Bab 8: Marco Polo saat berada di tengah bangsa Tartar

Minggu 15

Marco telah terbiasa dengan lingkungan barunya sebelum ia tinggal di istana KHAN selama setahun; ia berprinsip untuk membuat rasa kenyamanan sebisa mungkin di manapun ia berada walaupun tidak tinggal di kampung halamannya, Italia. Dia mempelajari bahasa tersebut dengan sungguh-sungguh agar dapat berkomunikasi dengan mudah, dia juga belajar banyak hal yang memenuhi rasa keingintahuannya yang begitu banyak tentang Cathay. Tidak pernah bosan ia bertanya, dan mencari orang-orang terpelajar, terkemuka yang  bersedia membantu memuaskan rasa ingin tahunya.

Kini Marco tidak lagi memakai pakaian Venesia-nya, seperti ayah dan pamannya, ia mengenakan kostum adat Tartar; tampak aneh terlihat, tunik longgar, sorban kecil, dan sepatu terbuka, warna kulitnya jauh lebih terang daripada muka orang-orang di sekelilingnya. Dia juga telah mengadopsi cara hidup orang Tartar; bukan dengan memisahkan diri tetapi malah menjadikan dirinya hidup sebagai salah satu di antara para abdi dalem.

 Semakin dia mengamati Kubilai KHAN, semakin dia mengetahui metode KHAN mengatur kerajaannya yang luas, dan membuatnya semakin kagum pada raja yang penuh semangat dan baik hati itu. Dia memperhatikan setiap kali ada badai besar, banjir, atau bencana lainnya, KHAN langsung mengirim utusan ke distrik-distrik tempat bencana itu terjadi, untuk mencari tahu apakah pertanian sawah ladang hancur; dan jika memang kerusakannya parah, KHAN tidak hanya membebaskan korban bencana dari pungutan pajak untuk tahun itu, tetapi juga membagikan makanan di antara mereka dari  lumbung simpanannya sendiri yang berlimpah.

KHAN, di masa panen berlimpah, selalu mengisi gudangnya agar dipenuhi gandum; sehingga saat masa paceklik terjadi, dia memerintahkan agar gandum ini dijual kepada rakyat jelata dengan harga sepertiga atau seperempat dari harga biasanya. Orang-orang miskin Kambalu [atau Khanbaliq; Beijing modern] terus-menerus mendapatkan makanan dari belas kasih KHAN yang begitu murah hati; bahkan pengemis yang paling rendah pun tidak pernah diusir dari pintu istana. Bahkan, KHAN tidak hanya menyediakan makanan bagi yang lapar, tetapi juga mengganti pakaian yang compang-camping itu. Benang-benang sutera, rami, dan wol yang dikumpulkannya sebagai bagian dari upeti kaisar, dibuat menjadi kain di sebuah bangunan dalam istana; dan kain-kain ini diubah menjadi pakaian yang nyaman, dan diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang membutuhkan. Raja yang baik juga memperhatikan infrastruktur wilayahnya, dibuatnya jalan raya yang luas yang mengarah dari setiap bagian wilayah kekuasaannya menuju ibu kota. Dia juga tidak puas hanya dengan membangun jalanan; dia juga memperhatikan perlunya ditanam pepohonan tinggi, di kedua sisi jalan, agar bayangan pepohonan itu dapat memberi keteduhan bagi pengembara yang lelah itu dalam perjalanannya, dan untuk penunjuk arah ke tempat tujuan. Bila tanah terlalu sulit ditanami pepohonan, KHAN mendirikan tumpukan batu-batu tinggi didirikan di setiap beberapa interval. Selain itu di jalan raya ini, setiap jarak delapan dan tiga puluh dua kilometer, didirikan semacam pos, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan baik bagi para utusan KHAN, maupun bagi para pengembara. Rumah-rumah ini sering kali cukup luas dan memiliki perabotan mewah, banyak kuda dipelihara di kandang, agar siap digunakan kapan saja.

