Bab 5. Marco Polo Mencapai Cathay

Minggu 9

Setelah melewati Gurun Gobi yang luas, dimana dia mengalami banyak kesulitan, juga pernah hampir tersesat, akibat terpisah dari teman-temannya, Marco akhirnya sampai ke suatu negara dan bertemu dengan orang-orang yang sangat berbeda dari yang pernah ia lihat selama ini. Sebelumnya dia hanya bertemu dengan Turkoman; yang sebagian besar adalah suku pengembara yang ganas, mereka terbiasa menjarah dan membunuh, dan pergi dari satu tempat ke tempat lain, tanpa memiliki rumah yang tetap. Kini Marco menemukan dirinya berada di antara orang-orang yang tenang, sibuk, dan sebagian besar beradab, kebanyakan dari mereka tampaknya menjadi petani, mengabdikan diri mengolah tanah mereka yang subur dan menghasilkan hasil bumi yang melimpah.

Alih-alih Turkoman yang bertubuh tinggi, besar, berjenggot lebat, yang ia lihat kini adalah orang-orang  bertubuh kecil dan pendek, dengan mata menyipit, tulang pipi tinggi, rambut dikepang panjang ke belakang kepala, dan kulit berwarna kuning yang khas.

Mereka adalah orang Cina. Pakaian mereka longgar,  mereka mengenakan topi dengan ujung sisinya menekuk ke atas, sepatu mereka kecil dengan ujung jari kaki  mengerucut ke atas, dari cara mereka berpakaian, menandai bahwa mereka adalah ras yang berbeda dari penduduk daerah pegunungan yang belum lama berselang dilintasi oleh Marco. Alih-alih masjid dengan eksterior putih mencolok, interior sederhana, dan kubah besar seperti bohlam lampu, Marco sekarang melihat kuil-kuil yang indah, dihiasi baik di dalam maupun di luar dengan ornamen besar, dan berisi patung-patung besar yang berkilauan dengan sepuhan emas dan permata. Kota-kota itu tidak hanya terdiri dari bangunan-bangunan rendah dan sederhana, tetapi penuh dengan variasi dan dekorasi pada arsitekturnya, ini menunjukkan peradaban tingkat tinggi juga seni yg sudah ada di masa itu dan dimiliki oleh orang Cina itu.

Hamparan ladang-ladang subur yang kaya dan berlimpah. Marco merasakan suasana puas dan kedamaian penduduknya di mana-mana, sangat kontras dengan kebiasaan orang Turkoman yang selalu gelisah dan biadab; dan ketika dia melewati desa-desa Cina saat menjelang malam, dia jadi merindukan rumahnya saat ia melihat keluarga-keluarga Cina duduk dengan nyaman di depan pintu mereka, atau di balkon kecil yang teduh di atas rumah, menikmati suasana senja setelah lelah bekerja seharian, ketenangan dan istirahat saat malam hari, seperti yang biasa dilakukan orang Venesia.

Marco sangat terkejut dengan banyaknya kuil dan biara yang ia lihat bersama rombongan saat memasuki negara itu. Alih-alih memuja Nabi Muhammad, orang-orang cina beragama Buddha, dan memberikan pengabdian mereka kepada patung-patung dewa yang tak terhitung jumlahnya, yang didirikan di mana-mana. Marco lekas belajar banyak tentang tata krama dan kebiasaan dari ras ini, dan membangkitkan rasa keingintahuannya. Setiap orang Tionghoa yang memiliki anak, membawanya ke kuil pada suatu perayaan khusus, sambil membawa seekor domba untuk dipersembahkan sebagai kurban, dimasak dan dibawa kepada patung dewa tertinggi. Setelah daging masak itu dibiarkan beberapa lama di kaki patung itu, daging itu dibawa pergi, dan pria itu mengundang teman-temannya untuk memakannya bersama. Tulang-tulangnya kemudian dikumpulkan, dan disimpan di rumah dengan penuh rasa hormat dan perhatian. Ketika ada pria atau wanita yang meninggal, jenazahnya akan dibakar. Tetapi sebelumnya jenazah disemayamkan sementara ke tempat semacam paviliun di dalam  rumah; lalu teman-teman membawa anggur dan makanan, dan meletakkannya di depan mayat. Saat upacara pemakaman dimulai, para pelayat melempar kertas dan sejumlah figur-figur kecil, yang mewakili laki-laki, kuda, unta dan singa, figur-figur itu  mereka lemparkan ke atas api saat pembakaran jenazah dimulai; kepercayaan mereka adalah dengan melakukan itu mereka percaya bahwa di alam selanjutnya orang yang telah meninggal ini memiliki pelayan, kuda, uang dan lain-lainnya.

