Narasi atas Ourselves: Vol. 4 pg 70–71
Semua orang pasti ingin jadi orang kaya yang punya banyak uang. Uang yang tak berseri, ia bisa berbuat dan membeli apa saja tanpa khawatir. Mampu membeli satu tas yang seharga mobil, membeli mobil yang seharga rumah, dan mampu membangun satu rumah pribadi yang luasnya sama dengan satu RT di Jakarta. Ia belikan semua yang anaknya minta, ia manjakan diri dan orang terdekatnya, serta mulai membeli dan mengoleksi benda-benda yang tidak benar-benar berfungsi —sekadar memanjakan mata dan memuaskan diri.
Kini, anak-anak muda antusias soal pamer kesuksesan dan kemewahan. Kesuksesan sih sebenarnya tidak selalu bersifat materil dan tidak selalu beriringan dengan kemewahan, tetapi entah mengapa konten itu juga lebih digemari. Di tengah kesenjangan sosial di Indonesia, ajang pamer-pamer para ‘sultan’ itu agaknya menjadi tontonan hiburan. “Menghibur jiwa missqueen-ku…” Begitu komentar netizen pada setiap konten pamer kekayaan di media sosial.
Tidak banyak dibahas soal BAGAIMANA ia didapatkan.
Kita tentu masih ingat kasus penipuan agen perjalanan umroh yang membuat si pelaku dapat menikmati gaya hidup bak sosialita, jalan keliling dunia, kekayaan yang diperoleh dalam waktu singkat atas kezaliman terhadap orang lain. Belakangan pun sedang menghangat, tentang crazy rich dari kalangan milennial, yang sering dianggap sebagai panutan, motivator, inspirasi anak-anak muda untuk bekerja lebih keras serta mencari duit lebih giat — akhirnya terungkap dari mana mereka mendapatkan semua itu. Kesombongannya satu per satu terpatahkan, hartanya satu per satu disita, kebusukan akal piciknya terbongkar.
Rumah bak istana, koleksi (KOLEKSI) mobil mewah, ponsel mewah dibuang-buang, aksesoris bernilai milyaran yang… selalu membuatku berpikir: duh itu kalau dibelikan nasi bungkus untuk gelandangan dapat berapa ya? Kalau dipakai untuk bangun rumah sederhana untuk para tunawisma, jadi berapa ya? Kalau buat beli buku anak-anak dan jadi perpustakaan kecil, dapet berapa banyak ya?
Charlotte Mason menulis tentang hasrat dalam volume 4: Ourselves, yang salah satunya adalah hasrat akan harta.
The Desire of Wealth is another Desire that everybody has, more or less, and that does useful work in making us eager to acquire things useful and necessary for our lives, whether for our Bodies or our Minds. This same Desire moves a small boy to collect pocket-knives, buttons, string and marbles, and moves one rich man to get together a precious collection of great pictures, and another to become a millionaire, though he may not care to spend his money.
Aku jadi teringat seseorang yang baru menyadari bahwa ia memiliki koleksi T*pperware sampai puluhan dus banyaknya. Apakah semua perabot itu ia gunakan sehari-hari? Tidak. Sebagian disimpan saja masih berplastik, sebagian lagi dipajang di lemari. Tidak boleh sembarangan juga dipakai atau diberikan kepada orang lain. Lantas kenapa ia membeli itu semua? Karena selalu ada model baru, warna baru, meski sebenarnya fungsinya sama.
Ini senada dengan yang disebut Charlotte Mason sebagai worthless wealth. Diceritakan oleh Anatole France, tentang pasangan yang gemar mengoleksi kotak korek api. Mereka berkeliling dunia singgah di Palermo, Moskow, Tokyo, hanya demi berburu kotak korek api ‘langka’ yang berwarna biru — sedikit lebih biru — daripada yang sudah mereka punya. Yang lebih besar setengah inci daripada yang sudah mereka punya.
They do not stop to ask what the distinction of the ugly little box may be, but it differs a little from the rest; so, at any cost of time and trouble, they hasten to possess it. The novelist [Anatole France] is laughing at the craze people have for collections of any sort, worthy or unworthy; and this craze comes of the natural Desire of possessions implanted in Mansoul.
Hasrat akan harta secara alami ada di dalam diri manusia, dan seharusnya dapat menjadi alat yang baik bagi kita untuk memperoleh hal-hal yang berguna bagi kehidupan. Tetapi, jika manusia tidak dapat menguasai hasrat ini — dan malah diperbudak olehnya — hasrat ini berubah menjadi sifat tamak dan kikir; ia tidak lagi memiliki ruang untuk memikirkan orang lain. Yang ia pikirkan hanyalah kepuasan diri sendiri.