Sang KHAN tidak pernah takut hartanya akan habis; karena dia memiliki kekuatan penuh dan dengan bebas menggunakannya, untuk menghasilkan uang sebanyak yang dia inginkan. Yang dia lakukan adalah menggunakan lapisan kulit pohon tertentu yang dipotong menjadi potongan-potongan kecil, kemudian dicap dengan segel kerajaan; dan dengan demikian KHAN memiliki persediaan dana yang cukup. Hal ini mungkin menjadi sistem alat tukar dengan menggunakan uang kertas yang paling pertama diketahui. Marco sangat terkejut melihat orang Tartar membakar bongkahan “batu hitam” bukan kayu, di perapian mereka; karena dia belum pernah melihat atau mendengar tentang batu bara di Eropa. Tidak ada yang lebih menarik di istana itu bagi Marco selain banyaknya  astrolog dan penyihir di sana, mereka sangat dijunjung tinggi oleh KHAN dan semua pelayan istana. Orang-orang tetua ini memiliki janggut yang sangat panjang dan memiliki wajah yang bijaksana penuh ketenangan, didukung dengan  sponsor dana dari KHAN, mereka terus mengulik dan mempraktikkan seni misterius mereka. Para astrolog ini mempelajari bintang-bintang, mereka memiliki banyak instrumen aneh untuk tujuan ini; lewat posisi dan arah benda-benda langit, mereka meramalkan cuaca dan banyak peristiwa lainnya. Ketika mereka membuat ramalan, ditulisnya pada tablet kecil, dan dijual kepada semua orang yang ingin mengetahui masa depan. Ketika seorang bangsawan berencana pergi ke tempat yang jauh dan ingin mengetahui apakah dia akan menghadapi badai, dan akankah tujuan perjalanannya beroleh keberhasilan, ia pergi menemui seorang peramal untuk dibacakan masa depan, dan membayarnya untuk itu.

Marco senang menghadiri upacara-upacara keagamaan dengan penuh rasa keingintahuan, mengamati adat-istiadat keagamaan di kuil-kuil. Ia memperhatikan bahwa setiap orang Tartar memiliki sebuah tablet kecil dengan nama “Buddha” yang terukir dengan huruf besar yang dipasang di dinding salah satu kamarnya. Setiap pagi orang Tartar dan keluarganya berdoa di depan tablet ini. Mereka bersujud di tanah, mengangkat tangan, dengan gerakan cepat-cepat memukul dahinya, kemudian membakar dupa untuk menghormati dewa mereka. Di pelataran bawah di bawah tablet itu, berdiri patung dewa yang lebih rendah tingkatannya, dewa yang bertugas mengurus urusan duniawi para penyembah Buddha, dewa yang kepadanya doa orang Tartar panjatkan untuk cuaca yang baik, hasil panen yang baik, dan kesehatan. Orang Tartar percaya bahwa begitu seseorang meninggal, jiwanya menghuni tubuh baru; bila seorang pria miskin yang telah berbuat baik selama hidup ini, akan terlahir kembali sebagai seorang pria terhormat, atau mungkin seorang bangsawan; tetapi sebaliknya, seorang pria berlaku yang jahat saat hidupnya, setelah mati akan menjadi petani, dan setelah itu menjadi anjing atau serigala.

Semakin Marco bergaul dengan orang Tartar, semakin dia menghormati dan menyukai mereka. Dia senang dengan sikap sopan dan lembut mereka; dia menyukai wajah mereka yang ramah dan murah senyum; Marco memperhatikan kebersihan dan perawatan apa yang orang Tartar makan; dan melihat bahwa anak-anak selalu memperlakukan orang tua mereka dengan hormat dan rendah hati, ada hukuman bagi anak yang memberontak terhadap otoritas orang tua, dan itu sangat berat.

KHAN begitu dihormati, dikagumi  dan dipatuhi rakyatnya, kepatuhan yang absolut. Saat siapa pun datang dalam jarak setengah mil dari tempat KHAN berada, dia segera mengambil wajah yang sangat tenang, maju perlahan dengan lembut, berbicara dengan suara tenang; ketika mencapai pintu gerbang istana, dari sakunya ia mulai mengeluarkan sepasang buskin (sepatu boot_kuno) yang terbuat dari kulit lembut untuk mengganti sepatunya. Saat memasuki istana, dia telungkup di atas karpet, dan tidak mengangkat kepalanya sampai dia mendapat izin dari KHAN untuk melakukannya.

