Pendidikan adalah Membangun Kebiasaan

Terdapat suatu salah kaprah besar dalam sistem pendidikan kita, manakala orang menganggap pendidikan adalah semata soal tumpukan buku dan kertas ujian, ranking, bahkan gelar. Anggapan semacam inilah yang pada akhirnya membuat sebagian besar beban pendidikan tertumpu pada sekolah sebagai lembaga akademis, dan guru, sebagai tenaga pengajar di sekolah.

Gagasan Charlotte Mason yang meletakkan habit atau pembentukan kebiasaan baik sebagai instrumen pendidikan, selayaknya direnungkan oleh para orangtua, sebagai pendidik pertama (dan semestinya UTAMA), di rumah. Karena pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik telah dimulai jauh sebelum anak masuk sekolah dan bertemu guru.

Tetapi, semestinya pembentukan kebiasaan baik bukan hanya karena mengikuti kebiasaan orang pada umumnya, atau mengulang bagaimana orangtua mendidik kita dahulu, atau malah, sekadar menggugurkan kewajiban rutinitas atau S.O.P yang tertera pada sistem sekolah. Ia harus direncanakan dengan penuh kesadaran, dilaksanakan dan diawasi dengan ketelitian, sama pentingnya seperti setiap pelajaran sekolah.

Dan jika selama ini kita pikir, habit itu terkait rutinitas fisik saja, ternyata tidak. CM menyatakan, kebiasaan berpikir dan kebiasaan-kebiasaan moral adalah sama pentingnya dengan kebiasaan fisik.

By education is a discipline, is meant the discipline of habits formed definitely and thoughtfully, whether habits of mind or body

Kalau kita ingat lembaran-lembaran buku dan kertas ujian yang pernah kita baca dan kerjakan, ke mana ya hasilnya itu semua di dalam otak kita? Yang berhasil kita ingat dan simpan untuk waktu yang lama, mungkin hanya beberapa persen saja. Sisanya?

…what a monstrous quantity of printed matter has gone into the dustbin of our memories, because we have failed to perform that quite natural and spontaneous ‘act of knowing,…

Kebiasaan memperhatikan, kebiasaan berpikir dan kemudian mencerna pengetahuan –pada saat pengetahuan itu pertama kali diberikan kepada anak — semestinya merupakan sesuatu yang alami, se-alami bernapas. Proses ini terjadi secara simultan dan tidak membutuhkan teknik tertentu selain kebiasaan yang menentukan. Kebiasaan memperhatikan adalah satu hal, ada banyak kebiasaan lain terkait aktivitas otak, yang disebutkan CM di sini:

Attention is not the only habit that follows due self-education. The habits of fitting and ready expression, of obedience, of good-will, and of an impersonal outlook are spontaneous bye-products of education in this sort. So, too, are the habits of right thinking and right judging; while physical habits of neatness and order attend upon the self-respect which follows an education which respects the personality of children

Agaknya itulah keluhuran yang dapat dicapai oleh seseorang yang terdidik dengan baik. Ini menjadi renungan buat kita, betapa banyak orang yang mengecap pendidikan tinggi namun berperilaku sebaliknya. Ke mana perginya segala keluhuran ilmu pengetahuan yang mestinya ia miliki? Seperti menguap begitu saja. Bukan hanya tentang menjawab soal dengan benar, atau menghafal semua teks dalam buku pelajaran. Ada dua kebiasaan yang disebutkan CM di atas yang saya garis bawahi: habit of RIGHT thinking and RIGHT judging.

Kalau kita melihat sejarah, betapa banyak orang berpengetahuan yang justru melakukan hal-hal keji bagi kemanusiaan. Misalnya, Nazi Jerman, yang diprakarsai oleh cendekiawan Jerman dalam berbagai bidang; baik itu dalam hal teknologi, propaganda, arsitektur, transportasi massal, biokimia, bahkan para dokter. Tetapi, bulu kuduk kita merinding kalau kita mengingat untuk apa semua pengetahuan itu digunakan.

Pengetahuan atau nalar yang tidak diiringi dengan kebenaran dapat menjadi petaka. Kompas moralitas pada tiap-tiap manusia pun tidak datang begitu saja seperti ilham. Perlu internalisasi dari pengalaman-pengalaman dan bacaan, dialog, dan renungan selama bertahun-tahun. Di sinilah habit berperan, bukan hanya tentang pendidikan tetapi lebih jauh, ia dapat membantu manusia menentukan kebenaran.

Pendidikan adalah tentang membentuk kebiasaan-kebiasaan baik. Begitu bersemangatnya CM menjelaskan tentang “Aha!” momennya ini, bahwa sesungguhnya kebiasaan-kebiasaan baik lah yang dapat menentukan keberhasilan kerja pendidikan. Seperti halnya pisau seorang pemahat, atau meja seorang pengrajin keramik, demikianlah kebiasaan baik pun merupakan alat bagi seorang pendidik, agar siswanya dapat mencapai tujuan keluhuran hidup.

Setiap manusia terlahir dengan watak, sifat bawaan masing-masing yang tidak sama satu dengan lainnya. Belum lagi berbagai peristiwa yang akan menerpanya dalam kehidupan, yang dapat memengaruhi caranya berpikir dan bersikap. Tetapi kebiasaan, yang telah bertahun-tahun diterapkan tanpa luput, akan menjadi sepuluh kali lebih kuat daripada watak, bahkan dapat menggantikan watak alami itu sendiri, yang Mason sebut sebagai:

…it becomes second nature, quite difficult to shake off… you cannot break through it without doing real violence to yourself.

