Bab 2 Orang Tua sebagai Penguasa

Orang Tua Sebagai Penguasa – Pemerintahan orang tua harus seperti seorang raja yang baik hati. Orang tua wajib membesarkan anaknya menjadi warga negara yang berbakti dan tidak melimpahkan tanggung jawab tersebut kepada orang lain.

Jika keluarga dapat dilihat sebagai miniature sebuah negara, maka pemerintahannya harus berupa monarki yang baik hati dan bijaksana. Orang tua harus mempunyai otoritas final. Orang tua yang melepaskan wewenangnya berarti juga melepaskan peran sebagai orang tua, karena orang yang mengisi kekosongan tersebut (mungkin pengasuh) akan, untuk semua tujuan praktis, menjadi ‘orang tua’, dan anak-anak akan memberikan kasih sayang dan penghormatan mereka untuk orang tersebut.

Orang tua yang tidak mendidik anaknya melainkan membiarkan si anak ‘melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri’ karena takut tidak disukai anak, maka akan kehilangan rasa hormat dari sang anak. Selain itu, mereka membesarkan anak yang tidak tahu berterima kasih. Orang tua ini kehilangan otoritasnya, dan peran orang tuanya diserahkan kepada orang lain. Orang tua yang sibuk dengan urusannya sendiri mungkin akan menemukan orang lain yang bisa membantu membesarkan anak-anaknya saat mereka tidak ada.

Orang tua yang menginginkan kemuliaan dan kehormatan dari anak-anaknya harus bersedia menerima kedudukan otoritas yang dituntut oleh peran orang tua. Tugas orang tua adalah membesarkan anak; jika anak tidak belajar rasa hormat, kesetiaan, dan kepatuhan di rumah, kemungkinan besar dia tidak akan mempelajarinya sama sekali. Meskipun tren yang ada saat ini condong ke arah keluarga demokratis dimana anak-anak menerima hak yang sama dalam pengambilan keputusan, anak-anak secara alami bersedia menyerah pada otoritas jika orang tua memulainya sejak dini. Wewenang tidak harus berarti disiplin yang keras dan tidak simpatik–namun bisa datang dari orang tua yang mengasihi dan mendengarkan masukan dari anggota keluarga lainnya. Faktanya, dalam suasana seperti itulah anak-anak melakukan yang terbaik.

Orang tua berhutang hal itu kepada anak-anaknya, bangsanya, dan Tuhan sendiri untuk mengurus anak-anaknya. Persepsi anak terhadap Tuhan akan didasarkan pada bagaimana ia memandang orang tuanya, apakah penuh kasih sayang, bijaksana dan konsisten, atau lemah dan tidak percaya diri, atau tegas dan tidak penyayang.

Anak-anak bukan milik orang tuanya; bagaimana mereka tumbuh akan mempengaruhi bangsa. Jika suatu negara melihat orang tuanya tidak melakukan tugasnya dengan baik dalam membesarkan warga negaranya, maka negara tersebut mungkin mengambil tanggung jawab untuk membesarkan anak-anak tanpa orang tua demi kebaikan negaranya (saya pikir kita melihat hal ini di Amerika, di mana pendidikan publik dianggap penting, karena negara mencoba untuk mengklaim lebih banyak hak atas anak-anak kita karena pemerintah mempunyai kepentingan dalam hal bagaimana anak-anak tersebut nantinya.) Ini adalah sebuah tragedi karena anak-anak yang dibesarkan oleh pemerintah, oleh sekolah-sekolah di lingkungan institusional, tidak akan menerima pendidikan agama. Negara tidak mengajarkan tentang Tuhan. Anak-anak seperti itu juga tidak akan belajar tentang kewajiban keluarga dan kasih persaudaraan. Kesetiaan mereka akan tertuju pada negara. Untuk menghindari hal tersebut, orang tua harus rajin merawat anak dan membesarkannya menjadi warga negara yang baik.

Namun otoritas orang tua pun ada batasnya. Wewenang harus demi kebaikan anak, bukan kesenangan atau kekuasaan orang tua. Keputusan harus dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, bukan kebutuhan orang tua untuk hidup secara perwakilan melalui anak. Otoritas tidak boleh menggantikan otonomi anak–anak harus membuat keputusan sendiri segera setelah mereka mampu. Bagaimanapun, ini adalah hidup mereka dan mereka perlu membiasakan diri berpikir sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Anak-anak hendaknya memahami bahwa ketaatan orang tua dilakukan karena kewajiban kepada Tuhan dan bangsanya, bukan sekedar memuaskan keinginan orang tua. Seorang anak yang memahami hal ini tidak akan mungkin memberontak terhadap orang tuanya. Dan yang terakhir, ketika anak sudah cukup umur, orang tua perlu melepaskan wewenangnya, meski anak masih tinggal di rumah. Anak-anak yang sudah dewasa harus diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan anak-anak. Mereka harus membuat keputusan sendiri tentang dengan siapa mereka bergaul, bagaimana mereka menghabiskan waktu dan uang. Jika mereka terbukti tidak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka sudah terlambat untuk memperbaikinya.

Keluarga yang dikelola dengan baik menjaga ketertiban dan kedamaian tanpa disiplin terus-menerus; anggotanya rela menuruti apa yang diharapkan karena mereka senang melakukan apa yang diinginkan orang tua, bukan karena takut akan hukuman jika melanggar.

Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya

Leave a Comment

error: Content is protected !!