Ada orang yang di awal pandemi dulu menimbun hand sanitizer; di saat orang lain bahkan tenaga medis kesulitan mendapatkannya. Orang yang sama, beberapa hari lalu aku lihat di bawah meja makannya ada berderet-deret botol besar minyak goreng, entah berapa lusin; di saat orang-orang yang memerlukan harus rela antri hanya demi seliter-dua liter. Dia orang mampu, dan dia membeli semua itu just because she can.
Once a boy or man allows himself to be so far possessed by the Desire of getting and keeping, whether it be postage stamps or pictures, ornaments or money, that he thinks of nothing else — that this, of getting and keeping, becomes the ruling Desire of his life — why, he simply cannot part with that which has become his treasure; he cannot be generous, and his mind is so preoccupied that he has no time to be kind. His heart is set upon possessions for himself, and he becomes a selfish person. When the Desire of wealth fills the whole of life it becomes Avarice. The person who is always grasping after more wealth is avaricious; and he may come to such a pass that he cannot part with any of his wealth, even for his own bodily needs; such a man is a miser.
Dalam perspektif psikologi, hoarders seperti ini dilihat sebagai orang yang gagal membangun relasi dengan orang lain sehingga ia menyibukkan diri untuk berelasi dengan benda. Ia tidak ingin berbagi. Ini sangat berbanding terbalik dengan yang diajarkan dalam agama kita, untuk selalu membagi harta dan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain.
Al-Quran menyebutkan banyak tentang kecenderungan sifat manusia yang tamak dan cinta kepada harta.
- Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzaariyaat : 19)
- …dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (Al-‘Aadiyaat : 8)
- …dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqaan : 67)
Dalam surat At-Takatsur dan Al-Humazah disebutkan ganjaran yang akan menunggu orang-orang seperti ini; yang berlebih-lebihan, suka menimbun harta, dan menghitung-hitungnya. Na’udzubillah.
Nabi Muhammad bukanlah orang miskin, tetapi di rumahnya, beliau hanya menyimpan makanan untuk hari ini. Seringkali bahkan tidak ada makanan di rumahnya ketika ia bangun tidur, lalu ia memutuskan untuk berpuasa. Hartanya ia bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, untuk kepentingan ummat, hingga tersisa untuknya sedikit saja. Diketahui bahwa Nabi Muhammad tidur di ruangan sempit, serta menjahit sendiri bajunya yang sobek.
Beliau bersabda, “Sekiranya aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, aku tidak akan membiarkannya sedikit pun berada padaku hingga tiga hari, kecuali sekadarnya yang akan aku pakai untuk membayar utang.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau begitu sibuk memikirkan kepentingan ummat, tidak ada waktu untuk memikirkan dirinya sendiri dan tak tertarik lagi terhadap urusan dan harta duniawi. Allahumma sholli wa sallim wa barik ‘alaihi.
Mahatma Gandhi berkata, semua yang ada di dunia ini sesungguhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap orang. Tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginan satu orang. Sebagai contoh, dalam situs ini disebutkan, butuh lebih dari 5 Bumi untuk memenuhi gaya hidup orang Amerika saat ini.
Manusia yang diperbudak oleh hasrat akan harta tidak bisa berhenti di kata “cukup” dan ia tidak bisa mengerem hasrat untuk terus memuaskan diri. Tidak ada lagi ruang untuk memikirkan kepentingan orang lain. Cincin seharga 1 milyar, jam tangan 2 milyar, jaket 67 juta, mobil dan rumah yang lagi-lagi; kalau dihitung-hitung, berapa banyak faqir miskin yang bisa ia beri makan dengannya setiap hari? Berapa banyak sekolah yang dapat diperbaiki? Sikap kikir dan tamak seperti ini tidak sejalan dengan hakikat hidup manusia yang diberikan misi oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Terus menerus mengeruk sumber daya bumi hanya demi memperkaya diri justru sama dengan merusak bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al Baqarah: 30).
Secara lebih luas, Charlotte Mason membahas soal hasrat akan harta ini tidak hanya yang terkait kekayaan fisik; namun juga intelektual. Seperti Prospero yang menjadi lupa akan tugasnya sebagai pemimpin kerajaan karena terlalu lama mengurung diri dalam perpustakaan. Intelektual-intelektual yang hidup dalam menara gading dan tidak mengaplikasikan ilmunya untuk bumi dan masyarakat; sama tidak bergunanya dengan mereka yang sibuk menimbun harta. Lagi-lagi, dalam Islam tegas diajarkan bahwa sebaik-baiknya ilmu adalah yang bermanfaat. Setiap hal yang kita miliki akan dimintai pertanggung jawaban, untuk apakah ia digunakan? Ke mana saja harta kita belanjakan? Dan untuk apa saja ilmu kita diamalkan?