Akhirnya segera tiba waktunya bagi Marco harus meninggalkan kehidupan mewah  dan santai yang telah lama ia jalani, untuk terlibat dalam pelayanan yang aktif untuk KHAN, dan pelayanan ini cukup berbahaya. Segala sesuatu tentang istana dan kota telah membuatnya senang dan waktu untuk menikmatinya berlalu dengan cepat di tengah begitu banyak kisah unik serta begitu banyak pertunjukan dan atraksi yang brilian. Dia hampir tidak bisa percaya betapa waktu berjalan begitu cepat; hampir lupa bahwa kehadirannya di Cathay adalah untuk tujuan yang lebih serius daripada berjalan-jalan dan bermimpi di antara lingkungan yang indah sekaligus mencengangkan itu. Saatnya tiba bagi Marco untuk bangkit berdiri melakukan kegiatan aktif, dan melakukan sesuatu untuk menunjukkan rasa terima kasihnya atas semua kemurahan hati, keramahan dan kebaikan KHAN, ia sama sekali tidak menyesal; Marco memang memiliki watak petualang, dan paling bahagia ketika terlibat dalam tugas yang menantang.

 Minggu 16

Suatu ketika di sore hari, Marco sedang bersantai di tempat tinggalnya, datang seorang pekerja istana masuk, menjemput dan mengantar Marco ke hadapan sang KHAN. Kubilai sedang bersantai di dekat air mancur di salah satu halaman istana yang teduh. Budak yang berwajah gelap mengipasinya dengan kipas burung merak, saat raja berbaring di bantal lembut, dan sesekali meneguk minuman dingin dari piala emas. Di sisinya terbaring, dalam sikap pasif, dua istri mudanya yang cantik, mengenakan kostum yang ringan tapi sangat mewah, telinga, leher, dan lengan mereka berkilau dengan banyak permata. Di sekitar KHAN berdiri sekelompok abdi dalem dan pelayan; sementara di sudut-sudut halaman, penjaga bertubuh sangat besar dan berwajah garang mengawasi keselamatannya.

Marco mendekat dan memberi hormat seperti biasa kepada raja. Kubilai, bersandar dengan siku tangannya dan memberi isyarat kepada Marco untuk mendekat dan berdiri di sampingnya; karena KHAN berkata bahwa dia ingin mengatakan sesuatu kepadanya.

“Orang Venesia,” Kubilai berkata, “Saya telah membuat Anda sangat disambut di istana saya, dan telah menemukan kesenangan di hadapan Anda. Keberadaanmu menyenangkan di mata saya ketika saya pertama kali melihat Anda; dan sejak itu, Anda berusaha berperilaku dan beradaptasi dengan baik, hal ini  membuat dirimu memenangkan  kepercayaan dan rasa kagum saya. Saya percaya padamu, dan percaya bahwa Anda berkeinginan untuk mengabdi kepada saya. Bukankah begitu?”

Marco menjawab bahwa dia memang merindukan kesempatan untuk menunjukkan kepada KHAN betapa dia bersyukur atas semua yang telah dilakukan KHAN untuknya.

“Kesempatan seperti itu sekarang telah muncul,” lanjut sang KHAN. “Ada urusan besar yang harus dilakukan di provinsi barat dan selatan. Mereka terganggu, dan orang-orang ini tidak mengerti kepedulian kebapakan saya atas mereka. Saya harus mengirim seseorang ke sana untuk berunding dengan mereka, dan menjelaskan cara saya bekerja; seseorang yang akan membujuk mereka untuk tunduk, dan meyakinkan mereka bahwa mereka pasti akan mendapat keadilan dan perlindungan. Tugas ini, orang Venesia, saya berikan untuk Anda.”

“Tidak ada yang lebih menyenangkan untuk saya selain melakukan titah itu. Saya berterima kasih kepada Yang Mulia atas kepercayaan yang Anda berikan kepada saya.” kata Marco

“Perjalananmu akan panjang, dan mungkin berbahaya. Rakyatku di bagian-bagian yang jauh dari istanaku tidak mudah diatur. Terkadang mereka memberontak. Selain itu, gunung-gunung penuh dengan perampok, yang berani menyerang utusan kerajaan sekalipun. Tetapi Anda adalah pemuda yang berani dan aktif, dan bahaya tidak dapat menakuti Anda. Anda akan pergi dengan penjagaan yang baik; saya akan memberi perintah agar Anda hadir sebagai utusan terpilih dari KHAN Agung.

