XXVIII PENGEJARAN

Paman Paul berkata: “Besok, kita bangun pagi sekali.” 

Tapi tak satu anak pun perlu dibangunkan. Mereka tak bisa tidur karena akan melakukan perburuan Epeira. Sekitar pukul tujuh, matahari bersinar terang, mereka telah berada di sisi sungai. Jaring laba-laba telah selesai. Beberapa tetes embun menggantung di benang-benang dan berkilau laksana mutiara. Laba-laba belum ada di tengah jaring. Tentu saja ia tengah menunggu sebelum turun dari persembunyiannya karena matahari menghalau lembabnya pagi. Kawanan capung berada di rumput untuk makan pagi. Mereka berada di kaki pohon Alder dimana terrentang kuat kabel-kabel jaring laba-laba. Capung Damsel Biru hinggap dari satu ilalang ke ilalang lain. Mereka saling berkejaran riang gembira. Namun, berhati-hatilah wahai capung, yang tak tahu bagaimana menghindari jaring dengan cara melewati bagian atas atau bawahnya.

Capung Damsel

Dan, salah satu capung terjebak. Kasihan sekali sang korban. Ketika salah satu capung bermain ceroboh dengan salah satu temannya, setidaknya ia pasti melihat kemana ia mengarah. Seekor capung pun tertangkap di jaring laba-laba. Dengan satu sayap, ia menggeliat berusaha melarikan diri. Gerakannya membuat jaring bergoyang namun jaring itu tidak putus. Benang sebagai adalah alat komunikasi dengan ruang peristirahatan sang Epeira. Dengan goncangannya, ia tahu ada hal penting yang terjadi di jaringnya. Sang laba-laba bergegas turun. Namun ia tak langsung mendatangi lokasi capung. Dengan gerak putus asa sayapnya, capung melepaskan diri dan terbang, membuat lubang besar di jaring laba-laba.

“Oh, pintar sekali capung itu melepaskan diri!” Jules berteriak. “Sedetik lagi makhluk  malang itu akan dimangsa hidup-hidup. Kau lihat, Emile, betapa cepat laba-laba berlari turun dari tempat sembunyi ketika ia merasakan jaringnya bergerak? Perburuan itu tak berhasil. Mangsa melarikan diri dan jaringnya robek.” 

“Laba-laba akan memperbaikinya,”  paman meyakinkan.

Dan tak lama setelah tak berhasil menangkap mangsa, laba-laba membenahi benang jaring yang rusak dengan kecermatan tinggi. Pekerjaannya usai dan kerusakan hampir tak terlihat bekasnya. Ia pun menempatkan diri di pusat jaring: nampaknya inilah saat yg tepat untuk berburu dan sebaiknya ia melakukan perburuan secepat mungkin agar tak terjadi lagi kegagalan. Ia meregangkan kedelapan kakinya dengan posisi melingkar bersiap agar dapat menangkap gerak yang mungkin menyentuh jaring. Ia menunggu, diam tak bergerak.

Para capung tak henti berevolusi. Tak satupun yang terperangkap: alarm awal membuat mereka menghindari lingkaran. Mereka terbang di sekitar jaring, melintas di atasnya.

Lihatlah! Lihat! Siapa yang datang berputar-putar dan membentur-benturkan kepalanya ke jaring? Oh, seekor tawon besar, tubuhnya beludru hitam pekat dengan perut merah. Ia terjerat. Sang epeira berlari. Namun tawanan sangat kuat dan besar; mungkin ia memiliki sengat. Laba-laba tak percaya. Ia melontarkan benang dari spinneretnya dan melewati sang lebah. Sehelai, dua helai tiga helai melilit dan akhirnya epeira menaklukkan usaha sia-sia sang tawanan. Tawon besar tercekik namun masih penuh tenaga dan mengancam. Menangkapnya dalam kondisi seperti itu sangatlah tidak bijaksana; nyawa epeira menjadi taruhan. Lalu apa yang harus dilakukan agar tak terancam oleh mangsa yang membahayakan ini? Laba-laba memiliki dua taring tajam yang terbungkus di kepalanya yang akan mengeluarkan setetes racun melalui lubangh di ujungnya. Itulah senjata perburuan lana-laba. Epeira mendekat hati-hati, membuka mulut dan menusuk tawon, lalu segera menjauh. Dalam sekejap mata berakhirlah sudah. Racun bereaksi cepat: tubuh tawon bergetar, kaki-kakinya kaku, dan ia pun mati. Laba-laba membopong tawon ke dalam ruang sutera lalu menghisapnya saat waktu luang. Ketika tak ada lagi yang tersisa kecuali kulit, laba-laba melemparkan sisa mangsanya keluar dari tempat tinggalnya agar tidak mengotori jaring dari sisa tubuh mangsa dan membuat takut mangsa lain.