Suatu hari, orang Venesia tiba di sebuah kota bernama Kamul [Kamul; antara Xinjiang dan Mongolia], menurut Marco, itu adalah tempat yang penuh kesenangan hidup dan foya-foya. Orang-orang di kota ini sepertinya tidak memikirkan apa pun selain bersenang-senang sepanjang hari. Pekerjaan utama mereka adalah bertani; tetapi mereka sepertinya bekerja dengan sedikit saja, sementara gudang mereka penuh hingga meluap, dan mereka jelas memiliki banyak kekayaan. Dari pagi hingga malam, saat Marco tinggal di Kamul, dia tidak mendengar apa pun selain suara musik, nyanyian, dan tarian. Dia sempat terbangun oleh permainan alat musik keras yang aneh, dan pergi tidur kembali walau dengan suara yang masih terngiang di telinganya. Orang-orang di situ sangat ramah, dan saling berusaha menjamu orang asing sebagai tamu mereka sebaik mungkin. Tuan rumah menyediakan tempat khusus untuk Marco menginap, setelah memastikan bahwa dia aman dan nyaman, Tuan rumah pergi ke rumah lain, meninggalkan Marco untuk melakukan apa yang dia mau, ia merasa bagai tuan untuk sementara waktu. Marco tertarik sekali mengamati para wanita di Kamul yang tidak hanya penuh kegembiraan dan suka bersenang-senang, tetapi juga sangat rupawan. Setiap malam ada tarian dan nyanyian di ruang terbuka di depan rumah, di mana semua orang tampak bergabung dengan penuh semangat.

Para cenayang dan juru ramal sangat dikagumi dan dihormati di sini, sama seperti di negara-negara lain yang telah Marco lewati. Namun, para cenayang dan juru ramal di Cina tampak sangat berbeda dari yang sering dia lihat di Turkistan. Disini memiliki kumis panjang yang menjuntai hingga ke dada mereka; tapi tak ada janggut di dagu mereka. Alih-alih mengenakan gaun hitam panjang, mereka tampil dengan tunik, berkibar-kibar dengan motif naga, lumba-lumba, dan hewan menakjubkan lainnya. Mereka membawa tongkat panjang, yang seringnya terbuat dari perak atau emas; dan mengenakan topi tinggi, berjumbai begitu ramai. Setiap kali seorang cenayang lewat di jalan, para penduduk  melepas topi mereka, sampai dia lewat. Orang-orang misterius ini hidup terpisah dari masyarakat sekitar, yang sering kali tinggal di biara-biara yang berdiri di perbukitan di pinggiran kota; dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat lokal, setiap kali ada peristiwa khusus yang terjadi di kota mereka, seperti kelahiran, kematian, perjalanan, atau kebakaran, warga di sana segera mencari cenayang guna mempelajari makna dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka.

Para cenayang, tentu saja meminta bayaran yang besar untuk setiap ramalan mereka; mereka kaya raya, dan hidup dalam kemegahan serta kemewahan. Segera setelah ada yang meninggal, cenayang itu datang, dan menghitung/meramal tentang waktu pasti kematian orang yang meninggal itu dan hubungannya dengan keluarga. Dia kemudian masuk ke kamarnya dan mengucapkan sejumlah mantra yang asing terdengar; lalu ia dapat memberitahu kerabat, kapan hari dan jam yang terbaik untuk menguburkan orang yang telah meninggal itu. Dia juga akan memberi tahu mereka melalui pintu mana jenazah harus dibawa keluar dari rumah; kadang-kadang mengatakan bahwa jenazah itu harus dibawa melalui lubang yang dibuat di dinding, untuk memberikan keberuntungan bagi kerabat yang masih hidup.

