Aku telah memberitahumu tentang seorang pahlawan yang berperang melawan binatang buas dan manusia liar. Sekarang aku memiliki kisah tentang pahlawan yang berlayar ke negeri yang jauh, yang membuat diri mereka terkenal selamanya, dalam petualangan Bulu Domba Emas.
Ke mana mereka berlayar, anak-anakku, aku tidak tahu dengan jelas. Itu semua sudah lama terjadi, begitu lama sehingga semuanya menjadi redup, seperti mimpi yang kau impikan tahun lalu. Dan mengapa mereka pergi aku tidak tahu, beberapa mengatakan bahwa itu untuk memenangkan emas. Mungkin begitu, tetapi perbuatan termulia yang telah dilakukan di bumi tidak dilakukan demi emas. Bukan demi emas Tuhan turun dan mati, dan para Rasul pergi untuk memberitakan kabar baik di semua negeri. Orang Sparta tidak mencari imbalan berupa uang ketika mereka bertempur dan mati di Thermopyla, dan Socrates yang bijak tidak meminta bayaran dari orang-orang sebangsanya, tetapi hidup miskin dan bertelanjang kaki sepanjang hari, hanya memikirkan untuk membuat manusia menjadi baik. Dan ada juga pahlawan-pahlawan di zaman kita yang melakukan perbuatan mulia, tetapi bukan demi emas. Para penjelajah kita tidak pergi untuk membuat diri mereka kaya ketika mereka berlayar satu demi satu ke lautan beku yang suram, begitu pula para wanita yang keluar tahun lalu untuk bekerja keras di rumah sakit di Timur, menjadikan diri mereka miskin agar mereka kaya dalam pekerjaan mulia. Dan juga para pemuda yang kau kenal, anak-anak, beberapa dari kerabatmu sendiri, apakah mereka berkata pada diri mereka sendiri, “Berapa banyak uang yang akan saya peroleh?” ketika mereka pergi berperang. Meninggalkan kekayaan, kenyamanan, dan rumah yang menyenangkan serta semua yang dapat diberikan uang, untuk menghadapi kelaparan dan kehausan, luka dan kematian, agar mereka dapat berperang demi negara dan Ratu mereka? Tidak, anak-anak. Ada hal yang lebih baik di bumi daripada kekayaan, hal yang lebih baik daripada kehidupan itu sendiri. Dan itu adalah melakukan sesuatu sebelum kau mati, yang karenanya orang-orang baik akan menghormatimu, dan Tuhan tersenyum atas pekerjaanmu.
Oleh karena itu kita akan percaya–mengapa tidak?–pada para Argonaut di masa lalu, bahwa mereka juga adalah orang-orang mulia, yang merencanakan dan melakukan perbuatan mulia. Dan karena itu kemasyhuran mereka terus hidup, diceritakan dalam cerita dan lagu, tidak diragukan lagi bercampur dengan mimpi dan dongeng, namun tetap benar dan baik di hati. Jadi kita akan menghormati para Argonaut tua ini, dan mendengarkan kisah mereka sebagaimana adanya. Kita akan berusaha menjadi seperti mereka, setiap kita di tempat kita masing-masing. Karena masing-masing dari kita memiliki Bulu Domba Emas untuk dicari, lautan liar untuk diarungi sebelum kita mencapainya, dan naga untuk dilawan sebelum Bulu Domba Emas menjadi milik kita.
Dan apakah Bulu Domba Emas yang pertama itu? Aku tak tahu, juga tak peduli. Hellens tua mengatakan bahwa itu tergantung di Colchis, di tempat yang kita sebut pantai Sirkasia, dipaku ke pohon beech di hutan Dewa Perang. Itu adalah bulu domba jantan menakjubkan yang membawa Phrixus dan Helle melintasi laut Euxine. Phrixus dan Helle adalah anak-anak peri awan dan Athamas sang raja Minuan. Ketika kelaparan melanda negeri itu, ibu tiri mereka yang kejam, Ino, ingin membunuh mereka agar anak-anaknya sendiri dapat memerintah. Dia berkata bahwa mereka harus dikorbankan di atas altar untuk meredakan kemarahan para Dewa. Anak-anak malang itu telah dibawa ke altar dan pendeta telah berdiri siap dengan pisaunya, ketika dari awan datang Golden Ram, membawa mereka di punggungnya dan menghilang. Kemudian kegilaan menimpa Athamas raja bodoh itu, dan kehancuran menimpa Ino dan anak-anaknya. Athamas membunuh salah satu dari anak-anak Ino dalam kemarahannya, dan Ino melarikan diri darinya dengan anak yang lain di pelukannya, lalu melompat dari tebing ke laut. Dia berubah menjadi seekor lumba-lumba seperti yang pernah kau lihat, mengembara di atas ombak tanpa henti mendesah, dengan si kecil menempel di dadanya.
