“Jika kau mengayunkan tanganmu dengan cepat di depan wajah, kau akan merasakan hembusan udara di pipimu. Hembusan ini adalah udara. Saat diam udara tidak membuat kita terkesan, tapi ketika digerakkan oleh tangan, ia mengungkapkan kehadirannya dengan kejutan ringan yang menghasilkan kesan segar. Tapi kejutan dari udara tidak selalu seperti belaian lembut. Angin bisa menjadi sangat brutal. Angin kencang yang kadang-kadang menumbangkan pohon dan meruntuhkan bangunan, masih merupakan udara yang bergerak, udara yang mengalir dari satu negara ke negara lain seperti aliran air. Udara tidak terlihat karena transparan dan hampir tidak berwarna. Namun jika membentuk lapisan sangat tebal yang dapat dilihat orang, warnanya yang lemah menjadi terlihat. Dilihat dalam jumlah kecil, air pun tampak sama-sama tidak berwarna. Ketika dilihat di lapisan yang dalam seperti di laut, di danau, atau di sungai, warnanya biru atau hijau. Sama halnya dengan udara, dalam lapisan tipis tampak tidak berwarna, dalam lapisan setebal beberapa league, warnanya biru. Bentang alam yang jauh tampak kebiruan bagi kita karena lapisan tebal udara yang berada di tengah-tengah memberikan warna tersendiri.
“Nah, udara terbentuk di seluruh bumi setebal lima belas league menjadi lautan udara atau atmosfer, di mana awan berenang. Warna biru lembutnya mewarnai langit. Sebenarnya atmosferlah yang menghasilkan penampakan kubah langit.
“Tahukah kalian, anak-anakku, apa gunanya lautan udara yang di dasarnya kita hidup seperti ikan yang hidup di air?”
“Tidak terlalu,” jawab Jules.
“Tanpa lautan udara ini kehidupan tidak akan mungkin terjadi, baik pada tumbuhan maupun hewan. Dengarkan. Yang utama dari kebutuhan mutlak kita adalah makan, minum, dan tidur. Selama rasa lapar hanyalah nafsu makan kecil yang memberi kenikmatan dari makanan yang paling kotor. Selama rasa haus hanyalah kekeringan mulut yang mulai timbul dan memberikan pesona begitu besar pada segelas air dingin. Selama kantuk tidak lebih dari kelesuan lembut yang membuat kita menginginkan istirahat malam. Selama daya tarik kesenangan yang mendorong pemenuhan akan kebutuhan primordial ini, bukannya tusukan rasa sakit. Tetapi jika pemenuhannya tertunda terlalu lama, kebutuhan ini akan memaksakan diri sebagai tuan yang tak terhindarkan dan memerintah dengan siksaan. Siapa yang bisa memikirkan tanpa kengerian akan penderitaan kelaparan dan kehausan! Kelaparan! Ah! Kalian tidak tahu apa itu, anak-anakku, dan Tuhan melindungimu dari mengetahuinya! Kelaparan! Jika kau tahu seperti apa siksaannya, hatimu akan tertekan memikirkan orang-orang yang tidak bahagia yang mengalaminya. Ah! anak-anakku terkasih, selalu bantu mereka yang lapar. Bantu mereka dan beri, beri bantuan. Kau tidak akan pernah melakukan perbuatan yang lebih mulia di dunia ini. Memberi orang miskin seperti memberi Tuhan.”
Claire meletakkan tangan di depan matanya untuk menyembunyikan air mata emosi. Dia telah mengamati kilatan di wajah pamannya yang berbicara dari lubuk hatinya. Setelah jeda sejenak, Paman Paul melanjutkan, “Namun, ada satu kebutuhan di mana kelaparan dan kehausan menjadi tak bermakna, betapapun hebatnya. Suatu kebutuhan yang selalu muncul kembali dan tidak pernah terpuaskan, yang terus-menerus membuat dirinya ada, terjaga atau tertidur, siang atau malam, setiap jam, setiap saat. Ini adalah kebutuhan akan udara. Udara sangat diperlukan untuk kehidupan sehingga kita tidak diberi kekuasaan untuk mengatur penggunaannya, seperti yang kita lakukan dengan makan dan minum. Ini untuk melindungi kita dari konsekuensi fatal yang akan ditimbulkan oleh kelupaan sekecil apa pun. Seolah-olah, tanpa kesadaran atau kemauan kita udara memasuki tubuh untuk melakukan perannya yang menakjubkan. Kita hidup menggunakan udara lebih dari apa pun, nutrisi menempati urutan kedua. Kebutuhan makan hanya dirasakan dalam selang waktu yang agak lama sementara kebutuhan udara dirasakan tanpa henti, bersifat mutlak, tak terhindarkan.
“Namun, Paman,” kata Jules, “aku tidak pernah berpikir untuk memberi makan diriku sendiri dengan udara. Ini adalah pertama kalinya aku mendengar bahwa udara sangat penting bagi kami.”