Tidak jauh dari Kamul, Marco dan rombongannya datang ke sebuah distrik pertambangan besar dan ia menyaksikan contoh lain dari keterampilan dan kecerdasan orang Cina. Ada pertambangan tembaga, antimon [logam keperakan] dan juga tambang mineral yang sangat aneh, mineral itu disebut asbes, diambil di pertambangan itu. Bijih asbes ini, diambil dari pegunungan dan dipecah-pecahkan, kemudian menjadi semacam benda berserabut. Lalu dikeringkan dan dihancurkan dalam mortar dan membentuk benang yang kasar dan kuat. Benang ini ditenun menjadi kain, dan diputihkan dengan api, menjadi putih seperti salju, dan sangat kuat. Ide membuat kain dari mineral yang digali dari ngarai gunung adalah ide baru dan mengejutkan bagi pelancong muda kita.

Saat Marco melanjutkan perjalanan melewati negara itu, sampailah ia di tempat bernama Tangat [provinsi Gansu di Mongolia; googling Tangat tidak dianjurkan], ia mengamati bahwa candi di sana lebih besar dan lebih megah, dan patung-patung di dalamnya juga meningkat ukuran serta semakin megah dekorasinya. Dia melihat, di salah satu kota yang lebih padat penduduknya, ada patung setinggi sepuluh atau dua belas kaki, dari kayu, batu, dan dari tanah liat, seluruhnya ditutupi dengan lempengan-lempengan emas dan gading yang tebal. Di beberapa biara ini, para bhiksu, tidak seperti di bagian lain Cina, hidup dengan sangat tenang dan bahkan ada di fase penyangkalan diri. Selama satu bulan dalam setahun, para imam ini tidak akan membunuh binatang apapun, bahkan serangga, betapapun kecilnya, dan di bulan ini mereka hanya memakan daging dengan porsi sangat sedikit dan dimasak dengan cara sederhana, dimakan sekali dalam lima hari. Orang-orang di wilayah ini, di sisi lain, hidup dengan cara yang sangat degil dan kejam, menyerahkan diri mereka pada pemanjaan diri dan kemalasan. Orang-orang kaya memiliki banyak istri, yang mereka ceraikan segera setelah mereka bosan dengan sang istri; dan sering menikah dengan sepupu mereka atau kerabat dekat lainnya. Mereka mencurahkan banyak waktu untuk makan, minum, dan tidur, dan membuat Marco melihat kumpulan mereka sebagai makhluk yang jauh lebih rendah daripada orang Cina lain yang pernah dilihatnya.

Para pengembara bermaksud melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat, namun mereka mendengar berita yang sangat mengecewakan, dan menyebabkan mereka menunda keberangkatan  dari Campicion [Zhangye, di provinsi Gansu], kota utama Tangat. Berita buruk bahwa perang besar telah pecah antara dua negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Cathay. Jalan yang mereka akan lalui terbentang melewati wilayah tempat perang sedang berkecamuk. Usaha untuk mencapai Cathay melewati jalan lain tidak memungkinkan; karena negara-negara utara dan selatan tidak dikenal oleh pemandu mereka, dan ada kemungkinan akan tersesat, atau jatuh ke tangan suku yang tidak ramah, jika mereka mencoba jalan memutar yang tidak populer itu.

Karena itu, mereka dipaksa berpuas diri dengan menunggu kembalinya kedamaian di Campicion, sebuah saran yang tidak menyenangkan bagi Marco yang menganggap bahwa tempat ini tidak menarik sehingga Marco sangat tidak sabar untuk mencapai akhir perjalanannya. Namun, dia mencoba memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya, dan menemukan bahwa perang kemungkinan akan berlangsung beberapa waktu, maka ia memutuskan untuk menghabiskan waktu menunggu dengan melakukan eksplorasi ke wilayah tetangga, maka berangkatlah dia dengan sebuah kompi kecil, berjalan dari satu tempat ke tempat lain sebaik mungkin, mengamati dengan cermat semua orang dan adat istiadat unik yang dia temui.

