Ide yang Tertinggal

Narasi atas Towards A Philosophy of Education: Vol. 6 pg 1–23

Tepat di muka pemukiman para pemulung, enam pria melompat dari dalam taksi, kemudian sibuk menarik tubuh seseorang dari jok belakang. Kedua tangan dan kaki orang tersebut terikat kawat. Rintihan parau terdengar lemah dari tenggorokannya.

Ia sekarat.

“Ini siapa?” tanya Faried kepada pria yang berdiri di dekatnya.

“Kebo.”

Terdengar teriakan dari tengah massa.

“Buntungin aja tangannya!”

“Ceburin ke kali!”

“Bakar!”

Tiba-tiba seorang pemulung mengguyur tubuh tak berdaya itu dengan minyak tanah. Massa hanya menonton. Empat pria mengangkut tubuh Kebo, lalu meletakkannya ke dalam gerobak, bersatu dengan sampah plastik dan ban mobil bekas.

Para pemulung itu mendorong gerobak ke tempat pembakaran sampah sampai berhenti di bawah sebatang pohon mangga. Salah seorang dari mereka menyalakan korek api.

Itu adalah paragraf pembuka tulisan berjudul “Hikayat Kebo” karya Linda Christanty, seorang jurnalis dan aktivis dengan segudang karya dan prestasi. Ya, tulisan tadi merupakan sebuah reportase, karya jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastrawi. Ada tokoh, alur, bahkan kejadian mencekam dan menegangkan pun ditulis sedemikian ciamik hingga kita dapat memvisualisasikannya serupa adegan dramatis dalam film. Tetapi itu semua nyata dan fakta, bukan rekaan.

Hikayat Kebo pernah menjadi bahan kuliahku; bersama dengan puluhan tulisan lain karya jurnalistik serta buku kumpulan wawancara yang dikurasi secara hati-hati oleh dosenku; Sahat Sahala Tua Saragih.

Beliau adalah dosen yang bukan hanya akan selalu dikenang oleh setiap alumni Jurnalistik Unpad, namanya harum ke mana-mana. Bukan karena orangnya sangar atau galak — sama sekali tidak. Meski orang Batak, cara bicaranya lemah lembut seperti pituin Bandung. Bukan pula karena tugasnya yang alamak banyak — tidak juga. Seiring ketertarikanku mempelajari filosofi dan metode pembelajaran Charlotte Mason, aku menyadari bahwa apa yang membuat Pak Sahala dikenang begitu banyak muridnya adalah: karena ide yang ia hidupkan dalam benak kami.

Kertas akan musnah, nilai akan terlupakan, tetapi ide tidak akan pernah mati — ia tertinggal di dalam benak. Aku masih menyimpan buku-buku bahan kuliah dari Pak Sahala dulu: kumpulan wawancara Mochtar Lubis, tulisan Goenawan Muhammad, antologi liputan mendalam Andreas Harsono dkk, serta Hiroshima karya John Hersey. Tidak lain, aku ingin mereka dibaca anakku. Buku-buku hidup, yang mengandung ide-ide hidup.

Metode pengajaran Pak Sahala berbeda; baru kali itu aku diajar dengan metode begini. Ia tidak banyak bicara atau menerangkan; dalam setiap pertemuan, ia hanya memberi “PR”, kami mesti menuliskan apresiasi atas sebuah tulisan atau buku. Mau tak mau kami harus bisa selesai membacanya, kan. Bukan buku sembarangan, semua buku yang pernah ia berikan kepada kami senada dengan yang diungkapkan CM “A child’s intercourse must always be with good books, the best that we can find.” — buku-buku terbaik yang bisa ia temukan.

Tidak ditetapkan juga mesti nulis berapa lembar, tapi semua tulisan mahasiswa dibaca satu per satu, diberi tanda dan dikomentari, lalu dibahas dalam diskusi di pertemuan berikutnya. Kan jadi ketahuan siapa yang betul-betul tergugah dan siapa yang sekadar baca dengan “sistem kebut semalam.” Dari membaca naskah-naskah terbaik itulah kami memperkaya kosakata, membangun logika berpikir dan logika bahasa, lalu menuliskan pikiran kami dalam paragraf. Untuk membangun tulisan yang tak sekadar bisa — tetapi juga enak dibaca, kami belajar berima, kami belajar keindahan bahasa. Perihal ejaan sudah tak perlu dibahas lagi, kami mempelajarinya secara alamiah tanpa perlu banyak dikte. Selama perkuliahan dengan Pak Sahala, tanpa sadar kami telah mencerna puluhan judul buku dan tulisan yang seringkali berupa antologi karya jurnalistik terbaik peraih penghargaan atau wawancara serta kisah hidup tokoh-tokoh besar.