“Kamu tidak pernah memikirkannya, karena semua itu telah dilakukan untukmu. Namun cobalah sejenak untuk mencegah udara masuk ke dalam tubuh. Tutuplah jalan udara, hidung dan mulut, dan kau akan melihat!”
Jules melakukan apa yang dikatakan pamannya, menutup mulutnya dan mencubit hidungnya dengan jari-jarinya. Di beberapa waktu, dengan wajah merah dan bengkak, bocah laki-laki itu terpaksa mengakhiri eksperimennya.
“Tidak mungkin mempertahankannya, Paman, ini mencekik seseorang dan membuatnya merasa seolah-olah dia pasti akan mati jika dibiarkan lebih lama.”
“Nah, aku harap kau menjadi percaya akan perlunya udara untuk hidup. Semua hewan, dari tungau terkecil yang hampir tidak terlihat, hingga makhluk raksasa, berada dalam kondisi yang sama denganmu. Di udaralah kehidupan mereka sedari awal bergantung. Bahkan mereka yang hidup di air, ikan dan lainnya, tidak terkecuali dari aturan ini. Mereka hanya bisa hidup di air di mana ada udara menyusup dan larut. Ketika kalian lebih tua, kalian akan melihat eksperimen mencolok yang membuktikan betapa sangat diperlukannya kehadiran udara dalam kehidupan. Kalian bisa meletakkan seekor burung di bawah kubah kaca, tutup rapat di semua sisi. Lalu dengan semacam pompa udara ditarik keluar. Ketika udara ditarik dari dalam sangkar kaca, burung itu terhuyung-huyung, berjuang sejenak dalam kesedihan yang mengerikan untuk dilihat, dan terjatuh mati.
“Pasti butuh banyak udara,” komentar Emile, “untuk memenuhi kebutuhan semua manusia dan hewan di dunia. Ada begitu banyak!”
“Ya memang diperlukan jumlah yang banyak. Satu orang membutuhkan hampir 6000 liter udara per jam. Tapi atmosfernya begitu luas sehingga ada banyak udara untuk semua. Aku akan mencoba membuat kalian memahaminya.”
“Udara adalah salah satu zat yang paling halus. Satu liter beratnya hanya satu gram dan tiga desigram. Itu sangat sedikit. Volume air yang sama beratnya 1000 gram, artinya 769 kali lipat. Namun, begitu luasnya atmosfer sehingga berat semua udara yang menyusunnya melampaui kekuatan imajinasimu. Jika mungkin untuk memasukkan semua udara atmosfer ke dalam salah satu cawan timbangan yang sangat besar, menurutmu berapa berat yang perlu dimasukkan ke dalam cawan satunya agar setara dengan berat udara. Jangan takut melebih-lebihkan. Kau dapat menumpuk ribuan kilogram diatas ribuan kilogram. Walau udara sangat ringan, lautan udara sangat luas.”
“Mari kita tambahkan beberapa juta kilogram,” saran Claire.
“Itu hanya sedikit,” jawab pamannya.
“Mari kita kalikan dengan sepuluh, dengan seratus.”
“Itu tidak cukup, cawan timbangan tidak akan naik. Tapi izinkan aku memberi tahu kalian jawabannya. Karena dalam perhitungan ini istilah numerik akan mengecewakan kalian. Untuk beban besar aku mengira-ngira, beban penyeimbang terberat akan menjadi tidak signifikan. Beban penyeimbang baru harus ditemukan. Bayangkan kemudian, sebuah kubus tembaga, satu kilometer di setiap bagian. Dadu metalik yang berukuran seperempat league di sisinya ini akan menjadi satuan berat kita. Ini mewakili sembilan ribu juta kilogram. Nah, untuk menyeimbangkan berat atmosfer, perlu memasukkan 583.000 kubus ini ke dalam cawan lain!”
“Apa itu mungkin!” seru Claire.
“Seperti yang kubilang! Imajinasi dengan sia-sia berusaha menggambarkan massa yang luar biasa dari lapisan udara yang dililitkan seperti syal oleh Sang Pencipta di sekitar bumi. Sekarang tahukah kau apa hubungannya dengan bola bumi—lautan udara yang beratnya diwakili oleh setengah juta kubus tembaga berukuran seperempat league setiap sisinya ini? Sama sekali tidak seperti beludru buah persik yang tak terlihat bagi buah persik itu sendiri.”
“Lalu, apakah kita sebenarnya, makhluk lemah yang bergerak sehari-hari di dasar lautan atmosfer ini! Namun betapa hebatnya kita menggunakan pikiran untuk menimbang atmosfer dan bumi itu sendiri menjadi permainan! Sia-sia alam semesta membanjiri kita dengan kebesarannya, akal lebih unggul darinya. Karena hanya akal yang mengetahui dirinya sendiri, dan hanya akal dengan hak istimewa yang luhur, yang memiliki pengetahuan tentang penulis ilahinya.”