 Minggu 10

Marco akhirnya berada sekali lagi di tepi gurun besar, dan mengunjungi sebuah kota kuno besar yang disebut Ezina [“kota hitam”], kota ini adalah kota tua yang separuhnya berbentuk reruntuhan. Marco  segera menyadari bahwa tempat ini pernah menjadi ibu kota yang berkembang, dan dikuasai oleh prajurit Tartar yang terkenal, Jenghis KHAN. Sekarang daerah ini dihuni oleh penjelajah dan pecinta olahraga, yang hanya tinggal di sana saat musim panas, pada musim dingin mereka turun ke lembah dan tinggal disana. Orang-orang ini memelihara unta dan kuda, dan sangat suka berburu di hutan pinus luas yang tersebar di perbukitan sekitar.

Setelah melewati kota Ezina, Marco pergi ke kota Karakorum yang lebih besar [Lembah Orkhon; dekat Kharkhorin, Mongolia], yang kira-kira kelilingnya lima kilo meter, dan seperti yang pernah dia dengar, tempat ini  dulu adalah ibu kota sang penakluk Tartar dari Cina. Kota itu berdiri di tempat yang sangat indah. Sebuah sungai yang indah mengalir di dekat temboknya, di tepinya terdapat tenda yang tak terhitung jumlahnya, yang ditempati oleh suku Tartar yang berkeliaran, yang lebih menyukai hidup di pinggiran daripada tinggal di kota itu sendiri. Tidak jauh dari situ ada pegunungan; Marco dapat melihat dari jauh, banyak kastil megah tempat kebanggaan para bangsawan Tartar pernah tinggal.

Di Karakorum itulah Marco untuk pertama kalinya mendengar kisah indah sang penakluk bernama Jenghis KHAN, kepala suku Tartar yang perkasa dan keturunannya, Kubilai KHAN, yang pada saat itu memerintah di Cathay. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap kisah-kisah yang dituturkan oleh beberapa penduduk asli kenalannya, cerita tentang pertempuran hebat di mana Jenghis KHAN menggulingkan tiran yang angkuh, Prester John, dan merebut kekuasaan atas semua wilayah sekitarnya. Jenghis KHAN, tampaknya, pernah meminta Prester John untuk memberikan putrinya untuk dijadikan istrinya; namun Prester John membalas dengan penolakan yang sangat angkuh. “Siapa Jenghis KHAN ini,” Prester John berseru, “Ia hanyalah anjing dan budakku! Pergi dan beritahukan bahwa aku lebih memilih membakar putriku menjadi abu daripada memberikan kepadanya. Katakan padanya dia adalah anjing dan pengkhianat!” Jenghis KHAN sangat marah ketika dia mendengar pesan yang menghina ini, dan bersumpah bahwa dia akan merendahkan harga diri Prester John sampai menjadi debu. Dengan segera ia mengumpulkan pasukan besar Tartar, dan mengirim pesan kepada Prester John untuk mempertahankan dirinya sebaik mungkin. Lalu Jenghis menyerbu wilayah musuhnya, dan di dataran Tenduc yang indah [Hulunbuir, Mongolia/Cina] berperang dengan pasukan Prester John dan itu adalah konflik yang mengerikan. Pertempuran berkecamuk hebat selama dua hari; dan  dimenangkan oleh sang penyerbu. Prester John tewas di wilayah kekuasaannya; dan Jenghis KHAN menyerbu kerajaannya tanpa perlawanan berarti. Demikianlah kisah orang-orang Tartar menguasai seluruh Cina, dari gurun besar sampai laut timur; dan di mana-mana, tempat Marco sekarang berada, dapat terlihat sisa-sisa perang dan kemenangan mereka. Selama ekspedisinya, Marco melihat dan mendengar banyak hal menarik tentang orang Tartar. Dia menemukan bahwa ke manapun dia pergi, mereka memiliki kebiasaan hidup di sisi pegunungan di musim panas, dan di lembah yang cerah dan berair baik di musim dingin. Mereka dapat memindahkan tempat tinggal mereka dengan mudah, karena tenda yang mereka tinggali terbuat dari kain wol, dan dapat dengan mudah dibawa dari satu tempat ke tempat lain karena sangat ringan. Mereka begitu percaya takhayul sehingga mereka selalu menempatkan pintu tenda ke arah Selatan, karena penempatan pintu ke arah lain adalah pertanda buruk. Orang-orang Tartar hanya berburu dan berperang; istri mereka melakukan semua pekerjaan rumah, berdagang, juga mengolah ladang. Makanan mereka terutama dari susu dan hewan buruan yang mereka bawa dari hutan dan ladang; meskipun terkadang Marco menemukan mereka juga makan daging unta dan anjing.