 Marco sama sekali tidak kecewa dengan tantangan di depannya. Segera setelah diputuskan, dia sudah tak sabar untuk memulai perjalanannya, dan menghadapi kemungkinan bahaya yang telah dikatakan oleh KHAN. Mulanya ayah Marco tidak menyetujui dia pergi. Ada rasa takut jikalau ia tak akan pernah melihat putranya lagi. Tapi Nicolo tahu bahwa perintah Kubilai KHAN adalah hukum; dan bahwa, betapapun baiknya dia selama ini, KHAN sangat tegas terhadap apa yang menjadi keinginannya, sehingga ketika itu diungkapkan, hal tersebut harus dipatuhi semuanya, tanpa bantahan.

Tak lama, persiapan keberangkatan Marco selesai. Dia dikawal oleh banyak tentara, semuanya bersenjata lengkap; dan disertai oleh sekelompok pelayan, sebagai tanda tingkatan dan posisi Marco sebagai orang dekat KHAN.

Di hari keberangkatannya, Marco mengenakan kostum Tartar, ikat pinggangnya dipersenjatai dengan pedang dan belati, dan kudanya yang sehat dan ramping dari istal kerajaan, ia mengucapkan selamat tinggal di tengah-tengah istana, lalu menerima instruksi terakhir dari salah satu mentri utama, kemudian undur diri menuju ke pesanggrahan ayahnya untuk memeluk Nicolo dan Maffeo untuk terakhir kalinya. Percakapan yang mengharukan pun selesai, dia menaiki kudanya, dan ditemani oleh pengawal-pengawalnya yang muncul dari gerbang istana, kemudian menyeberangi sungai, berjalan santai melalui jalanan Kambalu yang luas.

 Segera sesampainya di hamparan lahan terbuka di  pinggiran kota, Marco segera memacu bergerak lebih cepat. Setelah berjalan sekitar sepuluh mil, tibalah ia di sebuah sungai, yang jauh lebih lebar dan airnya lebih deras daripada sungai yang mengalir di bawah tembok istana. Saat mendekati tepi sungai, dia melihat di hadapannya sebuah jembatan terbaik yang pernah dilihatnya. Jembatan itu dibangun dari batu, dan memiliki dua puluh empat lengkungan yang ditahan oleh penopang besar yang tertanam di sungai. Di salah satu ujungnya ada tiang marmer yang tinggi, di sekeliling kakinya ada beberapa patung singa yang diukir dengan rapi. Saat dia menyeberangi jembatan, Marco melihat bahwa sepuluh penunggang kuda dapat dengan mudah melewati jembatan. Setelah semua kemegahan yang ia lihat di Cathay, Marco tetap dapat terkagum-kagum melihat sebuah karya seni yang sangat bagus seperti jembatan ini.

Melanjutkan perjalanannya, Marco melewati negara yang kaya dan berkembang, tanahnya subur, pemandangannya menawan, dan orang-orangnya rajin juga cekatan. Dia mencapai kota-kota dan desa-desa yang hidup dari perdagangan, pabrik sutra dan kain linen; dia melewati ladang gandum yang luas, dan di bawah jalan-jalan pepohonan yang membentang jauh di atas perbukitan. Di dataran tinggi tampak istana-istana yang megah dan dilindungi oleh menara dan tembok tinggi, mirip istana yang biasa dia lihat di Venesia; dan kebun-kebun anggur memenuhi lereng bukit sampai ke dasarnya. Terkadang Marco melewati kota-kota besar, penuh dengan populasi penduduk yang padat, dan semuanya hidup dari produksi dan perdagangan: barisan unta dan gerobak  keluar masuk dari gerbang yang tinggi, kuil yang menjulang tinggi di atas pemukiman penduduk begitu banyak. Di pasar, pameran besar diadakan; dan Marco tidak mampu menahan diri untuk berkomentar betapa cerdas dan lihainya ras pedagang Tartar ini. Dia memanfaatkan setiap kesempatan untuk bercakap-cakap dengan para pedagang, para peramal, dan dengan tuan tanah penginapan tempat dia tinggal. Dia menikmati kisah-kisah negara yang dia lewati, begitu pula dengan tata krama dan adat istiadat masyarakatnya, dan bermacam anekdot tentang peristiwa di berbagai lingkungan sekitar.

 Suatu sore dia berhenti di sebuah kota besar bernama Pianfu, menikmati suasana tenang setelah makan malam dan berbicara dengan salah satu penduduk setempat. Di bukit sekitar dua mil jauhnya dia mengamati sebuah istana yang sangat luas dan tua. Bertanyalah ia kepada temannya tentang tempat itu.

