Hukum Kebenaran dalam Pendidikan

Narasi atas Home Education pg 38–41

Setiap orang tua pasti memiliki niat baik dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka; dan sebagian besar merasa cukup berbekal “common sense”. Bahwa bayi harus digendong ketika menangis, bahwa anak harus diajak bicara dan diberi makan, bahwa anak harus menaati orangtua, bahwa anak perlu belajar dan disekolahkan, dan seterusnya.

Padahal, ada begitu banyak hal yang mesti dipelajari dan dipahami orangtua sebagai pendidik utama. Ada hukum-hukum kebenaran yang berlaku universal, terbukti secara ilmiah, dan menjadi ketentuan alam yang tidak dapat dilanggar. Apabila ia dilanggar, pasti akan ada kerusakan yang muncul. Hukum-hukum ini berjalan sedemikian rupa dan teratur; bukan hanya perihal kejadian-kejadian yang termaktub dalam kitab suci, tetapi juga berlaku dalam hal-hal nyata di keseharian.

Sayangnya, menurut Charlotte Mason, banyak orang yang tidak beriman, tidak beragama, bahkan tidak percaya Tuhan; memiliki perilaku dan moralitas yang lebih baik daripada mereka yang mengaku beragama dan taat menjalankan ritual. Sebaliknya, tidak sedikit orang beragama dan mengaku beriman kepada Tuhan tetapi menunjukkan sikap dan pemikiran yang justru merendahkan Tuhan. Ironi ini dapat dilihat secara nyata oleh anak-anak dalam keseharian; dan apa yang anak-anak saksikan secara langsung (maupun interaksi mereka dengan orang-orang tersebut) dapat berdampak lebih besar bagi pandangan mereka tentang agama dan Tuhan; ketimbang bertahun-tahun doktrinasi yang mereka terima. Bagi CM, inilah ancaman sesungguhnya bagi agama.

It is a shame to believing people that many whose highest profession is that they do not know, and therefore do not believe, should produce more blameless lives, freer from flaws of temper, from the vice of selfishness, than do many sincerely religious people. It is a fact that will confront the children by-and-by, and one of which they require an explanation; and what is more, it is a fact that will have more weight, should it confront them in the person of a character which they cannot but esteem and love, than all the doctrinal teaching they have had in their lives. This appears to me the threatening danger to that confessed dependence upon and allegiance to Almighty God which we recognise as religion — not the wickedness, but the goodness of a school which refuses to admit any such dependence and allegiance.

Alam semesta berjalan dalam keteraturan karena ada hukum tak tertulis: Hukum Kebenaran, Hukum Alam, Hukum Tuhan. Kebenarannya tidak terbantahkan dan siapapun yang melanggar hukum ini, akan merugi. Dengan memahami dan menaatinya, kita akan selamat dan dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Contoh sederhana; kita bisa selamat ketika melintasi tepian jurang karena adanya hukum gravitasi yang membuat kaki tetap berpijak di atas tanah.

Hukum ini akan tetap berlaku bagi siapapun; entah ia percaya kepada kebesaran Tuhan atau tidak, entah ia mengaku beragama atau tidak. Sama halnya dengan sinar matahari yang menghangatkan seisi bumi. Ada orang yang menutup matanya dan menolak melihat sinar matahari; bahkan menyangkal keberadaan matahari sebagai sumber sinar yang menghangatkan dirinya itu. Tetapi selama matahari bersinar, ia tetap akan menerima kehangatan itu; baik ia menerima eksistensi matahari atau tidak. Demikianlah Hukum Alam berjalan dan berlaku bagi siapapun, entah ia percaya bahwa semua itu berasal dari ketetapan Tuhan atau tidak.

Adapun orang beriman yang menerima dan mensyukuri segala anugerah Tuhan namun menolak untuk bersusah payah memahami dan mempelajari bagimana prinsip-prinsip hukum itu bekerja, bagi CM; adalah orang yang sangat merugi. Mereka merugi karena merasa cukup dengan nikmat iman mereka; tanpa mengindahkan bahwa sesungguhnya dengan mempelajari prinsip-prinsip hukum kebenaran Tuhan yang berlaku dalam kehidupan — jika saja mereka melengkapi iman dengan ilmu — mereka akan lebih mengenal Tuhan dan semakin mengagumi kebesaran ciptaan-Nya.

Wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW adalah,

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan

Baca yang bukan berarti sekadar mengeja huruf, karena kita tahu Muhammad adalah seorang yang ‘ummiy, yang tidak bisa baca-tulis. Baca di sini bermakna membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan yang menciptakan.

Banyak sekali ayat dalam Al-Quran yang berisi perintah untuk menuntut ilmu, untuk berpikir, dan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu serta orang-orang yang menggunakan akal mereka sebaik-baiknya. Berikut salah satu ayat favoritku dalam Al-Quran, yakni QS Ali Imran ayat 190–191:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal; (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

Ulul albab yang disebut di atas ditafsirkan oleh Prof. Quraish Shihab sebagai orang-orang yang memiliki akal yang murni (saripati) yang tidak diselubungi oleh ‘kulit’, yakni kabut ide (pemikiran) yang dapat menimbulkan kerancuan dalam berpikir. Orang yang berilmu, ahli pikir sekaligus ahli dzikir, sehingga seluruh ilmunya tersambungkan kepada Allah Swt beserta seluruh isyarat kemahakuasaanNya, lalu menghantarnya menggapai keimanan, ketakwaan, dan kesalehan hidup.

These last blessings are so unspeakably satisfying, that often enough the believer who enjoys them wants no more… It is nothing to him that he is fearfully and wonderfully made; he does not care to know how the brain works, nor how the more subtle essence we call mind evolves and develops in obedience to laws.

Amat disayangkan apabila kaum beragama merasa cukup dengan imannya sehingga mereka merasa tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan cerminan dari sifat dan kebesaran Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Teliti, Maha Memperhitungkan.

Such a person might care nothing for the wonderful way in which he was created, or how the brain works, or the subtle ways that the mind develops in accordance with natural laws. They think that these earthly matters are worthy only of the attention of nonbelievers, as if it somehow dishonors God to focus on the way He displays His character in the laws of this world. They refuse to have anything to do with any laws except the blatantly religious ones.

Pada masa itu, banyak kelompok beragama yang menolak mendalami sains dan ilmu pengetahuan alam karena mereka khawatir menjadi serupa golongan sekuler yang mengagungkan ilmu pengetahuan dan mengesampingkan agama.

Kita mesti melihat kilas balik sejarah ketika Galileo Galilei diadili oleh gereja pada tahun 1633 karena mendukung Copernicus menyatakan temuan ilmiahnya yang menggemparkan yakni bahwa matahari adalah pusat tata surya dan bumi berputar mengelilingi matahari. Hal ini dianggap bid’ah, bahkan bertentangan dengan doktrin gereja yang menyatakan hal sebaliknya; bumi sebagai pusat tata surya dan matahari-lah yang mengitari bumi. Gereja Katolik memerintahkan Galileo untuk “mengharamkan, mengutuk, dan membenci” teori tersebut.

Peristiwa besar ini memunculkan dua kubu ekstrim; yang satu mengagungkan agama dan menolak ilmu pengetahuan, kubu lainnya membenci gereja, menolak agama, dan mengagungkan ilmu pengetahuan. Mereka menganggap, ilmu pengetahuan dan ilmu agama tidak bisa berjalan beriringan.

Golongan ini mempelajari ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral demi memahami langkah-langkah yang perlu ditempuh agar kehidupan berjalan harmonis dan efisien. Mereka mempelajari dan menghormati Hukum Alam, tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang spiritual, yang berasal dari Tuhan. Kepada sesama manusia dan makhluk hidup, mereka senantiasa melakukan kebaikan — bukan karena mengharap pahala atau surga, bukan pula demi menghindari dosa atau neraka; mereka melakukan kebaikan atas nama moralitas dan kemanusiaan semata, tanpa perlu diimingi-imingi imbalan atau ditakut-takuti ancaman.

