Chapter 2: Ketundukan dan Otoritas di Rumah dan Sekolah – Bagaimana Otoritas Bertindak
Orangtua atau guru sering salah dalam melakukan tugasnya karena gagal mendefinisikan otoritas seperti apa yang ada dalam diri mereka. Orangtua sering terjebak dalam kediktatoran. Ini bisa terjadi karena prinsip yang didasarkan pada keyakinan yang salah.
Otoritas berbeda dengan diktator/otoriter. Otoriter berasal dari diri sendiri dan semau diri sendiri. Ia bersifat keras, tidak sabaran, dan pemarah bila melihat pelanggaran. Sifat terserah pada diri sendiri ini terlihat dalam pengabaian tugas atau mengasihani diri sendiri dan ini bisa muncul pada pribadi yang paling lemah sekalipun seperti anak-anak.
Sebaliknya, otoritas tidak berasal dari diri sendiri melainkan “diberikan”. Seseorang yang diberikan otoritas memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya dalam garis tugas yang sesuai; dalam hal ini hukum, hak, dan kewajiban. Ia tidak banyak terganggu oleh terlalu banyak hal remeh karena tugasnya adalah menegakkan hal-hal yang prinsip. Karena tidak berasal dari diri sendiri, otoritas bersifat lembut dan penyabar. Otoritas bisa berpikir dengan cepat saat melihat perlawanan terhadap dirinya, kemudian melakukan evaluasi apakah perlawanan tersebut merupakan pelanggaran, atau justru karena ada hak orang lain yang dilanggar? Otoritas terbuka terhadap evaluasi dan diskusi, berani mengakui kesalahan, lalu melepas pihak yang melawan dengan berbesar hati.
Queen Elizabeth I adalah contoh pemegang otoritas yang baik. Bukan semata-mata karena ia seorang ratu, berikut adalah beberapa hal yang mendukung keberhasilannya:
- Dia memahami posisinya sebagai pemimpin
- Ketundukan orang-orang yang dipimpin
- Keterbukaan mereka untuk untuk berkonsultasi
- Ratu menyadari bahwa dia bukan segala-galanya atau akhir dari segalanya; tapi ia memiliki kesadaran bahwa dia ada UNTUK orang lain. Seorang pemimpin yang baik memiliki rasa simpati yang membuat dia mampu melihat dan merasakan dari sisi orang lain.
Dari keempat poin di atas terlihat bahwa orang yang dia pimpin pun secara alami menunjukkan ketundukan, rasa hormat pada otoritas.
Tubuh kita terdiri dari fisik/mekanik dan juga pikiran. Tubuh fisik bisa dilatih untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan tanpa banyak berpikir/beralasan lagi. Tubuh terbiasa untuk melakukan hal tersebut. Tubuh yang sudah terlatih untuk patuh akan mudah menjalankan perintah pikirannya. Tubuh yang tidak terlatih, kelembamannya akan tinggi. Contoh sederhana, ketika ada anak yang pikirannya menyuruh bangun pagi tapi badannya malas.
Karena itu, tubuh harus dilatih. Termasuk di antaranya otak; yang harus dilatih untuk taat. Pada anak, ketaatan dilatih supaya anak dapat membangun jalur di otaknya untuk melawan dirinya sendiri, dan patuh kepada kehendak orang lain (orang tua). Jalur itu akan bermanfaat saat dia harus patuh pada kehendaknya/tekadnya sendiri (will).
Jadi, tujuan melatihkan ketaatan bukanlah supaya anak taat pada Ibu agar semua menjadi lancar, melainkan agar anak memiliki kemampuan untuk melawan keinginannya sendiri. Dengan paradigma ini, saat anak tidak taat maka yang terlintas di hati ibu adalah ingin (bertekad) untuk menolong anak melawan dirinya sendiri. Bukannya marah karena merasa perintahnya ditolak (otoriter). Ibu akan dengan penuh kasih mencari cara agar anak akhirnya menyerah mempertahankan keinginannya dengan sukarela.
Dalam menentukan apa yang baik untuk dilakukan, tentu saja nurani (conscience) yang menjadi kompas. Namun, nurani tanpa kehendak yang kuat tidaklah cukup. Melatihkan salah satu saja menyebabkan pincang. Habit training adalah proses melatih kehendak, melawan keinginan diri sendiri. Ketetapan-ketetapan yang sudah diatur orangtua, bila telah menjadi kebiasaan akan dapat mengurangi kerja keras anak dalam memilih/memutuskan apa yang harus dilakukan. Sebab menentukan pilihan itu sendiri adalah sebuah kerja keras. Habit training berfungsi menolong otak anak agar tidak bekerja keras, mengurangi stress; tinggal mengikuti jalur yang telah ada.
Bagaimana kita menerapkan otoritas?
- Kita mencegah terjadinya pelanggaran sebagai akibat dari proses bernalar anak. Ini dapat dilakukan secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Pemegang otoritas bersikap bijaksana, jangan sampai terjadi pelanggaran karena terlalu banyak bermain nalar dengan anak karena terlalu sering menjelaskan mengapa suatu aturan ditetapkan. Seperti ditulis dalam volume 1 bahwa nalar bersifat netral, ia akan bisa membuat alasan untuk berbagai keyakinan/tekad. Jika anak memiliki keyakinan/tekad untuk menolak aturan tersebut, maka ia akan bisa bernalar membuat alasan untuk melawan alasan orang tua. Dalam berbagai hal jika anak mempertanyakan berbagai peraturan orangtua cukup menjawab, “Karena itulah yang benar, Nak.”
- Orangtua berjaga-jaga supaya tidak terjadi pelanggaran caranya dengan menyiapkan mental anak. Misal: 10 menit lagi waktunya tidur ya jadi adik main 5 menit lagi lalu kita bereskan. Ketika waktu membereskan mainan tiba, anak sudah siap.
Fokus habit training adalah demi perkembangan dan kebaikan anak. Tidak ada yang lebih mengenal anak daripada ibu, ibu mengetahui perasaan dan pikiran anak yang tidak tersampaikan. Ibu adalah orang terbaik untuk menegakkan otoritas pada anak. Jika ibu cukup peka bahwa perasaan anak sedang sedih atau marah untuk dapat melakukan kehendaknya, ibu dengan lembut dapat berusaha mengalihkan pikiran anak terlebih dahulu pada hal/pikiran yang menyenangkan kemudian pada saat yang tepat, kala ibu melihat hati dan pikiran anak sudah segar baru memberikan perintah (misal dengan tersenyum mengajak makan atau memulai pelajaran).
Ini berarti, dalam menegakkan otoritas, pihak ibu selalu berada dalam posisi menyangkal diri, menekan keinginan diri, dan mengorbankan diri sendiri. Hal-hal ini oleh anak diartikan sebagai rasa cinta dan kasih karena ibu yang demikian memberi ketenangan dan damai sejahtera dalam hati mereka.
Cara terbaik untuk mampu mempertahankan praktek otoritas seperti ini adalah dengan terus mengingat dari siapa otoritas orang tua berasal? Dari Tuhan. Itu adalah kasih karunia, berbarengan dengan ketundukan alami yang ada pada anak.
1 thought on “Ketundukan dan Otoritas di Rumah dan Sekolah”