Membawa Anak Bermain di Alam

Narasi atas Home Education pg 42–52

Salah satu kekhasan pendidikan Charlotte Mason adalah, ia merekomendasikan anak-anak untuk sebanyak-banyaknya bermain dan belajar langsung di lingkungan alami; bukan lingkungan buatan yang dikondisikan khusus untuk anak-anak (artifisial). Maka, metode ini sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja karena tidak memerlukan aparatus atau alat peraga tertentu, bahkan tidak memerlukan ruang kelas!

Sejak dini, alam harus menjadi tempat pertama anak mengenal dunianya. Pada usia 0–5 tahun anak belajar menggunakan sensorimotor. Ia perlu merangkak, meraba, meremas, menginjak, memanjat, merasakan berbagai tekstur: lembut, kasar, basah, kering, keras, empuk, dingin, panas — semua itu dapat ia rasakan di alam bebas.

Usia yang disebut sebagai golden age, sehingga para orangtua berlomba-lomba mendaftarkan anak les ini-itu, mengajarkan calistung, dengan harapan pada usia itu buah hati mereka akan belajar sebanyak mungkin. Tidak heran, jamak kita temui balita-balita sibuk dengan jadwal penuh pagi-sore.

In this time of extraordinary pressure, educational and social, perhaps a mothers first duty to her children is to secure for them a quiet growing time, a full six years of passive receptive life, the waking part of it spent for the most part out in the fresh air.

CM anak usia dini tumbuh dengan tenang, tanpa banyak larangan dan tuntutan. Bukannya menjejalkan sebanyak mungkin “pembelajaran” sedini mungkin, ibu justru perlu melindungi anak dari segala macam tekanan dan membiarkan ia menghabiskan tahun-tahun pertamanya menghirup sebanyak mungkin oksigen, terpapar sebanyak mungkin sinar matahari, melihat sebanyak mungkin flora, fauna, dan panorama yang akan memperkaya pengalaman dan kosakatanya. Bukan 1–2 jam saja yang disarankan CM, melainkan sebanyak mungkin waktu di luar rumah.

Never be within doors when you can rightly be without.

Bagi penduduk kota, ia menyarankan untuk sesering mungkin makan di ruang terbuka, meski hanya di teras rumah. Agendakan acara piknik keluarga ke alam. Artinya, jangan sekadar menunggu ada kesempatan atau waktu luang, acara keluarga di alam terbuka harus diagendakan secara rutin. Orangtua yang sadar pentingnya hal ini bagi anak-anak, tentu akan mengusahakan sedapat mungkin.

Di alam terbuka, anak-anak tidak perlu “behave”. Mereka boleh berguling-guling di atas rumput, memanjat pohon, nyemplung di sungai atau lumpur. Sesuai dengan karakteristik mereka yang tidak mau diam, seperti belatung nangka yang uget-uget terus, di alam mereka bebas melakukan itu. Jika kita memahami urgensi bermain di alam, kita pun tidak perlu terlalu sering berteriak, awas kejedot, awas jatuh, awas kotor, awas basah, karena memang di sini mereka boleh merasakan semuanya.

“Eh, anakku tuh senengnya memang main di luar sama temen-temennya, sampe sore baru pulang!” Bukan ini yang dimaksud CM, anak dibiarkan main tanpa pendampingan. Ibu harus hadir menemani, mengajak, dan mengawasi. Tanpa perlu banyak bicara, peran ibu justru sangat penting untuk memastikan jam-jam panjang di luar rumah itu bisa berlangsung aman, seru, dan penuh pembelajaran. Masterly inactivity, ibu berperan sebagai master of the agenda, tetapi dalam agendanya tersebut ia sebaiknya lebih banyak bersikap inactive, membiarkan anak-anak yang active bereksplorasi.

Berikut hal-hal yang mesti dipersiapkan ibu untuk anak-anak:

  1. Gunakan pakaian yang nyaman; bawa ganti bila perlu
  2. Gunakan alas kaki
  3. Bawa buku catatan dan pensil untuk membuat nature journal. Anak usia dini memang belum perlu membuat jurnal, tetapi ibu dapat menumbuhkan atmosfir dengan melakukannya sendiri
  4. Siapkan wadah khusus untuk membawa pulang temuan, misalnya ulat, kepompong, atau daun/bunga
  5. Bawa bekal minum dan makan

Selama menemani anak bermain di alam, ibu tidak perlu banyak bicara, memerintah atau menceramahi. Biarlah anak-anak menemukan sendiri hal-hal yang menarik perhatian mereka. Sama ketika kita sedang menonton pertunjukan sirkus, kita tidak ingin orang di sebelah kita terus menerus berbicara kan? Itu akan sangat mengganggu kita yang sedang ingin menikmati pertunjukan. Demikian pula alam, terbuka di hadapan mereka bagai buku yang tidak akan habis untuk dibaca. Lalu, apa yang bisa dilakukan seorang ibu agar momen ini menjadi kesempatan anak belajar banyak hal; tanpa ia perlu banyak berceramah?