Bayangkan jika anak-anak kita menyaksikan hal ini. Akal budi mereka pasti bertanya-tanya, bagaimana mungkin orang-orang yang tidak mengakui Tuhan, dapat berperilaku lebih baik daripada mereka yang mengaku mengenal Tuhan? Mengapa mereka yang tidak mempercayai Tuhan sebagai pemilik keagungan semesta, justru lebih bisa menghargai alam semesta dan ilmu pengetahuan daripada orang-orang yang mengaku mengimani kebesaran Tuhan? Para orangtua mesti siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini dari anak-anak, pertanyaan yang tidak bisa diabaikan karena ini terkait dengan keimanan. Cepat atau lambat mereka akan menyaksikannya.

Orangtua tidak berhak untuk terus menerus berdoa dan berharap bahwa anak-anak mereka akan menjadi pribadi yang jujur, rajin, cerdas, dan berbudi luhur sedangkan di saat yang sama mereka menolak untuk mempelajari prinsip-prinsip moral dan intelektual; yang ilmiah, dan seharusnya menjadi panduan dalam mendidik anak-anak dengan benar. Idealnya, menurut CM, setiap orangtua wajib menguasai dasar-dasar fisiologi dan psikologi sebagai bekal minimal mengasuh anak.

Bahwa, bayi baru lahir harus disusui oleh ibunya, bukan dikasih makan pisang atau daging cincang. Bahwa, anak pada usia tertentu harus mencapai berat badan dan tinggi badan tertentu. Bahwa, anak adalah peniru ulung yang akan meniru apapun yang ia lihat dan dengar. Bahwa, anak memerlukan bimbingan dalam mengelola emosi negatif, agar tidak menyakiti dan merusak. Bahwa, motor tidak diciptakan untuk dikendarai anak 9 tahun sambil berbonceng tiga dengan temannya di jalanan umum. Itu hukum alam. Yang kalau dilanggar atau tidak digubris, maka akan berpotensi bahaya bagi si anak. Kematian, gagal tumbuh, kurang nutrisi, meniru hal yang tidak baik, tidak mampu mengelola emosi negatif sehingga ia jadi pemarah dan pemukul, anak mengalami kecelakaan.

Semua itu, bukanlah semata-mata fakta ilmiah; melainkan juga Hukum Tuhan, yang berlaku secara pasti dalam setiap ciptaan-Nya.

They have no right, for instance, to pray that their children may be made truthful, diligent, upright, and at the same time neglect to acquaint themselves with those principles of moral science the observance of which will guide into truthfulness, diligence, and uprightness of character. For this, also, is the law of God.

Bagian ini menjadi penting untuk memahami pandangan CM terkait relasi agama dan ilmu pengetahuan. Di antara kedua kutub ekstrim yang sering dianggap berseberangan; CM justru menganggap agama dan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang tak mungkin terpisahkan. Alam semesta adalah representasi dari kebesaran pemikiran Tuhan dan ilmu pengetahuan dapat membawa kita langkah demi langkah semakin dekat kepada-Nya.

CM membagi kurikulum pendidikannya ke dalam tiga kategori besar, yakni: pengetahuan tentang Tuhan, pengetahuan tentang manusia, dan pengetahuan tentang alam semesta. Seiring bertambahnya pengetahuan seseorang tentang dirinya, tentang manusia, dan tentang alam semesta, selayaknya bertambah pulalah iman dan kekagumannya kepada Sang Pencipta. Dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam, misalnya. Tujuannya bukan hanya agar anak hafal karakteristik aneka tanaman atau klasifikasi hewan beserta nama-nama ilmiahnya. Semua langkah dalam metode pembelajaran ilmu pengetahuan alam yang diarahkan CM bertujuan untuk memelihara ketakjuban anak akan kebesaran dan keindahan Tuhan.

We should allow no separation to grow up between the intellectual and ‘spiritual’ life of children; but should teach them that the divine Spirit has constant access to their spirits, and is their continual helper in all the interests, duties and joys of life.

Tidak ada alasan untuk mendirikan sekat antara ranah intelektual dan spiritual dalam kehidupan. Kita mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua kebenaran adalah milik Tuhan, dan bahwa kajian sekuler sama baiknya dengan kajian religius. Mereka perlu sadar, kehidupan beragama dan kehidupan akademis bukanlah dua dunia yang terpisah, dan apapun yang ia pelajari atau kerjakan, Tuhan selalu bersama mereka.

1 thought on “Hukum Kebenaran dalam Pendidikan”

Leave a Comment

error: Content is protected !!