BAB XLVI CATANIA

“Kemarin,” Paman Paul menjelaskan, “Jules bertanya padaku apakah aliran lava tidak bisa mencapai kota-kota yang terletak di dekat gunung berapi? Kisah berikut akan menjawab pertanyaannya. Ini kisah tentang erupsi dari gunung Etna.”

“Etna adalah gunung berapi di Sisilia dimana ada pohon chestnut tua yang berisi ratusan kuda itu?” tanya Claire.

“Ya. Aku harus mengatakan kepadamu bahwa dua ratus tahun lalu di Sisilia terjadi salah satu erupsi paling mengerikan yang pernah dicatat. Sepanjang malam, setelah badai yang mengerikan, bumi mulai bergetar begitu keras sehingga banyak rumah hancur. Pohon-pohon bergoyang seperti rumput yang digerakkan angin. Orang-orang melarikan diri kebingungan menuju ke desa untuk menghindari hancur oleh reruntuhan bangunan-bangunan, mereka  kehilangan keseimbangan di tanah, tersandung dan jatuh.”

“Di saat itu Etna meledak dengan retakan sepanjang empat liga dan bersama retakan itu naiklah sejumlah kawah gunung berapi, yang ditengah-tengah ledakan-ledakan mengerikan memuntahkan awan-awan hitam dan pasir kalsinasi. Segera 7 kawah ini bersatu dalam satu lubang dalam dan selama 4 bulan tidak berhenti meraung, bersinar dan memuntahkan abu serta lava. Kawah Etna, pertama-tama cukup tenang, seakan-akan cerobongnya tidak memiliki sambungan dengan mulut gunung berapi yang baru. Beberapa hari kemudian ia terbangun dan melemparkan gumpalan api dan asap yang luar biasa tinggi. Lalu seluruh gunung bergetar dan seluruh puncak-puncak kawahnya jatuh ke kedalaman gunung berapi. Mereka menemukan kawah itu jauh lebih besar setelah kejatuhan itu. Mulutnya, yang sebelumnya berukuran satu liga, sekarang menjadi dua liga.”

“Sementara itu, hujan lava menyeruak dari seluruh retakan gunung menuju ke dataran, menghancurkan rumah-rumah, hutan-hutan, dan ladang-ladang. Beberapa liga dari gunung berapi, di pinggiran pantai, terbentanglah Catania, kota besar yang dikelilingi dinding kuat. Cairan api sudah melahap beberapa desa ketika sampai di dinding kota Catania dan menyebar ke seluruh kota. Seakan untuk menunjukkan kekuatan kepada orang Catania yang ketakutan, cairan api itu merobek sebuah bukit dan membawanya ke jarak tertentu. Dia mengangkat sebidang ladang anggur dan membiarkannya mengapung beberapa saat sampai kehijauan di atasnya perlahan menjadi arang dan menghilang. Akhirnya, cairan membara itu mencapai sebuah lembah yang dalam dan lebar. Orang Catania percaya mereka terselamatkan, tentu gunung berapi itu kehabisan tenaganya saat lavanya harus memenuhi baskom tersebut. Tapi ternyata itu sebuah perkiraan yang salah. Dalam waktu sesingkat enam jam, seluruh lembah terpenuhi, dan lava mengalir tepat menuju ke kota dalam sebuah aliran selebar satu liga dan tinggi 10 meter. Lava itu pasti menutupi kota Catania, jika bukan karena sebuah keberuntungan, munculnya aliran lava lain yang arahnya melintasi yang pertama dan menabrak aliran api itu dan mengubah tujuannya. Aliran yang tadinya meluncur mendekati benteng kota dalam satu tembakan pistol itu pun membelok menuju laut.”

“Aku sangat ketakutan dengan orang-orang Catania yang malang itu,” sela Emile, “saat Paman bercerita tentang dinding api itu setinggi rumah dan melaju tepat menuju kota.”

“Ini semua belum berakhir,” Pamannya meneruskan. “Seperti yang kukatakan kepadamu, aliran itu menuju ke arah laut. Disana kemudian terjadi  pertempuran hebat antara air laut dan api. Lava terlihat tegak lurus di depan dengan lebar 1500 meter dan setinggi 12 meter. Saat bersentuhan dengan dinding yang membara itu, yang terus terjun melaju makin maju ke depan ombak, massa luar biasa dari asap pun naik dengan suara mendesis yang mengerikan, menggelapkan langit dengan awan tebalnya dan menjatuhkan hujan garam ke seluruh negeri. Dalam beberapa hari lava membuat garis pantai menyusut 300 meter.”

