BAB LVII BERI BELLADONA

Kabar buruk beredar dari rumah ke rumah di desa itu. Inilah yang mereka katakan.

Hari itu mereka memasukkan Louis kecil ke dalam celana panjang pertamanya. celana itu  memiliki saku dan kancing mengkilap. Dengan kostum barunya, Louis agak canggung, tapi sangat senang. Dia mengagumi kancing yang bersinar di bawah sinar matahari, dia terus membolak-balik sakunya untuk melihat apakah ada cukup ruang untuk semua mainannya. Yang paling membuatnya bahagia adalah sebuah jam tangan timah yang selalu menandai waktu yang sama. Kakaknya yang dua tahun lebih tua, Joseph, juga sangat senang. Sekarang setelah Louis berpakaian seperti dia, tidak ada yang mencegahnya membawa Louis ke hutan ke tempat di mana ada sarang burung dan stroberi.

Mereka memiliki seekor domba yang lebih putih dari salju, dengan bel kecil yang cantik di lehernya. Kedua bersaudara itu akan membawanya ke padang rumput. Bekal makan siang dikemas dalam keranjang. Mereka mencium ibu mereka, yang menasihati mereka untuk tidak pergi terlalu jauh. ‘‘Jaga adikmu,” katanya kepada Joseph. ” peganglah tangannya dan segeralah kembali.” Mereka pun mulai berjalan. Joseph membawa keranjang, Louis memimpin domba. Dari pintu, ibu mereka melihat mereka pergi, merasa ikut senang dengan kegembiraan mereka. Sesekali anak-anak menoleh untuk tersenyum padanya, kemudian mereka menghilang di belokan jalan.

Mereka tiba di padang rumput. Anak domba itu bermain-main di atas rumput, Joseph dan Louis mengejar kupu-kupu di tengah rumpun pohon tinggi.

“Oh, ceri yang cantik!” seru Louis dengan  tiba-tiba. “Lihat betapa besar dan hitamnya mereka! Ceri, ceri! Kami akan mengadakan pesta. Mari kita pilih beberapa untuk dimakan.”

Disana terlihat ada beberapa buah beri besar berwarna ungu tua pada semak yang rendah.

‘‘Betapa kecilnya pohon ceri ini!” jawab Joseph. “Aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kita tidak perlu memanjat pohon untuk memetiknya, dan kau tidak akan merobek celana barumu.”

Louis memetik salah satu buah beri dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasanya hambar, agak manis.

“Ceri ini belum matang,” kata Louis kecil sambil meludahkannya.

“Ambil ini,” jawab Joseph, memberinya sebutir beri yang terasa sangat lembut. “Yang ini sudah matang.”

Louis mencicipinya dan memuntahkannya. 

“Tidak, mereka sama sekali tidak enak,” ulang anak laki-laki itu.

“Tidak enak, tidak enak?” kata Joseph, ”kau akan lihat.” Dia memakan satu, lalu yang lain, lalu yang lain lagi, lalu yang keempat, lalu yang kelima. Pada yang keenam ia merasa harus berhenti. Memang rasanya benar-benar tidak enak.

“Memang benar, ini belum terlalu matang. Tapi mari kita pilih beberapa, semua sama. Kita akan biarkan mereka matang di dalam keranjang.”

Mereka mengumpulkan segenggam atau dua genggam beri hitam ini, lalu mulai mengejar kupu-kupu. Ceri-ceri itupun dilupakan.

Satu jam kemudian, Simon, yang kembali dari penggilingan dengan keledainya, menemukan dua anak kecil duduk di tepi pagar tanaman, menangis keras dan saling berpelukan. Di kaki mereka, seekor anak domba sedang berbaring dan mengembik dengan sedih. Si anak yang lebih muda berkata kepada yang lain, “Joseph, bangun, kita akan pulang.” Anak yang lebih tua mencoba untuk bangkit, tetapi kakinya kesakitan dan gemetar kejang sehingga tidak dapat menopangnya. “Joseph, Joseph, bicaralah padaku,” kata si kecil yang malang, “bicaralah padaku.” Dan Joseph, dengan gigi gemeletuk, menatap adiknya dengan mata yang begitu besar hingga membuatnya ketakutan. “Ada satu apel lagi di keranjang; apakah kamu menyukainya? Aku akan memberimu semuanya,” lanjut si kecil, pipinya bermandikan air mata. Kakaknya gemetar dan kemudian menjadi kaku tiba-tiba, dan terus menatap lekat-lekat dengan mata yang semakin besar dan semakin besar.

Saat itulah Simon lewat. Dia meletakkan kedua anak itu di atas keledai, mengambil keranjang, dan bergegas ke desa diikuti oleh si anak domba.

Ketika ibu yang bersedih itu melihat Joseph adalah pemandangan yang meluluhkan hati. Joseph yang disayanginya, yang beberapa jam sebelumnya begitu riang gembira mengajak saudara laki-lakinya berjalan-jalan, sekarang tidak sadarkan diri dan sekarat. “Ya Tuhan, ya Tuhanku!” teriaknya, digilakan dengan rasa sedih, “bawa saja aku tapi tinggalkan anakku! Oh, Josephku! Oh, Josephku yang malang!” Dia terus menghujaninya dengan ciuman dan menangis putus asa.

Dokter dipanggil. Keranjang yang masih berisi beberapa buah beri hitam yang disalah artikan sebagai ceri itu menjelaskan kepadanya penyebab peristiwa menyedihkan ini. “Ya Tuhan, nightshade yang mematikan!” serunya pelan. “Aduh sayang! Sudah terlambat.” Dengan patah hati dia menyusun ramuan yang kemanjurannya tidak dapat dia andalkan, karena racunnya telah membuat kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Dan, nyatanya, satu jam kemudian, sementara sang ibu berlutut di kaki tempat tidur sembari berdoa dan menangis, sebuah tangan kecil terulur dari balik selimut dan terbujur dingin di atas tangan ibunya. Itu adalah perpisahan terakhir, Joseph sudah meninggal.

Keesokan harinya mereka menguburkan si kecil yang malang. Seluruh desa menghadiri pemakaman. Emile dan Jules kembali dari kuburan dengan sangat sedih sehingga selama beberapa hari mereka tidak berpikir untuk menanyakan penyebab kecelakaan yang menyedihkan ini kepada paman mereka.

Sejak itu, di rumah duka, Louis kecil sesekali berhenti bermain dan mulai menangis, melupakan   arloji timahnya yang indah. Dia telah diberitahu bahwa Joseph telah pergi jauh dan dia akan kembali suatu hari nanti. ‘‘Ibu,’” kadang-kadang dia berkata, “kapan Joseph akan kembali? Aku bosan  bermain sendirian.” Ibunya menciumnya lalu menutupi wajahnya dengan sudut celemeknya dan meneteskan air mata hangat. “Apakah Ibu tidak mencintai Joseph lagi, dan itukah sebabnya Ibu menangis ketika aku berbicara tentangnya?” tanya si kecil malang yang tidak bersalah. Dan ibunya yang kewalahan, berusaha menahan isak tangisnya dengan sia-sia.

 

Leave a Comment

error: Content is protected !!