“Itu adalah istana Cayafu,” jawabnya, “dan ada cerita menarik tentang seorang raja yang baik yang pernah tinggal di sana.”

Marco senang mendengarkan cerita-cerita yang tampaknya tersimpan di benak semua orang Tartar, dan memohon kepada rekannya itu untuk menceritakan kisah Cayafu.

“Dulu,” kata penduduk asli, “raja wilayah ini, yang bernama Dor, berperang dengan Prester John yang terkenal. Negara itu diserbu oleh Prester John, tetapi Dor begitu kuat dan kokoh sehingga musuh tidak bisa menangkapnya. Prester John sangat jengkel, dia pikir seharusnya menaklukkan Dor adalah hal yang paling mudah di dunia; tapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tujuh orang pelayannya, melihat kemarahan tuan mereka, menghadapnya dan berkata, jika ia mau, mereka akan membawa Dor ke tendanya hidup-hidup. Prester John mendengarkan dengan tidak percaya, tetapi tetap mengizinkan mereka untuk mencoba taktik yang mereka usulkan. Mereka menyamar dan mendapatkan akses ke kemah Dor. Membawa diri mereka ke hadapan raja, lalu mengajukan diri untuk menjadi pelayan raja. Dor menerima mereka dengan sambutan hangat, dan memberi mereka tempat. Hubungannya menjadi erat antara kedua pihak, Dor belajar untuk mempercayai mereka sepenuhnya. Para pengkhianat ini terus mengintai dan menunggu hingga kesempatan mereka tiba. Setelah beberapa lama, kesempatan itupun datanglah . Suatu hari saat Dor mengadakan perjalanan singkat di luar perkemahannya; dan bersamanya pergilah ketujuh orang ini. Rombongan itu menyeberangi sungai yang lebar dan memasuki hutan lebat. Menyadari bahwa raja saat itu telah terpisah dari pasukan utama raja, para penjahat itu menyerang beberapa pengawal yang tersisa, menyerang satu demi satu hingga tewas di tanah, kemudian dengan kasar menangkap Dor yang dermawan.

 “‘Apa artinya ini, anak-anakku?’ seru Dor, kaget. ‘Apa yang akan kamu lakukan padaku? Apakah aku telah menyinggungmu?’

“‘Kami akan membawa anda ke tuan kami Prester John!’

Dor, mendengar hal ini, menutupi wajahnya dengan tangannya dan berseru: ‘Betapa saya telah tertipu! Mengapa, anak-anakku, bukankah saya menyambut dan menghormati kalian seperti saudara? Mengapa kau ingin menyerahkanku ke tangan musuh bebuyutanku?’

“Mereka tidak menjawab apa-apa, lalu mengikatnya ke atas kuda, dengan cepat menerobos hutan, melaju kencang menuju perkemahan Prester John. Prester John terkejut sekaligus bergembira melihat musuhnya ada di dalam genggamannya. Prester berjalan ke arah Dor dengan kasar, dia berseru:

“‘Akhirnya kamu tertangkap. Sekarang akui bahwa kamu tidak setara untuk berperang melawanku.’

“Dor membungkuk dengan rendah hati dan menjawab: “‘Saya tahu betul, tuanku, bahwa saya tidaklah sekuat anda. Saya menyesal telah mengangkat senjata melawan tuan, dan di masa depan saya akan berlaku sebagai teman setia anda.’

“Prester John memang seorang pejuang yang gagah namun ia tidak keras hati. Mendengar kata-kata lembut ini keluar dari bibir tahanan kerajaannya, dia pun bangkit dan memeluknya.

‘Bergembiralah, saudaraku,’ katanya; ‘Aku tidak akan mempermalukanmu lebih jauh lagi, tetapi akan memberimu harga diri dan persahabatanku.’

“Akhirnya Prester John menyediakan Dor pengawalan kavaleri yang luar biasa, dan setelah menjamu selayaknya bagi seorang raja, Prester John dengan suka cita mengantarkan Dor kembali ke kastil Cayafu. Sejak saat itu Dor dan Prester John menjadi sahabat, dan bertempur berdampingan dalam banyak pertempuran sengit dengan musuh bersama mereka.”

Marco sangat tertarik dengan cerita ini, dan menganggap kisah ini sangat mirip dengan cerita  yang juga sering kali terjadi pada raja-raja di Eropa.

Leave a Comment

error: Content is protected !!