“Meskipun begitu, Catania masih terancam. Aliran lava itu, membengkak dengan banyak anakan sungai, bertumbuh hari demi hari dan mendekati kota. Dari atas dinding para penduduk memantau dengan ngeri kemajuan dari bencana yang menggurat bebatuan itu. Akhirnya lava mencapai pagar. Banjir yang menyala itu terus naik perlahan dan tanpa henti. Dari jam ke jam dia naik sedikit demi sedikit. Mencapai puncak dinding yang melengkung karena tekanan dan terlempar sejauh 40 meter,  lalu aliran lava api pun memasuki kota.”

“Ya Tuhan!” jerit Claire. “Orang-orang itu terancam!”

“Tidak, tidak orang-orangnya. Lava bergerak sangat perlahan karena karakter alaminya yang sangat lengket dan orang-orang bisa diperingatkan akan waktu yang tersisa. Kota itu sendiri terancam kerusakan terparah. Seperempat bagian yang diserbu adalah yang terkena lava tertinggi. Dari sana, aliran menyebar kemana-mana. Maka Catania tampak akan hancur total. Sesaat kemudian Catania diselamatkan dengan keberanian beberapa orang yang berniat untuk bertarung dengan gunung berapi itu. Mereka memikirkan sendiri cara untuk membangun dinding batu yang ditempatkan melintang di hadapan aliran dan mengubah arahnya. Sebagian dari usaha ini sukses, namun yang selanjutnya paling berhasil. Aliran lava menumpuk dirinya sendiri seperti selubung padat, menjadi tanggul di sebuah kanal dan membentuk balok-balok yang menyatu bersama. Di bawah penutup ini materi yang meleleh mempertahankan kecairannya dan melanjutkan perjalanannya yang merusak. Lalu, orang-orang ini berpikir bahwa dengan menghancurkan selokan alami ini di titik yang tepat akan membuat lava itu mengarah ke rute baru melintasi desa dan menjauh dari kota. Diikuti oleh ratusan lelaki yang waspada dan bersemangat, mereka menyerang aliran itu tak jauh dari gunung berapi dengan batang besi. Panasnya begitu tinggi sampai setiap pekerja hanya bisa memukul dua tiga kali dengan baik sebelum mundur dan memulihkan nafasnya. Bagaimanapun, mereka akhirnya bisa membuat tembusan di selubung padat itu dan seperti yang sudah mereka perkirakan, lava mengalir keluar dari celah ini. Catania terselamatkan, namun bukan tanpa kerusakan, karena selama mengalir di dalam dinding kota, lava menghancurkan 300 rumah dan beberapa kuil juga gereja. Di luar Catania yang dengan sedih merayakan keberhasilannya, erupsi ini menutupi lima sampai enam liga persegi dengan lava yang tebalnya mencapai 13 meter di beberapa titik dan menghancurkan rumah-rumah dari 27.000 orang.”

“Tanpa orang-orang pemberani yang tidak gentar akan resiko terbakar hidup-hidup untuk maju dan membuka jalur baru aliran api itu, Catania pasti akan hilang,” ucap Jules.

“Catania pasti terbakar habis, tak diragukan. Hari ini reruntuhannya yang terbakar akan terkubur di bawah tumpukan lava dingin, dan tak ada yang tersisa kecuali nama dari sebuah kota besar yang telah menghilang. Tiga atau empat lelaki pemberani membangkitkan keberanian warga yang ketakutan, mereka berharap surga akan membantu pengabdian mereka dan siap mengorbankan hidup mereka untuk mencegah bencana yang mengerikan itu. Ah! Semoga Tuhan memberikan kau berkat, anakku tersayang, untuk meniru mereka ketika berada dalam bahaya, karena seperti kau lihat, jika manusia bisa menjadi besar karena kecerdasannya, mereka bisa lebih besar karena hatinya. Di masa tuaku, saat aku mendengarkanmu, aku akan lebih senang pada kebaikan yang kau lakukan dibandingkan pengetahuan yang kau dapatkan. Pengetahuan, teman-teman kecilku, hanyalah alat yang baik untuk membantu orang lain. Ingat itu baik-baik, dan saat kau menjadi seseorang yang menanggung bahaya seperti yang orang-orang itu lakukan di Catania. Aku memintamu itu sebagai balasan dari cinta dan kisah-kisahku.”

Jules diam-diam mengusap setitik air mata. Pamannya melihat bahwa dia telah menanamkan kata-katanya di lahan yang tepat.

Leave a Comment

error: Content is protected !!