Contoh sederhana, seseorang yang sejak kecil tidak biasa bangun pagi, ketika tiba saatnya ia harus bangun pagi, maka kita akan melihatnya berjuang lebih keras untuk sekadar membuka mata dan bangkit dari tempat tidur. Orang yang tidak terbiasa meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, kita akan sering melihatnya kebingungan mencari barang. Aku dulu seperti itu. Bahkan sampai sudah menikah dan punya anak, satu kebiasaan itulah yang membuat suamiku gantian mengomeliku, setelah ibuku. Butuh waktu lama, banyak ngedumel, sebelum akhirnya pelan-pelan aku bisa mendisiplinkan diriku untuk selalu meletakkan benda pada tempatnya semula.

Atau, seseorang yang tidak terbiasa mengonsumsi makanan sehat yang minim diolah dan minim bumbu, serta buah dan sayur, akan tersiksa luar biasa ketika harus mengubah pola makan dan gaya hidup — biasanya setelah terdiagnosa suatu penyakit. Salah satu kerabat, terbiasa makan aneka daging berbumbu kuat, bersantan, serta aneka gorengan dan sambal. Tidak suka air putih, sehari-hari yang ia teguk adalah es teh manis dan minuman berwarna lainnya. Sayuran dan buah segar jarang disentuhnya, kecuali dalam bentuk es buah. Bukankah banyak orang Indonesia begitu?

Ketika ia didiagnosa serangkaian penyakit degeneratif, dan dokter memintanya untuk mengubah pola makan dan gaya hidup, ia mengaku sangat tersiksa. Tahu tempe dan sayur bening tidak ada dalam kamus masakannya selama ini. Sampai akhirnya bobot badannya turun. Dan akhirnya, sampai sekarang, ia memilih untuk terus menerus mengonsumsi BANYAK jenis obat untuk mengendalikan penyakitnya daripada harus mengubah sajian di meja makannya.

Itulah beberapa hal yang terpikirkan olehku ketika membaca “real violence” yang ditulis CM. Kita harus me-reset suatu hal yang bertahun-tahun terprogram di dalam otak. Ah ya, seandainya reset diri ini semudah reset sistem komputer. Nyatanya ‘kan tidak. Lebih tepat dianalogikan seperti mencerabut sebuah pohon yang akarnya telah menjalar. Perlu “real violence” setidaknya terhadap diri kita sendiri untuk bisa mengubah suatu kebiasaan dan menggantikannya dengan kebiasaan baru.

Kerap ada perdebatan tentang bagaimana melatihkan kebiasaan baik, pekerjaan menyusun rel ini, serupa mencerabut kehendak bebas anak sebagai manusia. Tidakkah hal ini selayaknya menghidupkan mode auto-pilot pada kesehariannya, di mana ia tinggal mengikuti jalur kebiasaan yang telah ada?

Jika kita menilik cara kerja otak, sebenarnya dengan sengaja direncanakan atau tidak, memang demikianlah cara kerja otak kita. Otak tidak bisa tidak bekerja (inactive), dan ia tidak bekerja secara sporadis dengan cara yang serampangan. Jika kita tidak berkehendak melatih otak kita dalam ritme kerja tertentu, toh ia akan tetap berjalan pada jalur kebiasaan yang kita lakukan setiap harinya.

Misalnya, kita tidak melatih otak untuk segera bangun pagi dan berolahraga. Sebaliknya, kita biasa tetap tidur hingga matahari meninggi. Maka, demikianlah otak kita membuat jalurnya, mengikuti rute kebiasaannya. Dengan melatihkan kebiasaan, bukan berarti orangtua serta merta mengubah anak menjadi “makhluk kebiasaan”, karena manusia sejatinya MEMANG makhluk yang 99 persen perilaku dan keputusannya ditentukan oleh kebiasaan. Cara kita berbicara, berjalan, duduk, makan, adalah RUTINITAS yang seringkali, tidak kita buat-buat atau pikirkan secara sengaja. Semua itu adalah hasil dari kebiasaan yang telah berjalan.

Seandainya setiap tindakan kecil itu mesti kita pikirkan secara sengaja sebelum dilakukan, oh alangkah melelahkannya! Apakah setiap hari kita harus memikirkan ulang, jam berapa ya saya harus bangun? Setelah bangun, saya makan dulu atau mandi dulu ya? Apakah saya mesti sikat gigi saat mandi atau sesudah sarapan ya? Saya harus menyisir rambut ke kiri atau ke kanan ya? Nanti kalau ada yang tanya tentang ini, saya jawab jujur tidak ya? Buku si A yang tertinggal di kelas kemarin, harus saya kembalikan tidak ya?

Kita akan dapat menghemat waktu dan tenaga jika kita bertindak sesuai kebiasaan. Bangun tidur, minum air putih, siapkan makanan dan sarapan, olahraga ringan, mandi, dan seterusnya. Bahkan ketika dihadapkan pada pilihan harus berkata jujur atau tidak, harus mengembalikan hak orang lain atau tidak, akankah kita harus membuang energi untuk mempertimbangkannya lagi?

Leave a Comment

error: Content is protected !!