaman mereka, meskipun tidak senyaman di rumah Marco, tapi itu adalah tempat terbaik untuk tidur.
Minggu 6
Suatu hari, seorang kepala suku yang ramah mengusulkan kepada Polo bahwa mereka perlu menjadi bagian dari ekspedisi berburu, yang akan berangkat untuk mencari binatang buruan di bukit-bukit tetangga. Usulan ini membuat Marco muda senang, karena dia berpikir bahwa perjalanan mereka mulai monoton. Pada awalnya ayahnya menolak untuk membiarkan anaknya pergi dengan rombongan berburu; tetapi dengan sangat gigih Marco memohon, dan sang kepala suku menyediakan seekor kuda yang tampak begitu kuat dan tegap untuk digunakan oleh Marco, sehingga akhirnya Nicolo menyerah juga.
Tidak hanya kuda, tetapi gajah juga membawa para olahragawan ke tempat mereka beraksi; dan setelah melakukan perjalanan selama dua hari melintasi dataran dan di antara perbukitan, rombongan itu berkemah di tepi sungai. Kemudian Marco, untuk pertama kalinya, melihat olahraga liar yang sengit yang disediakan oleh perbukitan dan hutan Asia. Dia terlalu muda dan belum terlalu terampil untuk mengambil bagian aktif dalam perburuan binatang buas; tetapi ia diijinkan berkeliaran di hutan yang tinggi, dan menjatuhkan banyak burung berbulu indah, yang kemudian terbukti menghasilkan makanan yang paling manis dan paling lembut. Suatu ketika, Marco menyaksikan, dari jarak yang aman, pertemuan dengan harimau raksasa, yang kemudian diserang oleh penduduk setempat dari punggung gajah mereka, dan akhirnya mereka berhasil membunuh dan menyeretnya, ke dalam kemah, dengan kulit belangnya yang megah.
Marco kemudian menjadi cukup terbiasa dengan olahraga yang mendebarkan ini, dan dengan tangannya sendiri, ia menangani cukup banyak serangan akhir pada singa dan harimau serta serigala yang kelaparan.
Setelah melintasi tepi timur Turcomania [Anatolia tengah di Turki modern], para pengembara memasuki negeri Armenia Raya yang indah dengan daratannya yang luas dan subur, serta jalur pegunungannya yang seram dan sempit; sebenarnya negara ini sering menjadi tempat konflik antara Rusia dan Turki. Mereka melewati di dekat atau di sekitar tempat di mana benteng Kars dan Erzeroum yang sekarang terkenal berdiri [Erzurum dan Kars berada di Turki]; dan ketika mereka melanjutkan, mereka terkejut menemukan wilayah yang begitu padat dengan kota-kota dan desa-desa, dan kadang-kadang kota-kota yang cukup megah. Mereka menemukan penduduknya, yang sebagian besar adalah orang Tartar, cenderung tidak berkeinginan untuk menganiaya mereka, sama seperti orang Turkoman; meskipun begitu, terkadang, saat mereka melewati distrik-distrik yang sepi, mereka diancam oleh para perampok.
Bersama mereka ada beberapa pemandu penduduk setempat, yang bahasanya sudah akrab dengan dua Polo yang lebih tua. Suatu hari, salah satu pemandu ini berhenti, dan menunjuk ke sebuah gunung, yang garis samarnya bisa terlihat dari kejauhan.
“Apakah kamu melihat gunung itu?” katanya, ke para pengembara. “Itu adalah Gunung Ararat [perbatasan timur Turki]. Di sanalah bahtera Nuh terdampar, setelah banjir melanda bumi. Bahtera itu masih ada di sana, di puncak gunung; dan umat beriman di wilayah ini berani menghadapi salju yang terus-menerus menyelubungi Ararat, untuk mengambil bagian dari bahtera itu, yang mereka buat menjadi jimat, dan dipakai sebagai aji-aji di leher mereka!”
Marco mendengarkan dengan mulut terbuka, dan menatap cukup lama dengan sungguh-sungguh pada gunung yang terkenal itu. Dia hampir tidak percaya bahwa bahtera itu masih ada di sana; meskipun pemandu itu berbicara dengan sungguh-sungguh, dia ragu dengan apa yang pemandu itu katakan.
Setelah melintasi barisan pegunungan yang tinggi, mereka turun ke lembah yang luas dan rindang, melalui kelokan yang luas, sungai mengalir deras. Sungai ini, menurut Marco, tidak lain adalah Sungai Tigris, yang mengalir ke utara dari Teluk Persia. Di setiap sisi, pengembara muda itu melihat reruntuhan megah peradaban indah yang pernah ada di lembah ini. Kota-kota yang hancur atau runtuh, dengan tembok-tembok yang luas, dan istana-istana yang tinggi, serta kuil-kuil yang menjulang, sering dijumpai; dan di dekat mereka terletak kota-kota dan desa-desa yang lebih modern, masih hidup dengan hiruk pikuk perdagangan atau pertunjukan oriental.