Mungkin tak sedikit dari kami ketika itu yang baru mendengar nama Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Wiji Thukul, atau baru memahami realita di balik fakta-fakta sejarah yang selama ini kami kira benar. Serangkaian karya reportase mendalam, multi-dimensional itu sering membuat kami mesti cari lagi dari sumber lain tentang peristiwa ini-itu, tokoh ini-itu, undang-undang ini-itu, lalu memilah mana yang fakta dan mana yang polesan. Secara tidak langsung, sebagai calon jurnalis kami dilatih untuk menemukan kebenaran.

Dengan literasi dan minat baca mahasiswa milennial yang pas-pasan, awalnya kami jiper melihat naskah-naskah panjang. “Itu tulisan semua?” Ya iyalah masa semut baris. Rasanya tak mungkin kami bisa menyelesaikan buku-buku itu jika tidak “dipaksa” Pak Sahala. Kenyataannya, aku malah terlarut keasyikan membaca dan sibuk sendiri mencari tahu lebih lanjut tentang hal-hal yang belum aku pahami dari bacaan itu. Bukan hanya demi kepentingan menyerahkan tugas; pada akhirnya aku melakukannya untuk menghilangkan dahagaku sendiri akan pengetahuan.

“…mind appeals to mind and thought begets thought and that is how we become educated. For this reason we owe it to every child to put him in communication with great minds that he may get at great thoughts; with the minds, that is, of those who have left us great works; and the only vital method of education appears to be that children should read worthy books, many worthy books.”

Akal budi selayaknya raga setiap manusia; juga membutuhkan diet kaya nutrisi. Mereka terus bertumbuh, dan senantiasa kelaparan. Butuh banyak buku; CM mengungkapkan istilah perlunya pendidik menyajikan “perjamuan ide” untuk memenuhi dahaga akal budi para muridnya akan ilmu pengetahuan. Dan itulah yang dilakukan oleh Pak Sahala terhadap kami. Lembaran-lembaran narasi kepanjangan, diskusi-diskusi kecil di antara kami yang berlangsung di luar kelas, adalah bukti betapa kami sebenarnya dahaga akan pengetahuan. Ide dari buku yang kami baca telah memantik kami untuk mencari tahu lebih banyak lagi.

“As knowledge is not assimilated until it is reproduced, children should ‘tell back’ after a single reading or hearing: or should write on some part of what they have read.”

Ketika menulis narasi, proses relasi dengan pengetahuan terjadi, hingga akhirnya aku menjadikan pengetahuan itu milikku, yang terus hidup di dalam benakku sampai kapanpun. Meski aku tidak lagi menjadi seorang mahasiswa, meski aku tidak lagi bekerja sebagai wartawan.

Ya, sepuluh tahun berlalu sejak aku meninggalkan kampus, apa kiranya yang membuatku masih mengingat Hikayat Kebo?

“Knowledge should be communicated in well-chosen language, because his attention responds naturally to what is conveyed in literary form.”

Menurut CM, siswa akan secara alamiah tertarik dengan pengetahuan yang dikemas dengan gaya berkisah. Hikayat Kebo, adalah sebuah tulisan tentang preman yang mati dibakar massa — setidaknya itu yang dapat ditulis dalam berita lima baris di koran lampu merah. Tetapi Linda Christanty mengambil sudut hidup Kebo untuk menuliskan 25 halaman reportase tentang kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia, realita kehidupan kampung pemulung di kaki kompleks menara Apartemen Taman Anggrek, fenomena kekerasan massa — sekaligus meninggalkan renungan mendalam bagiku tentang harga sebuah nyawa.

“A rhetorical passage, written in ‘journalese,’ makes no impression on him; if a passage be read more than once, he may become letter-perfect, but the spirit, the individuality has gone out of the exercise. An older boy or girl will read one of Bacon’s Essays, say, or a passage from De Quincey, and will write or tell it forcibly and with some style, either at the moment or months later. We know how Fox recited a whole pamphlet of Burke’s at a College supper though he had probably read it no more than once. Here on the very surface is the key to that attention, interest, literary style, wide vocabulary, love of books and readiness in speaking, which we all feel should belong to an education that is only begun at school and continued throughout life…”

Demikian pula dalam metode pembelajaran Charlotte Mason, dipilihkan buku-buku terbaik, klasik, dengan gaya berkisah dan ilustrasi yang indah. “I want so much for children,” kata CM, dan memberikan mereka buku-buku pelajaran yang dibuat asal-asalan berupa kumpulan fakta kering serta ilustrasi asal comot sama saja dengan merendahkan akal budi siswa.