Namun orang-orang mengusir Raja Athamas, karena dia telah membunuh anaknya. Dia pun berkeliaran dalam kesengsaraannya, sampai dia datang ke seorang Oracle (Peramal) di Delphi. Sang Oracle mengatakan bahwa dia harus mengembara karena dosanya, sampai binatang buas menjamunya sebagai tamu mereka. Jadi dia pergi dalam kelaparan dan kesedihan selama beberapa hari yang melelahkan, sampai dia melihat sekawanan serigala. Serigala-serigala itu sedang mencabik-cabik seekor domba, tetapi ketika melihat Athamas mereka melarikan diri dan meninggalkan domba-domba itu untuknya. Athamas memakannya dan kemudian dia tahu bahwa ramalan akhirnya terpenuhi. Jadi dia tidak mengembara lagi tetapi menetap dan membangun kota lalu menjadi raja lagi.
Golden Ram membawa kedua anak itu jauh melintasi darat dan laut, sampai dia tiba di Thracian Chersonese dan di sana Helle jatuh ke laut. Jadi selat sempit ini disebut ‘Hellespont’ sesuai namanya dan masih menyandang nama itu sampai hari ini.
Kemudian domba jantan itu terbang bersama Phrixus ke timur laut melintasi laut yang sekarang kita sebut Laut Hitam, tapi orang Hellens menyebutnya Euxine. Dan akhirnya, kata mereka, dia berhenti di Colchis, di pantai Sirkasia yang curam. Di sana Phrixus menikahi Chalciope, putri raja Aietes, dan mempersembahkan domba jantan itu sebagai pengorbanan. Kemudian Aietes memaku bulu domba jantan itu ke pohon beech, di hutan Ares sang Dewa Perang.
Setelah beberapa saat Phrixus meninggal dan dikuburkan. Namun jiwanya tidak dapat beristirahat karena dia dimakamkan jauh dari tanah kelahirannya dan perbukitan Hellas yang menyenangkan. Jadi dia datang dalam mimpi kepada para pejuang Minuai, memanggil-manggil dengan sedih di samping tempat tidur mereka, “Datang dan bebaskan jiwaku, agar aku bisa pulang ke ayahku dan kerabatku juga tanah Minuan yang menyenangkan.”
Mereka bertanya, “Bagaimana kami membebaskan jiwamu?”
“Kau harus berlayar melintasi laut ke Colchis dan membawa pulang bulu emas. Jiwaku akan kembali bersamanya sehingga aku bisa tertidur bersama ayahku dan beristirahat.”
Berulang-ulang dia datang dan memanggil mereka. Namun ketika terbangun, mereka saling memandang dan berkata, “Siapa yang berani berlayar ke Colchis atau membawa pulang bulu emas?” Dan di seluruh negeri tidak ada yang cukup berani untuk mencobanya. Belum ada seseorang yang tepat di waktu yang tepat.
Phrixus memiliki sepupu bernama Eson yang pernah menjadi raja Iolcos, negeri di tepi laut. Di sana dia memerintah para pahlawan Minuan yang kaya, seperti pamannya Athamas memerintah di Boeotia. Seperti Athamas pula, dia tak bahagia. Dia memiliki saudara tiri bernama Pelias, yang konon dikatakan bahwa dia adalah anak seorang Nimfa, dan ada kisah kelam dan sedih tentang kelahirannya. Ketika masih bayi dia dibuang ke pegunungan dan seekor kuda betina liar datang menendangnya. Namun seorang gembala yang lewat menemukan sang bayi dengan wajahnya yang menghitam karena pukulan itu. Dia membawanya pulang dan memanggilnya Pelias, karena wajahnya memar dan hitam. Dia tumbuh menjadi kejam dan tak mematuhi hukum, juga melakukan banyak perbuatan yang menakutkan. Akhirnya dia mengusir saudara tirinya Eson dan kemudian saudaranya sendiri Neleus lalu mengambil kerajaan untuk dirinya sendiri, dan memerintah para pahlawan Minuan yang kaya, di Iolcos negeri tepi laut.
Ketika diusir, Eson pergi dengan sedih ke luar kota sambil menggandeng tangan putra kecilnya. Dia berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus menyembunyikan anak itu di pegunungan atau Pelias pasti akan membunuhnya, karena dialah sang pewaris.”
Dia pun naik dari tepi lautan melintasi lembah, melewati ladang anggur dan kebun zaitun, menyeberangi aliran deras Anauros, menuju gunung kuno Pelion yang beraliskan putihnya salju.