Negara ini adalah kerajaan Mosul [Irak utara]; dan di beberapa kota, Marco mengamati pabrik-pabrik kain halus, yang diproduksi dengan cepat dan terampil, dan terbuat dari banyak warna yang indah. Kain ini memberi nama pada apa yang sekarang kita sebut “muslin”, dari tempat pertama kali kain itu diperoleh; itu benar-benar bukan kain muslin, tetapi tekstur yang jauh lebih halus, dari sutra dan emas. Keluarga Polo senang mengetahui bahwa sebagian besar orang Mosul adalah orang Kristen, yang menyambut mereka dengan lebih hangat karena mereka menganut keyakinan yang sama.
Namun, ketika mereka menuruni lembah Tigris lebih jauh menuju Teluk Persia, mereka ditakdirkan untuk bertemu dengan jenis orang yang sangat berbeda. Dari kubu gunung Kurdistan [Mosul, Irak] di sana menukik ke lembah kelompok-kelompok Curd yang ganas, ras yang kejam dan pendendam yang tinggal di dalam kubu itu, yang pekerjaannya adalah merampok dan membunuh. Nama mereka, dalam bahasa Turki berarti “serigala”, mengkhianati adalah karakter dan kebiasaan mereka. Untungnya sejumlah besar orang Kristen Mosul menemani para pengembara, dengan bersenjata lengkap, dan melindungi mereka dari Kelompok Curd yang biadab; dan setiap kali mereka menyerang kelompok itu, dengan kehilangan banyak nyawa, mereka diusir kembali mundur ke gunung mereka lagi. Marco berpikir dia belum pernah melihat makhluk seganas seperti beberapa orang Curd yang ditawan. Kulit mereka sangat gelap, dengan wajah berkumis panjang yang terlihat garang, dan mata mereka hitam berkilau dengan tatapan buas dan mematikan. Bahaya ini kemudian dapat dihindari; dan, segera setelah itu, Marco menjadi begitu semangat dan sukacita untuk masuk ke kota Bagdad yang terkenal [Baghdad, Irak] dan melihat dengan matanya sendiri,. Dia sudah sering mendengar tentang Bagdad, dari para pedagang Venesia yang melakukan perjalanan ke sana; dan sering kali, di rumah, rasa ingin tahunya dibangkitkan untuk melihat pemandangan unik, orang-orang yang unik, kuil-kuil kuno, gerbang dan istana, yang telah dijelaskan kepadanya. Dan disinilah dia, di jalan-jalan kota Arab tua, masih dalam semua kejayaan perdagangannya, meskipun banyak dari kemegahan kunonya telah pergi; dan segala sesuatu yang dilihatnya membuatnya senang. Dia senang ketika ayah dan pamannya, yang menginap di penginapan terbaik yang ditawarkan kota tua itu, mengumumkan niat mereka untuk beristirahat sebentar di Bagdad; untuk saat ini dia akan memiliki waktu luang untuk menjelajahinya secara menyeluruh, dan untuk memburu adegan-adegan dari kisah luar biasa yang pernah ia dengar itu.
Dia menemukan Bagdad tidak hanya penuh dengan monumen kuno, tetapi juga tempat yang sangat berkembang dan sibuk, diperintah oleh seorang khalifah, ia memiliki pasukan yang besar dan gagah berani. Kota itu menghasilkan berbagai macam kain yang mengherankan, seperti sutra, kain emas, dan brokat, dan itu adalah pemandangan yang bagus untuk melihat pria dan wanita dari kelas yang lebih tinggi, yang berdandan dalam balutan kain indah ini, saat mereka berjalan di tepi sungai, atau berbaring di balkon mewah mereka, yang menghadap ke sungai Tigris. Saat berada di tempat yang terkenal inilah Marco mendengar sebuah cerita yang memberinya wawasan tentang karakter suku Oriental. Sekitar empat puluh tahun sebelumnya telah memerintah di Bagdad, seorang khalifah yang sangat tamak, dan juga sangat kaya. Dia memiliki menara yang tinggi, yang konon ditumpuk penuh dengan emas dan perak. Seorang pangeran Tartar datang dengan pasukan besar, menyerang Bagdad dan mengambilnya, dan menjadikan sang khalifah sebagai tawanan. Ketika dia melihat menara yang penuh dengan harta karun, sang penakluk Tartar tercengang; dan memerintahkan khalifah tawanan itu menghadapnya, lalu ia berkata, “Khalifah, mengapa engkau mengumpulkan begitu banyak kekayaan di sini? Ketika engkau tahu aku datang untuk menyerangmu, mengapa engkau tidak menggunakannya untuk membayar tentara untuk membelamu?” namun Khalifah tidak menjawab, Tartar melanjutkan, “Sekarang, khalifah, karena engkau memiliki cinta yang begitu besar untuk harta ini, engkau harus memakannya!” kemudian khalifah dikurung di menara, dan sang tartar memerintahkan agar tidak diberikan makanan atau minuman; karena, katanya, dia harus memakan emasnya, atau tidak makan sama sekali. Khalifah yang malang meninggal di menara beberapa hari kemudian, kelaparan, karena meskipun dikelilingi oleh tumpukan harta, yang dapat membeli makanan untuk pasukan yang besar.