“Cepat sekali kejadiannya,” Jules mengeluh, “Aku tidak bisa melihat taring-taring laba-laba yang berbisa. JIka saja kita menunggu lebih lama, mungkin tawon lain akan datang dan kita dapat melihatnya lebih jelas.”

“Tidak perlu,” ujar Paman. “Jika kita memperhatikan dengan seksama kita dapat melihat manuver perburuan laba-laba dimulai kembali. Yang harus kalian lakukan adalah perhatikan dengan seksama.”

Paman Paul menggeledah ladang bunga dan menangkap seekor capung besar. Lalu ia memegang satu sayapnya dan meletakan capung itu di dekat jaring. Serangga tersebut meronta dan terlilit jaring. Jaring bergoyang, laba-laba meninggalkan tawonnya dan berlari. Merasa senang dengan kesempatan menguntungkan yang memberinya mangsa baru begitu cepat. Manuver yang sama pun dimulai kembali. Pertama-tama, capung dililit; Ia membuka taring tajamnya lalu menusuk capung dan selesai. Korban pun bergetar, meregangkan tubuh dan berhenti bergerak.

“Ah, akhirnya aku melihatnya,” Jules berkata dan merasa puas.

“Claire, kau lihat taring laba-laba yang halus itu?” Tanya Emile. “Aku yakin kau tak punya jarum yang selembut itu di tempat jarummu.”

“Aku belum tahu. Yang membuatku sangat  terpana bukanlah taring halus laba-laba, tetapi cepatnya si korban mati. Bagiku seekor capung sebesar ini tak mati secepat itu bahkan dari sengatan jarum kita yang lebih besar.

“Benar sekali,” paman menegaskan. “Seekor serangga yang tersengat jarum masih dapat hidup lama. Namun jika tersengat taring halus laba-laba, ia mati seketika. Laba-laba memberi racun pada senjatanya. Kedua taringnya sangat beracun. Taring-taring ini  dilengkapi dengan saluran sangat kecil yang melalui saluran ini laba-laba akan mengalirkan setetes cairan yang hampir tak terlihat yang disebut bisa, yang diproduksinya sebagaimana ia membuat cairan sutera. Racun disimpan di sebuah kantong ramping di dalam taring. Ketika laba-laba menyengat mangsa, ia melepaskan cairan racun ke luka dan itu lah yang menyebabkan serangga terluka itu cepat mati.”

Agar membuat pendengarnya mengetahui gambaran yang lebih jelas mengenai taring labalapa-laba, paman mengambil epeira dengan jarinya. Claire berteriak takut namun paman segera menenangkannya.

“Tak perlu khawatir, anakku. Racun yang membunuh seekor capung tak akan berefek apapun pada kulit pamanmu yang keras ini.”

Dan dengan bantuan sebuah jarum, ia membuka taring laba-laba. Ia menunjukkan secara rinci kepada anak-anak yang kemudian menjadi sangat yakin.

“Kalian tak perlu takut, “ lanjutnya. “Dengan begitu cepatnya capung dan tawon mati membuat kalian memandang laba-laba sebagai makhluk yang perlu kita takuti. Taringnya akan sangat sulit menembus kulit kita. Para peneliti yang pemberani  membiarkan diri mereka disengat oleh berbagai jenis laba-laba di negeri kita. Sengatannya tak pernah berdampak serius: hanya warna merah dikulit yang tidak begitu sakit daripada disengat nyamuk. Pada saat yang sama, mereka yang memiliki kulit sangat sensitif, harus berhati-hati dengan jenis laba-laba yang lebih besar. Ada selintas rasa sakit yang akan dirasakan jika tersengat. Kita sering kali menghindari sengatan tawon tanpa banyak persiapan; karenanya tak perlulah kita menghindari taring laba-laba dengan berteriak ketika melihat salah satu makhluk ini. Kita akan lanjut membahas salah satu makhluk-makhluk berbisa. Namun, karena sudah larut, sebaiknya kita tidur.”

Leave a Comment

error: Content is protected !!