Dia naik dan naik ke gunung melewati rawa serta tebing, lalu turun sampai bocah itu lelah dan sakit kaki. Maka Eson harus menggendongnya sampai dia tiba di mulut gua yang sepi, di kaki tebing yang besar.
Di atas tebing jalinan bunga salju tergantung, menetes dan pecah di bawah sinar matahari. Namun di kaki sekitar mulut gua tumbuh semua bunga dan tumbuhan yang indah, seolah-olah di taman yang tersusun rapi sesuai masing-masing jenis. Di sana mereka tumbuh subur di bawah sinar matahari dan percikan aliran air dari atas, sementara dari dalam gua terdengar suara musik dan suara laki-laki yang bernyanyi diiringi kecapi.
Kemudian Eson menurunkan pemuda itu dan berbisik, “Jangan takut. Masuklah, dan siapa pun yang kau temukan, letakkan tanganmu di atas lututnya dan katakan, ‘Dalam nama Zeus ayah para Dewa dan manusia, aku adalah tamumu mulai hari ini.’”
Kemudian anak laki-laki itu masuk tanpa gemetar, karena dia juga anak seorang pahlawan. Namun ketika berada di dalam, dia berhenti dengan takjub untuk mendengarkan lagu ajaib itu.
Di sana dia melihat penyanyi itu berbaring di atas kulit beruang dan dahan harum Cheiron, Centaur kuno, makhluk paling bijaksana di bawah langit. Sampai ke pinggang dia adalah seorang laki-laki, tetapi di bawah dia adalah seekor kuda yang mulia. Rambut putihnya terurai di atas bahunya yang lebar, dan janggut putihnya menutupi dadanya yang lebar dan cokelat. Matanya bijak dan lembut dan dahinya seperti dinding gunung.
Di tangannya dia memegang kecapi emas dan memetiknya dengan kunci emas. Sembari memetik dia bernyanyi sampai matanya berbinar dan memenuhi seluruh gua dengan cahaya.
Dia menyanyikan kelahiran Waktu, tentang langit dan bintang-bintang menari, tentang lautan, eter, api, dan pembentukan bumi yang menakjubkan. Dan dia menyanyikan tentang harta karun perbukitan, permata tersembunyi di tambang, urat api dan logam, dan keutamaan semua tumbuh-tumbuhan penyembuh, kicauan burung, ramalan, dan rahasia-rahasia yang akan datang.
Kemudian dia bernyanyi tentang kesehatan, kekuatan, kejantanan, hati yang gagah berani, musik, berburu, gulat, dan semua permainan yang disukai para pahlawan. Tentang perjalanan, perang, pengepungan, dan kematian yang mulia dalam pertempuran. Kemudian dia bernyanyi tentang kedamaian dan kelimpahan, juga keadilan yang setara di negeri itu. Saat dia bernyanyi, anak laki-laki itu mendengarkan dengan mata terbelalak dan melupakan tugasnya karena lagu itu.
Pada akhirnya Cheiron tua terdiam dan memanggil anak laki-laki itu dengan suara lembut.
Anak laki-laki itu berlari ke arahnya dengan gemetar dan ingin meletakkan tangannya di atas lututnya, tetapi Cheiron tersenyum dan berkata, “Panggil ayahmu Eson ke sini, karena aku mengenalmu dan mengetahui semua yang telah terjadi. Aku melihat kalian berdua jauh di lembah, bahkan sebelum kalian meninggalkan kota.”
Kemudian Eson masuk dengan sedih dan Cheiron bertanya kepadanya, “Mengapa kamu tidak datang sendiri kepadaku, Eson sang Æolid?”
Dan Eson pun berkata, “Kupikir, Cheiron akan mengasihani pemuda itu jika melihatnya datang sendiri. Dan aku ingin mencoba apakah dia tak kenal takut dan berani berpetualang seperti putra pahlawan. Tapi sekarang aku mempercayakanmu atas nama Zeus, biarkan bocah itu menjadi tamumu sampai waktu yang lebih baik, dan latih dia diantara anak-anak para pahlawan, agar dia dapat merebut kembali rumah ayahnya.”
Kemudian Cheiron tersenyum, menarik pemuda itu ke arahnya, dan meletakkan tangannya di gelombang rambut emasnya sambil berkata, “Apakah kamu takut dengan tapak kudaku, anak lelaki yang tampan, atau apakah kamu akan menjadi muridku mulai hari ini?”
“Aku akan senang memiliki tapak kuda sepertimu, jika aku bisa menyanyikan lagu-lagu seperti milikmu.”
Cheiron pun tertawa dan berkata, “Duduklah di sini bersamaku sampai matahari terbenam, ketika teman bermainmu akan pulang, dan kamu akan belajar seperti mereka untuk menjadi seorang raja yang layak untuk memerintah orang-orang gagah.”
