BAB XLVII KISAH PLINY

“Untuk mengajarkan padamu apa yang bisa dilakukan abu yang dimuntahkan gunung berapi, aku akan menceritakan pada kalian kisah yang sangat tua, seperti yang disampaikan pada kita oleh seorang penulis yang dimuliakan di jamannya. Penulis ini dipanggil Pliny. Dia menulis dalam bahasa Latin, bahasa yang besar di masa itu.”

“Itu adalah tahun 79 di era kita. Orang yang sejaman dengan Penyelamat kita (Kristus) masih hidup. Vesuvius ketika itu adalah gunung yang tenang. Dia tidak berujung kerucut berasap seperti sekarang, tapi daratan cekung landai seperti meja.  Merupakan sisa dari kawah tua yang penuh ditumbuhi rerumputan tipis dan tanaman sulur liar. Tanaman yang sangat subur menutupi sisi-sisinya. Dua kota penuh penduduk, Herculaneum dan Pompeii membentang di kakinya.”

“Gunung berapi tua itu, yang seakan-akan tertidur selamanya, yang erupsi terakhirnya terlalu jauh untuk diingat oleh orang-orang, tiba-tiba terbangun dan  mengeluarkan asap. Pada tanggal 23 Agustus, sekitar pukul 1 siang, sebuah awan luar biasa, terkadang putih, terkadang hitam, terlihat mengambang di atas Vesuvius. Didesak keras oleh kekuatan dari bawah tanah, dia pertama-tama menjulang lurus ke langit seperti bentuk batang pohon. Lalu setelah mencapai ketinggian yang cukup jauh, awan itu merosot turun karena beratnya sendiri dan menyebar luas ke area yang luas.”

“Sekarang, pada waktu yang sama di Messina, sebuah pelabuhan yang tak jauh dari Vesuvius, ada seorang paman dari penulis yang menceritakan ini semua pada kita. Dia dipanggil Pliny, seperti keponakannya. Dia memerintahkan armada kapal Roma untuk bersiap di pelabuhan. Dia adalah seorang lelaki yang sangat pemberani, tidak pernah mundur dari bahaya apapun jika dia bisa mendapat pengetahuan baru dari itu atau memberikan bantuan pada orang lain. Terkejut pada awan ganjil yang melayang di atas Vesuvius, Pliny segera pergi dengan armadanya untuk membantu kota-kota yang terancam dan untuk mengobservasi awan mengerikan itu dari titik yang lebih dekat. Orang-orang di kaki Vesuvius berlarian dengan cepat, menggila karena ketakutan. Dia pergi ke sisi dimana semuanya tengah berlarian dan dimana tampaknya ancaman paling besar berada.”

“Hebat!” jerit Jules. “Keberanian datang padamu saat kau bersama mereka yang tak takut. Aku mencintai Pliny karena bersegera menuju ke gunung berapi untuk mempelajari bahaya. Aku ingin berada di sana.”

“Aduh! Anakku, kau akan segera menemukan bahwa itu bukan piknik. Abu menyala bercampur batu vulkanik berjatuhan ke berbagai tempat; laut memukul-mukul dengan dahsyat, naik dari peraduannya; pantai dipenuhi puing puing dari gunung, menjadi tak bisa lagi diakses. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mundur. Kapal itu sampai ke dataran Stabiae, dimana marabahaya masih jauh, tapi terus mendekat dan menyebabkan kekhawatiran. Sementara itu, dari beberapa titik di Vesuvius nyala api besar meledak, kerlapnya yang mengerikan memberi ketakutan yang lebih karena kegelapan yang disebabkan awan abu. Untuk menentramkan teman-temannya, Pliny berkata pada mereka  bahwa nyala kobaran ini berasal dari desa-desa yang ditinggalkan dan terbakar.”

“Dia mengatakan itu pada mereka untuk memberikan keberanian,” Jules menebak, “tapi dia sendiri tahu kebenarannya.”

“Dia mengetahuinya dengan baik, dia tahu betapa besar bahayanya, namun demikian, dikalahkan oleh rasa lelah, dia jatuh tertidur lelap. Sekarang, selama dia tidur, awan mencapai Stabiae. Sedikit demi sedikit lapangan menuju ke apartemennya dipenuhi abu, sehingga dalam waktu dekat dia tak akan bisa keluar. Mereka membangunkan dia untuk mencegahnya terkubur hidup-hidup dan merundingkan apa yang harus dilakukan. Rumah-rumah, digoyangkan oleh getaran tanpa henti, tampak tercerabut dari pondasinya, mereka berayun dari satu sisi ke sisi lain. Beberapa hancur. Diputuskan untuk kembali ke laut. Hujan batu menjatuhi mereka, kecil-kecil, tapi terbakar api. Untuk perlindungan dari hujan batu, orang-orang menutupi kepala mereka dengan bantal-bantal, dan pergi melintasi kegelapan yang paling mengerikan, hampir tak dapat melihat apapun meski dengan obor yang mereka bawa, mereka segera menuju pantai. Disana Pliny duduk di tanah untuk beristirahat saat terjadi ledakan api besar dengan aroma sulfur yang kuat, membuat semua orang kabur. Dia berdiri dan segera terjatuh meninggal. Pancaran asap dan abu dari gunung berapi mencekiknya.”

