BAB V KANDANG DOMBA

Di malam hari, Paman Paul menyelesaikan cerita tentang para semut. Pada jam-jam tersebut, Jacques biasanya berjalan-jalan di kandang untuk melihat apakah para sapi memakan makanannya dan apakah para anak domba yang kenyang, tidur dengan nyenyak di samping para induknya.

Berpura-pura memberi sentuhan terakhir pada topi anyaman yang sedang ia buat, Jacques tak beranjak. Alasannya adalah karena ternak sapi ini menggelayuti pikirannya. Paman Paul menceritakan terperinci tentang apa yang mereka lihat pagi tadi di pohon semak beri: bagaimana para kutu tanaman ini membiarkan tetesan-tetesan gula mengalir melalui cerobong kecil mereka, dan bagaimana para semut meminum cairan sedap ini dan tahu bagaimana cara mendapatkannya, yaitu memijat para kutu.

“Yang Tuan ceritakan pada kami, ujar Jacques, menghangatkan aliran darahku. Sekali lagi kulihat betapa Tuhan menjaga mahluk-mahluknya, Dialah yang memberi kutu-kutu tanaman kepada para semut sebagaimana Dia memberi sapi kepada kita, manusia. ”

“Benar, Jacques, balas Paman, ” Hal-hal demikian menambah keimanan kita bahwa Allah Maha penyantun, tak ada satupun yang luput dari pengawasannya. Bagi orang yang berpikir, seekor lebah yang mencecap bunga atau tumpukan lumut di keramik kering yang menerima tetesan hujan, adalah saksi keagungan Ilahi.

“Mari kita kembali ke kisah yang sedang kuceritakan. Jika para sapi dibiarkan berkeliaran sesukanya di desa, lalu kita harus bersusah-payah pergi mencari  mereka dan memerah susu mereka di padang rumput yang jauh, sementara itu kita tak yakin apakah mereka berkeliaran di sana, betapa sulit pekerjaan kita, dan seringkali tidak mungkin. Bagaimana kita menangani mereka? Tentu saja dengan membuat kandang dan menempatkan mereka di lokasi yang dekat.

Hal ini pun kadang-kadang dilakukan para semut terhadap kutu-kutu tanaman. Agar tak lelah dan tak sia-sia berjalan jauh, para kutu dikumpulkan di suatu tempat. Tak semua memiliki kemampuan mengagumkan seperti ini. Selain itu sekiranya semua punya, tak mungkin membangun lapangan sangat luas untuk ternak yang sangat banyak dan lahan untuk gembalaannya. Bagaimana, misalnya, mereka dapat membuat dinding pelindung pada pohon yang tadi pagi kita amati dengan jumlah kutu hitam yang melimpah? Ada syarat yang mereka pun mampu melakukannya. Sehelai rumput yang bagian bawahnya diisi dengan beberapa kutu tanaman, cukuplah sebagai tempat para ternak.

Semut yang menemukan beberapa gerombol kutu akan mencari cara bagaimana membuat kandang, rumah, atau tempat yang terlindung dari cahaya matahari yang terlalu menyengat. Merekapun akan tinggal di sana untuk beberapa saat agar kutu mudah dijangkau dan mendapatkan susu di waktu lengang. Untuk mewujudkannya, mereka mulai dengan membersihkan tanah di bagian bawah rumput untuk menutupi bagian atas akar. Bentuk yang sedikit terbuka ini membentuk bingkai alami dimana bangunan dapat berdiri. Lalu, bulir-bulir tanah lembab di gundukkan sebutir demi sebutir membentuk kubah besar di atas pola akar dan mengelilingi batang di atas tempat yang dihuni kutu.

Lubang-lubangpun dibuat untuk kepentingan ternak. Sempurnalah pondokan ternak itu. Penghuninya nyaman di dalam menikmati kesejukan, ketenangan dan makanan yang terjamin ketersediaannya. Bahagia seperti apa lagi yang diperlukan? Para ternak tenang di dalam, di selter-selter mereka, sementara alat hisap mereka menempel pada kulit pohon. Tanpa meninggalkan rumah, para semut dapat minum susu manis dari pipa-pipa para kutu.

“Kalau begitu, kandang ternak dari lempung adalah bangunan yang tidak terlalu penting, agak mahal dan dibuat tergesa-gesa. Hembusan angin yang kuat mudah sekali menghancurkannya. Mengapa bersusah-sudah untuk membuat rumah sementara? Apakah gembala di gunung tinggi mengurusi pondokannya yang terbuat dari kayu pinus , yang bisa digunakan olehnya selama satu atau dua bulan?”