Kita mengalami pelajaran sejarah di masa sekolah yang sangat membosankan. Seringkali ditempatkan di jam siang, dibimbing guru yang telah berumur menjelaskan sambil duduk dengan suara yang meninabobokan. Teksnya hanya berupa paparan fakta tanggal dan peristiwa, nama-nama tokoh yang mesti dihafalkan. Baru ketika kuliah aku membaca lebih banyak, aku merasa marah, betapa sederhananya peristiwa pertumpahan darah dan penderitaan rakyat dituliskan dalam dua paragraf yang akan keluar dalam ujian. Ini bukan hanya soal distorsi sejarah. Ketika kisah tentang keberanian, simpati, rasa takut, kengerian, dan deskripsi tentang wajah kuyu rakyat kelaparan serta prajurit yang berlumuran darah hilang dari paparan sejarah, maka rasa kemanusiaan kita pun ikut ditumpulkan.

Our schools turn out a good many clever young persons, wanting in nothing but initiative, the power of reflection and the sort of moral imagination that enables you to ‘put yourself in his place.’ These qualities flourish upon a proper diet; and this is not afforded by the ordinary school book, or, in sufficient quantity by the ordinary lesson.

Aku butuh waktu lama membaca “Hiroshima” karya John Hersey, karena diiringi imaji yang sesungguhnya tak ingin kubayangkan. Betapa selama ini aku hanya mengingat tanggal 14 Agustus 1945 sebagai tanggal jatuhnya bom nuklir, hingga Jepang yang dilabeli penjahat perang menyerah tanpa perlawanan.

Pendeta Tanimoto masih merasa marah kepada para dokter. Di mana para dokter ketika mereka semua membutuhkan perawatan medis? Timbullah keputusan bulat dalam hatinya. Ia akan memaksa seorang dokter datang ke Taman Asano, kalau perlu dengan menarik lehernya.

Dengan suara seketus mungkin ia berkata, “Mengapa Anda tidak datang ke Taman Asano? Anda sangat dibutuhkan di sana.”

Tanpa mengangkat muka dari pasien yang sedang diobatinya, sang Dokter menjawab dengan suara lelah, “Ini tempat kerjaku.”

“Tapi banyak orang sekarat di tepi sungai sana.”

Sang Dokter bergerak ke pasien lainnya. “Dalam situasi darurat seperti ini,” katanya seakan mengulangi kata-kata sebuah buku petunjuk, “tugas pertama adalah menolong korban sebanyak mungkin, untuk menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin. Tidak ada harapan untuk mereka yang terluka parah. Mereka akan mati. Kita tidak dapat memikirkan mereka.”

“Barangkali saja itu benar dari sudut pandang medis…” Pendeta Tanimoto mulai menjawab. Namun pandangannya segera diarahkan ke sekeliling lapangan. Ia melihat banyak mayat yang tergeletak berdekatan, bercampur dengan mereka yang masih hidup. Melihat itu, ia menghentikan kata-katanya dan berbalik pergi.

Selamanya aku akan mengingat mereka, tokoh-tokoh yang Hersey wawancarai, sebagai manusia yang berjuang bertahan di tengah kekejaman perang. Dan selamanya aku akan mengingat, peperangan tidak menghasilkan apa-apa kecuali kesengsaraan bagi rakyat.

People are naturally divided into those who read and think and those who do not read or think; and the business of schools is to see that all their scholars shall belong to the former class; it is worth while to remember that thinking is inseparable from reading which is concerned with the content of a passage and not merely with the printed matter.

Aku tidak tahu apakah Pak Sahala sungguh pernah membaca karya-karya Charlotte Mason, lalu mempraktekkan metodenya kepada kami. Tetapi ternyata itu adalah salah satu cara paling efektif dalam belajar, yang direnungkan dan diobservasi CM selama 50 tahun ia menjadi guru. Kini, ketika aku mempelajari tulisan-tulisan CM dengan tujuan untuk mendampingi anakku belajar, aku tidak bisa tidak teringat dengan masa perkuliahanku bersama Pak Sahala. Aku merasa menjadi contoh hidup keberhasilan metode ini, yakni lewat perjamuan ide, banyak bacaan buku berkualitas, serta narasi yang berfungsi mengikat pengetahuan.

Semua tulisan yang pernah kukerjakan sebagai tugas sejatinya adalah pemantik ide-ide dalam pikiranku, yang tidak pernah padam. Mereka adalah kunci pembuka pengetahuanku akan ranah-ranah pemikiran yang tidak aku ketahui. Mereka pula yang mengajarkanku tentang logika dan keindahan bahasa, kesempurnaan ejaan, serta banyak kosakata baru yang memancing keingintahuan. Dengan semua ide yang tertinggal ini, kini aku sebagai ibu tahu apa yang mesti kulakukan untuk mendampingi anak-anakku. Bukan soal seberapa cepat mereka bisa membaca— tetapi soal bagaimana menyajikan bacaan yang dapat meninggalkan ide-ide di dalam benak mereka, bagai benih yang terus tumbuh, berakar, dan menjadi besar.

2 thoughts on “Ide yang Tertinggal”

Leave a Comment

error: Content is protected !!