Sight seeing — Anak-anak secara alami akan langsung berlarian menuju alam serupa menghambur ke dalam pelukan. Ibu bertitip pesan, “Coba, siapa ya yang bisa ceritakan paling banyak tentang apa saja yang dia lihat dan temukan? Bukan yang paling cepat ya, Mama akan senang sekali sama yang bisa cerita paling banyak.” Anak-anak suka bercerita, jadi pasti mereka akan mengoceh panjang lebar dan tak sabar mengajak ibu melihat sendiri semua temuannya itu.

Ini adalah permainan bagi anak-anak, tetapi dengan kehadiran ibu, mereka belajar banyak hal. “Itu ada daun yang pinggirnya tajam-tajam…” Bergerigi… “Eh iya bergerigi, nah terus dia itu naik-naik kayak pegangan ke pohon yang ada di sebelahnya,” Hmm, merambat… “Iya merambat… Terus tadi aku lihat siput, dia jalannya lama banget dan bekas jalannya itu jadi basah,” Iya, karena siput berlendir. “Oh itu namanya lendir!”

Ibu memperkaya kosakata anak.

“Aku tadi lihat pohon rambutan buahnya buanyakkk banget sampe jutaan miliaran buah di pohonnya!” Emang sampai jutaan miliaran buahnya? “Enggak sih maksudnya banyak banget gitu! Di ujung situ ada, di sebelah sana ada lagi, bergerombol merah-merah!”

Ibu melatih anak kebiasaan berkata jujur sesuai fakta tanpa melebih-lebihkan.

Bagi anak yang mampu menceritakan dengan detail apa-apa saja yang telah mereka lihat dan temukan, ibu akan dengan senang hati mendatangi pohon atau serangga yang sangat ingin mereka tunjukkan itu. Tetapi jika ia hanya mampu memberitahu satu-dua hal singkat dari pengamatan yang kurang menyeluruh, ibu tidak akan pergi melihat pohon atau serangganya sampai ia kembali lagi dan dapat menyampaikan lebih banyak detail akurat, barulah ibu berkenan turut melihat temuan yang ia banggakan itu. Ibu memberikan apresiasi kepada anak yang melakukan pengamatan dengan baik, sekaligus mengajarkan konsekuensi untuk anak yang masih kurang teliti pengamatannya, dengan cara yang sangat gentle, dan tidak bersifat materil.

Ibu melatih kemampuan observasi dan kebiasaan memperhatikan.

Jika dilakukan secara rutin dan konsisten, seiring waktu kemampuan anak untuk memperhatikan akan meningkat sehingga ia bisa menceritakan lebih banyak, dengan kosakata yang semakin beragam. Ia akan dapat mengidentifikasi kelopak dan mahkota bunga, kulit dan lapisan kayu, menyebut beragam gradasi warna, bagian-bagian tubuh hewan, dan seterusnya. Seorang anak berusia 7 tahun yang rutin nature walk bersama ibu mereka, akan mampu mengidentifikasi bedanya serangga dengan arachnid, bedanya rumput dan lumut, bahkan melihat perbedaan daun yang bolong akibat dimakan ulat, kepik, belalang, atau siput!

At the same time, here is the mother’s opportunity to train the seeing eye, the hearing ear, and to drop seeds of truth into the open soul of the child, which shall germinate, blossom, and bear fruit, without further help or knowledge of hers.

Teman-teman di komunitas Charmed memiliki rumus unik untuk melatih rentang konsentrasi anak saat memperhatikan suatu objek di alam.

“Ku per — Ku ber — Ku ter”

Ku perhatikan, ku bertanya-tanya, ku teringat.

Ku perhatikan, siputnya lama sekali berjalan. Kalau berjalan, dia meninggalkan jejak lendir.

Ku bertanya-tanya, ini siputnya agak berbeda dari yang pernah kami lihat sebelumnya, siput apa ini? Berapa lama ya dia untuk sampai ke pohon sana? Bagaimana cara dia menghindari predator? Apakah bayi siput terlahir bersama cangkangnya? Apakah ia perlu berganti cangkang seperti kelomang?

Ku teringat, es krim, ekor bunglon, bolu gulung, saat melihat bentuk cangkangnya.

Anak-anak yang terbiasa dengan pergerakan gambar serba cepat di layar mereka, membayangkan duduk setengah jam memperhatikan siput, rasanya sudah kesemutan duluan. Padahal kita tahu, para peneliti dan ilmuwan besar dapat menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperhatikan suatu hal.

Aku akan menyebut tiga perempuan luar biasa yang akan kuceritakan bak legenda kepada anak-anakku,

Dian Fossey — menghabiskan 19 tahun hidup di tengah hutan Rwanda mengamati kehidupan gorilla hingga nyawanya berakhir di tangan para pemburu gelap gorilla yang merasa terganggu dengan kehadirannya.