“Pliny yang malang! Tercekik sampai mati seperti itu karena gunung yang mengerikan, dan dia sangat pemberani!” sesal Jules.

“Saat pamannya sekarat di Stabiae, keponakannya yang ditinggalkan di Messina dengan ibunya, menjadi saksi apa yang terjadi untuk kita. ‘Malam ketika paman berangkat,’ dia bercerita pada kita, ‘bumi mulai berguncang keras. Ibuku bergegas dalam kegelisahannya membangunkanku. Dia menemukanku sudah terbangun. Karena rumah terancam akan hancur, kami pun duduk di lapangan luar, tak jauh dari lautan. Dengan kecerobohan anak muda–saat itu aku berumur 18–aku mulai membaca. Teman pamanku datang. Melihat aku dan ibuku duduk, aku dengan buku di tanganku, dia menyesali ketenangan kami dan meminta kami pergi mencari keselamatan. Walau saat itu jam 7 pagi tapi kami hampir tak dapat melihat, udara sangat gelap. Saat itu bangunan-bangunan sangat berguncang sehingga kehancurannya mungkin akan segera terjadi. Kami mengikuti orang-orang dan meninggalkan kota. Kami berhenti cukup jauh di luar kampung. Kereta-kereta yang dibawa tampak berayun terus menerus mengikuti guncangan tanah. Bahkan roda-roda mereka tertahan oleh batuan sehingga membuat mereka berhenti di tempat. Lautan surut, didorong dari pantai karena guncangan gempa bumi, air menjauh dari pantai dan meninggalkan banyak sekali ikan di  pasir. Sebuah awan hitam mengerikan datang ke arah kami. Di sayap-sayapnya tampak garis api mengular seperti petir yang luar biasa besar. Segera awan itu turun, menutupi daratan dan lautan.  Lalu ibuku memohon agar aku segera melarikan diri dengan segala kekuatan tubuh mudaku dan tidak membiarkan diriku berhadapan dengan kematian yang segera datang dengan menyesuaikan langkahku dengannya, karena dia melambat seiring usianya. Dia akan merasa puas jika tahu aku jauh dari marabahaya.’”

“Dan Pliny meninggalkan ibunya yang tua untuk melarikan diri dengan lebih cepat?” Jules bertanya-tanya.

“Tidak, anakku, dia melakukan apa yang kalian semua akan lakukan. Dia tetap tinggal, menjaga dan menyemangati ibunya, berketetapan untuk menyelamatkan diri atau mati bersamanya.”

“Bagus!” jerit Jules. “Si keponakan sama patut dihormatinya dengan pamannya. Dan lalu apa yang terjadi?”

“Lalu yang mengerikan terjadi. Abu vulkanik mulai berjatuhan, kegelapan turun, begitu tebalnya sampai mereka tak bisa melihat apapun. Ada kebingungan massal, jeritan, dan raungan. Ngeri karena teror, orang-orang berlarian kacau, saling menabrak dan  menginjak siapapun yang berada di jalur mereka. Sebagian besar yakin bahwa itu adalah malam terakhir, malam kekal yang akan menelan dunia. Para ibu meraba-raba mencari anaknya yang hilang di keramaian atau mungkin hancur terinjak di bawah kaki para pelari, memanggil-manggil mereka dengan jeritan pilu untuk memeluk mereka sekali lagi dan kemudian mati. Pliny dan ibunya duduk menjauh dari keramaian. Dari waktu ke waktu mereka harus bangun dan melepaskan diri dari abu yang mungkin akan segera mengubur mereka. Akhirnya awan pun menyebar dan sinar mentari muncul kembali. Bumi tak lagi dikenali, semuanya menghilang dibawah selubung tebal debu vulkanik.”

“Dan rumah-rumah, apakah mereka terkubur dibawah abu?” tanya Emile.

“Di kaki gunung, abu yang dimuntahkan oleh gunung berapi jauh lebih dalam daripada puncak rumah yang paling tinggi sekalipun, dan seluruh kota menghilang di bawah tumpukan dari abu vulkanik yang luar biasa tebal. Di antaranya adalah Herculaneum dan Pompeii. Gunung berapi mengubur mereka hidup-hidup.”

“Dengan penduduknya?” tanya Jules.

“Sebagian kecil, karena sebagian besar punya waktu melarikan diri ke Messina seperti Pliny dan ibunya. Sekarang, setelah terkubur 18 abad, Herculaneum dan Pompeii digali oleh beliung para penambang, terlihat seperti saat mereka tertangkap abu vulkanik. Kebun anggur menutupi tempat-tempat yang belum dibersihkan.”

“Maka kebun anggur ini menjadi atap rumah-rumah!” kata Emile.

“Jauh lebih tinggi dari atap rumah-rumah. Para pelancong yang mengunjungi bagian daerah kota yang belum terungkap membuka jalannya dengan menggali sumur-sumur yang sangat dalam ke bawah tanah.”

Leave a Comment

error: Content is protected !!