Setiap pria Tartar memiliki banyak istri, tetapi mereka selalu menjunjung tinggi istri yang pertama mereka nikahi. Suami dan istri sangat setia satu sama lain, dan pernikahan selalu menjadi kesempatan berkumpul dan pesta besar-besaran. Setiap keluarga Tartar memiliki patung sembahannya sendiri, yang dibuat dari kain; dan menurut Marco lebih mirip boneka yang aneh, berhala. Boneka sesembahan itu ditempatkan di sebuah ruangan kecil yang terpisah, dan di sampingnya ada boneka-boneka yang lebih kecil, yang mewakili istri dan anak-anaknya. Sebelum keluarga itu makan, mereka mengolesi mulut patung itu dengan daging berlemak, dan meletakkan beberapa potong roti di kakinya.

Orang Tartar yang lebih kaya, menurut pengamatan Marco, seringnya mengenakan jubah sutra dengan pinggiran emas, dan mantel yang terbuat dari bulu-bulu yang indah. Tiap prajurit memiliki tongkat, pedang, dan busur beserta anak panah, dan mereka sangat ahli menggunakan yang terakhir. Ketika mereka pergi berperang, mereka mengenakan jubah kulit kerbau tebal yang berfungsi sebagai baju perang.

Pada suatu hari, ketika Marco sedang dalam perjalanan, ia menerima pesan dari ayahnya yang mengatakan bahwa perang telah berakhir, dan mendesaknya untuk segera kembali ke Campicion, agar mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka. Maka dia pun bergegas kembali, dan begitu tiba, rombongan bersiap berangkat melanjutkan perjalanan. Mereka tertahan di Campicion sekitar hampir setahun; tak heran jika mereka begitu lelah dengan perjalanan panjang ini.

Dalam perjalanannya, para penjelajah melihat dampak dari perang yang ganas. Di beberapa tempat, seluruh desa  rata dengan tanah; di tempat lain, terlihat kota-kota yang terbakar separuhnya, sungguh menunjukkan sifat keganasan perang. Akhirnya kini mereka dapat melihat kembali daerah yang menyenangkan dan berkembang, ketika mereka berada di dataran indah Tenduc [Hulunbuir, Mongolia/Cina], dulu tempat  terjadinya pertempuran besar antara Jenghis KHAN dan Prester John. Di sini Marco terkejut mengetahui bahwa sebagian besar penduduknya adalah orang Kristen; dan dia melihat sendiri bahwa mereka sangat rajin, mereka adalah petani yang makmur dan pengrajin yang terampil. Ini adalah negara yang konon, pernah diperintah oleh dua raksasa perkasa, bernama Gog dan Magog. Marco mendengar dengan gembira bahwa hanya beberapa hari perjalanan dari Tenduc mereka akan sampai ke tempat di mana akhirnya matanya akan dipuaskan dengan melihat Kubilai KHAN Yang Agung. Para pengembara akhirnya sampai di Cathay, dan akhir pengembaraan panjang mereka kian dekat. Mereka telah mengetahui bahwa Kubilai KHAN berada di istana musim panasnya di Shandu [Xanadu, sekarang Shangdu], di bagian utara wilayah kekuasaannya; dan karena itulah mereka melanjutkan perjalanan mereka ke sana. Nicolo tahu betul bahwa mereka akan disambut dengan sangat hangat ketika mereka datang ke hadapan sang penguasa Tartar; karena ketika dia berada di Cathay sebelumnya, dia merasa sulit pergi meninggalkan istana KHAN.