Kudengar semut tidak puas dengan mengandangkan sekelompok kecil kutu yang mereka dapati di bawah helai rumput tetapi juga membawa kutu-kutu dari tempat yang jauh. Lalu mereka membuat  kandang ternak ketika mereka tidak mencukupi di kandang yang telah ada. Kemampuan hebat mereka memprediksi tak membuatku heran, tetapi aku tak berani menegaskan, bahkan belum dapat membuktikan. Yang kulihat dengan mataku adalah kawanan ternak kutu.  Jika Jules memperhatikan dengan jeli, ia akan menemukan mereka di musim panas ini, ketika cuacanya hangat dan mereka ada di bawah daun di tanaman pot.

“Tentu, Paman, seru Jules,“  aku akan mencari mereka. Aku ingin melihat pondokan-pondokan semut-semut aneh itu. Paman belum menceritakan pada kami mengapa semut makan dengan rakus serupa itu ketika berkesempatan mendapatkan sekawanan kutu. Paman bilang para semut yang turun dari atas tanaman dengan perut-perut buncit akan membagikan makanan pada kutu-kutu yang berada di gundukan.”

“Semut pencari makan akan menikmati makanan sendiri apabila ia menemukannya; dan itu adil. Sebelum bekerja untuk orang lain ia harus mengurus dirinya. Namun setelah kenyang, ia akan memikirkan semut lain yang lapar. Di antara para manusia, anakku, tidak selalu demikian. Ada orang-orang yang, setelah cukup makan, mereka pikir bahwa semua orang lain telah makan. Orang-orang ini disebut egois. Tuhan melarang kita memiliki sifat seperti itu, yang bagi seekor semut kecii tak berharga, merupakan sifat tak terpuji!. Setelah perutnya penuh, ia akan ingat mereka yang lapar. Ia pun mengisi kantong perutnya dengan cairan makanan untuk dibawa pulang.

“Sekarang, coba lihat semut yang kembali dengan perut buncitnya. Ia mengisi begitu rupa sehingga semut lain dapat makan. Semut penambang, pemahat, dan para pekerja di kubah kota menanti agar dapat lanjut bekerja dengan semangat. Karena tugas yang telah mereka pikul, mereka tak diizinkan untuk pergi dan mencari kutu sendiri. Semut pencari makan bertemu dengan tukang kayu yang segera menjatuhkan jerami. Mulut keduanya bertemu seolah-olah tengah berciuman. Pembawa susu mengeluarkan setetes cairan dari perutnya sementara sang penerima menegak dengan semangat. Enak sekali! Lihatlah semut itu siap bekerja giat. Tukang kayu meraih jeraminya lagi dan pembawa susu melanjutkan pekerjaannya membagi-bagi makanan. Ia bertemu dengan semut lapar lain. Mulut bertemu mulut dan cairan manis dikeluarkan dan dibagikan. Semua ia lakukan kepada semua semut yang hadir hingga perutnya kosong. Ia kemudian pergi untuk mengisi perutnya lagi.

“Sekarang, kalian dapat membayangkan, bahwa untuk memberi makan sejumlah besar kawanan pekerja yang tak dapat berangkat mencari makanannya sendiri, seekor semut tidaklah cukup. Harus ada banyak sekali. Kalian lihat, di bawah tanah di celah-celah yang hangat, ada populasi semut yang lapar. Mereka semut-semut muda, keluarganya, harapan kota. Semut, seperti serangga lain dan burung, berkembang biak dari telur.

“Aku pernah,” Emile menyela, “mengangkat batu dan melihat banyak butir putih kecil yang dibawa semut-semut.”

“Bulir-bulir putih itu adalah telur-telurnya.” jawab Paman, “yang dibawa semut besar dari dasar pondokan mereka ke bawah batu agar terpapar hangat matahari dan membantu penetasan. Ketika batu diangkat, para semut besar segera membawa telur-telur itu ke bawah tanah lagi untuk membawa mereka ke tempat yang aman, jauh dari bahaya.”

“Setelah menetas, semut belum dalam bentuk sempurna yang kalian ketahui. Bentuknya seekor ulat putih kecil, tanpa kaki, sangat lemah, bahkan tak dapat bergerak. Di bukit semut terdapat ribuan ulat kecil. Tanpa henti atau istirahat, para semut berjalan ke sana ke mari membagikan makanan sehingga ulat-ulat ini tumbuh dan berkembang menjadi semut. Aku ajak kalian berpikir berapa banyak pekerjaan mereka, berapa banyak semut-semut yang harus diberi makan, dengan hanya menjaga dan memelihara semut-semut kecil yang memenuhi tempat tinggal mereka.

Leave a Comment

error: Content is protected !!