Kemudian dia menoleh ke Eson, dan berkata, “Kembalilah dengan damai dan membungkuklah sebelum badai seperti orang yang bijaksana. Anak laki-laki ini tidak akan menyeberangi Anauros lagi sampai dia menjadi kemuliaan bagimu dan keluarga Æolus.”
Eson menangisi putranya dan pergi. Namun anak laki-laki itu tidak menangis, begitu penuh khayalannya akan gua aneh itu, akan Centaur dan lagunya, juga teman bermain yang akan dia temui.
Kemudian Cheiron meletakkan kecapi ke tangannya dan mengajarinya cara memainkannya, sampai matahari terbenam rendah di balik tebing, dan terdengar teriakan di luar.
Kemudian masuklah putra para pahlawan, Æneas, Heracles, Peleus, dan banyak nama perkasa lainnya.
Cheiron yang hebat melompat dengan gembira, dan tapak kudanya membuat gua bergema saat mereka berteriak, “Keluarlah, Papa Cheiron. Keluar dan lihat permainan kami.” Salah seorang dari mereka berteriak, “Aku telah membunuh dua rusa.” Yang lainnya berseru, “Aku mengambil kucing liar di antara tebing.” Heracles yang sebesar tebing gunung menyeret seekor kambing liar di belakang tanduknya. Caeneus membawa anak beruang di bawah masing-masing lengan, dan tertawa ketika mereka mencakar dan menggigit, karena baik gigi maupun baja tidak dapat melukainya.
Dan Cheiron memuji mereka semua, masing-masing menurut keahliannya.
Hanya satu yang berjalan menjauh dan diam. Asklepios, anak yang terlalu bijaksana, dengan dada penuh tumbuhan dan bunga sementara seekor ular berbintik melingkari pergelangan tangannya. Dia datang dengan mata tertunduk ke arah Cheiron dan berbisik bagaimana dia telah menyaksikan ular itu melepaskan kulitnya yang tua dan menjadi muda kembali di depan matanya. Juga bagaimana dia pergi ke sebuah desa di lembah dan menyembuhkan orang yang sekarat dengan ramuan yang pernah dia lihat dimakan seekor kambing yang sakit.
Cheiron tersenyum dan berkata, “Untuk masing-masing anak Athena dan Apollo berikan beberapa kekuatan yang berharga sesuai tempatnya. Namun untuk anak ini mereka telah memberikan kehormatan melebihi semua kehormatan, yaitu untuk menyembuhkan sementara yang lain membunuh.”
Kemudian para pemuda itu membawa kayu, membelahnya, dan menyalakan api yang menyala-nyala. Yang lainnya menguliti rusa, memotong-motongnya, dan memanggangnya di atas api. Sementara daging rusa sedang dimasak, mereka mandi di aliran salju untuk membersihkan debu dan keringat.
Kemudian semua makan sampai mereka tidak bisa makan lagi (karena mereka tidak memakan apa-apa sejak fajar), dan minum dari mata air yang jernih, karena anggur tidak cocok untuk anak laki-laki yang sedang tumbuh. Ketika sisa-sisa telah disingkirkan mereka semua berbaring di atas kulit dan daun di sekitar api. Masing-masing mengambil kecapi secara bergantian dan bernyanyi serta bermain dengan sepenuh hati.
Setelah beberapa saat mereka semua pergi ke sepetak rumput di mulut gua. Di sana mereka bertinju, berlari, bergulat, dan tertawa sampai batu berjatuhan dari tebing.
Kemudian Cheiron mengambil kecapinya dan semua pemuda bergandengan tangan. Saat dia bermain, mereka menari mengikuti iramanya, keluar masuk dan berputar-putar. Di sana mereka menari bergandengan tangan sampai malam menyelimuti daratan dan lautan, sementara lembah hitam bersinar dengan tubuh-tubuh putih besar dan kilau rambut emas mereka.
Anak laki-laki itu menari bergembira bersama mereka, dan kemudian tidur nyenyak di atas daun salam, myrtle, marjoram, dan bunga thyme yang harum. Dia bangun saat fajar, mandi di aliran air, dan menjadi teman belajar putra para pahlawan, dan melupakan Iolcos, ayahnya, serta semua kehidupan sebelumnya. Dia tumbuh kuat, berani dan cerdik di bawah Pelion yang menyenangkan, di kerasnya udara pegunungan yang kering. Dia belajar bergulat, bertinju, berburu, dan bermain harpa. Selanjutnya dia belajar menunggang kuda, karena Cheiron tua biasa menaikannya di punggungnya. Dia mempelajari manfaat dari semua tumbuh-tumbuhan dan bagaimana menyembuhkan semua luka. Cheiron memanggilnya Jason sang penyembuh, dan itulah namanya sampai hari ini.