Semakin mendekati tempat tujuan, orang-orang Venesia ini melewati wilayah negara  yang semakin padat, kota-kota lebih besar dan lebih makmur; sampai suatu pagi mereka tiba di sebuah tempat megah bernama Cianganor, di sana terdapat istana megah dan taman luas milik KHAN yang  hanya ditempuh dalam tiga hari perjalanan dari Shandu; Nicolo memutuskan untuk tinggal di sini sampai dia mengirim utusan ke Kubilai KHAN untuk memberitahukan kunjungan mereka, dan menanti jawaban. Mereka tak perlu menunggu lama; dalam seminggu utusan mereka telah kembali, dengan iring-iringan meriah yang begitu banyak yang dikirim oleh KHAN untuk mengawal orang-orang Venesia ke istananya. Pada saat yang sama, KHAN memberi kabar bahwa ia tak sabar menunggu kedatangan mereka.

Tanpa membuang waktu, segeralah mereka berangkat menuju Shandu, jalan yang terbentang melalui wilayah yang penuh keramahan dan pemukiman yang padat. Pada hari ketiga, sekitar tengah hari, mereka tiba di dekat istana luas, tempat tinggal KHAN sementara, sebagai kediaman musim panasnya, dan di luarnya terbentang berkilo-kilo meter tempat berburu, karena KHAN menikmati kegiatan berburu yang menantang. Ketika para pengembara itu mendekat, mereka melihat banyak sekali penunggang kuda datang ke arah mereka; dan segera salah satu pengawal mereka berseru bahwa KHAN sendiri ada di sana. Marco dengan bersemangat memfokuskan matanya ke arah orang-orang yang datang mendekat; segera dapat terlihat seekor gajah besar di tengah-tengah para penunggang kuda, yang di punggungnya berhiaskan kanopi sutra dan emas yang berkilauan. Di sanalah KHAN hadir untuk menyambut tamunya.

Begitu jarak semakin dekat, KHAN turun dari gajahnya, begitu pula Polo dan rombongan mereka melompat dari kuda mereka. Nicolo, Maffeo dan Marco maju ke arah raja dengan kepala tertunduk, dan menjatuhkan diri di kakinya sebagai penghormatan. Kubilai dengan lembut mengangkat saudara-saudara itu, dan dengan hangat memeluk satu, dan kemudian yang lain.

Kubilai Khan menerima rombongan Marco Polo

“Orang Venesia yang baik,” katanya, “saya sangat senang melihat kalian. Selamat datang kembali di Cathay. Kalian telah menepati janji untuk berkunjung kembali, dan saya berterima kasih kepada kalian semua. “Tapi siapa dia?” dia bertanya, menoleh ke arah Marco, ” Siapa anak muda ini?”

“Tuan,” jawab Nicolo. “Dia adalah pelayan engkau Yang Mulia, dia adalah anakku.”

KHAN memandang Marco dari kepala sampai kaki, dan maju ke arahnya, tersenyum sangat ramah.

“Kalau begitu,” katanya, “putramu juga diterima. Aku sangat senang dengannya.”

Akhirnya ketiga keluarga Polo kembali berkuda di sisi KHAN sampai mereka mencapai istana. Malam itu KHAN mengadakan pesta besar untuk menghormati kedatangan para penjelajah; di malam itu, Polo mendapatinya tidur dengan mewah di beberapa ruangan kamar terbaik yang diberikan istana kekaisaran.

Leave a Comment

error: Content is protected !!