Marco saat ini sudah cukup menguasai bahasa daerah itu untuk berbicara dengan penduduk asli; dan tidak ada yang lebih membuatnya senang selain berjalan-jalan di pasar dan toko, dan menemukan beberapa Mussulman [Muslim] yang banyak bicara, yang akan duduk dan menceritakan kisah-kisah kepadanya. Dengan cara ini, dia mendengar banyak kisah yang hampir tidak kalah romantisnya dengan kisah-kisah “Malam-malam di Arab”.
Salah satu kisah yang baginya tampak luar biasa adalah kisah “Pelalap bermata satu”. Beberapa tahun sebelumnya, diceritakan, di Bagdad ada seorang khalifah yang memiliki kebencian teramat pahit terhadap orang-orang Kristen, dan memutuskan untuk membunuh mereka semua dengan pedang. Ia berpikir untuk menjebak mereka dengan doktrin mereka sendiri, maka ia memanggil sejumlah besar orang Kristen bersama-sama, dan menunjuk ke bagian dalam Alkitab yang mengatakan, bahwa “jika seorang Kristen memiliki iman sebesar sebutir biji sesawi, dan memerintahkan gunung untuk dipindahkan, maka gunung itu akan mematuhi perintahnya”. (“Jika kamu memiliki iman sebesar biji sesawi, kamu dapat memindahkan gunung” (Matius 17:20),ed)
“Sekarang,” kata khalifah, “Kamu yang memiliki keyakinan seperti itu, harus memindahkan gunung itu, yang kamu lihat di sana” menunjuk ke tempat yang sangat tinggi, “atau kamu akan binasa oleh pedang. Jika kamu tidak melakukannya dalam sepuluh hari, kalian semua akan mati atau menjadi pengikut Muhammad.”
Orang-orang Kristen itu resah dan gelisah mendengar kata-kata khalifah, dan tidak yakin harus berbuat apa. Selama beberapa hari mereka merasa seperti orang-orang tersesat. Tetapi suatu hari seorang uskup datang kepada mereka, dan berkata bahwa dia mendapat penglihatan dari Tuhan; dan bahwa Tuhan telah mengatakan kepadanya bahwa jika orang-orang Kristen dapat membujuk seorang tukang sepatu yang saleh, yang hanya memiliki satu mata, untuk berdoa agar gunung itu dipindahkan, doanya akan dikabulkan.
Tukang sepatu pun dicari mereka dengan penuh semangat. Pada awalnya dia menolak untuk berdoa meminta keajaiban, dan mengatakan bahwa dia tidak lebih baik dari mereka umat Kristen yang lain. Tapi akhirnya dia setuju untuk berdoa. Tentara khalifah dan orang-orang Kristen berkumpul di dataran avast di depan gunung. Tukang sepatu itu berlutut dan memohon dengan sungguh-sungguh ke surga: kemudian lihatlah, gunung yang naik, pindah ke tempat yang telah ditunjukkan oleh khalifah! Dikatakan bahwa setelah keajaiban ini, khalifah diam-diam menjadi seorang Kristen; dan bahwa ketika dia meninggal, sebuah salib gading kecil ditemukan tergantung di lehernya.
Marco sangat ingin meninggalkan Bagdad, dengan kenangan romantisnya, gedung-gedungnya yang megah, pasarnya yang cemerlang, dan pendongengnya yang menawan; dan ketika suatu hari, Nicolo memberitahunya bahwa mereka harus berangkat lagi keesokan paginya, dia merasa sangat sedih mendengar berita itu. Namun, pemandangan segar segera mengalihkan pikirannya dari kota tua Bagdad; dan sebelum berhari-hari ia mendapati dirinya bersama ayah dan pamannya di kapal asing, dengan layar berbentuk segitiga, menyeberangi Teluk Persia.