Jane Goodall — perempuan yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kelestarian simpanse dan memulainya sejak usia sangat muda. Ia tinggal di Tanzania untuk memerhatikan, mencatat, dan melahirkan banyak teori penting terkait perilaku simpanse dari hasil observasinya yang luar biasa.

Birute Galdikas — mungkin paling kurang dikenal, tapi tidak ada seorang pun dalam sejarah yang menyamai prestasi dan pemahamannya tentang orangutan, bahkan ia mengaku dapat menebak apa yang sedang dipikirkan seekor orangutan hanya dengan melihat perilakunya. Ia datang ke Tanjung Puting pada 1971 ketika tempat itu masih berupa hutan tak terjamah.

Mereka semua memulai pengamatan dengan lembaran buku catatan kosong dan pensil — serta tahunan kegigihan dan konsistensi — yang kini menjadi harta tak ternilai bagi ilmu pengetahuan manusia.

Picture painting — Ibu meminta anak untuk mengamati setiap detail dari pemandangan yang ada di hadapannya, secara utuh; ibarat memvisualisasikan satu bingkai lukisan. Lalu anak diminta untuk memejamkan mata dan menceritakan lagi kepada ibu apa yang ia rekam dalam memori.

This, too, is an exercise children delight in, but, as it involves some strain on the attention, it is fatiguing, and should only be employed now and then. It is, however, well worth while to give children the habit of getting a bit of landscape by heart in this way, because it is the effort of recalling and reproducing that is fatiguing; while the altogether pleasurable act of seeing, fully and in detail, is likely to be repeated unconsciously until it becomes a habit by the child who is required now and then to reproduce what he sees.

Kegiatan ini melatih kemampuan konsentrasi, dan mental imaging yang sebenarnya sangat melelahkan bagi otak si kecil. Mungkin ia akan butuh contoh dulu dari ibu, mungkin ia akan butuh bantuan untuk dapat melihat dan mengingat lebih banyak. Picture painting tidak perlu sering-sering dilakukan, tetapi sangat layak untuk dilatihkan.

Apa yang bisa diceritakan anakku tentang pemandangan di depan rumah kakeknya ini?

“Ali lihat gunung berwarna kebiruan bentuknya seperti segitiga yang tidak rata. Ada banyak pohon kelapa dan pisang. Ada saung dan pagar bambu di sebelah sana, Ali pernah lihat di dalam pagar bambu itu ternyata kandang angsa. Sawah terlihat luasssss banget dari depan Ali sampai ke bawah gunung sana juga masih sawah. Tapi banyak sawah yang sudah tidak ada padinya, sudah dipanen. Sawahnya diisi ikan, di depan Ali lihat Abah Yai (kakek Ali) lagi pakai topi, nyemplung ke lumpur kakinya terbenam sampai dekat lutut. Matahari panas banget di kepala Ali tapi kalau sudah nyemplung ke lumpur kaki terasa dingin.”

All the time, too, the children are storing up memories of a happy childhood. Fifty years hence they will see the shadows of the boughs making patterns on the white tablecloth; and sunshine, children’s laughter, hum of bees, and scent of flowers are being bottled up for after refreshment.

Pendidikan adalah proses menciptakan kenangan. Berkali-kali CM bicara tentang menyimpan memori masa kecil. Betapa banyak ingatan yang kabur tentang lingkungan masa kecil kita, seringkali hanya berupa potongan-potongan adegan yang tak utuh. Ini sesungguhnya sangat menyedihkan. Bukan karena ingatan kita yang usang dimakan waktu; menurut CM, ini terjadi karena ketika di masa kecil itu, kita tidak pernah betul-betul mengingatnya.

… and think what a delightful possession for old age and middle life is a series of pictures imaged, feature by feature, in the sunny glow of the child’s mind!The miserable thing about the childish recollections of most persons is that they are blurred, distorted, incomplete, no more pleasant to look upon than a fractured cup or a torn garment; and the reason is, not that the old scenes are forgotten, but that they were never fully seen. At the time, there was no more than a hazy impression that such and such objects were present, and naturally, after a lapse of years those features can rarely be recalled of which the child was not cognisant when he saw them before him.

Kelak, anak akan memasuki masa dewasa yang penuh tekanan dan tanggung jawab, hari-harinya akan sibuk dan mungkin membuat penat. Alasan orang mengoleksi karya seni adalah untuk dapat menikmatinya dan sejenak meredam kepenatan pikiran. Namun, bagaimana jika bingkai demi bingkai alam indah kenangan semasa kecil itu masih tersimpan utuh dalam memorinya? Di masa itu, seseorang baru akan paham betapa memori masa kecil merupakan harta tak ternilai.

Sewaktu SD dulu, ada sebatang pohon jambu pendek di depan rumah, yang bercabang menyerupai huruf Y. Aku sering menghabiskan waktu di situ, yang rasanya pas sekali untuk sandaran punggung dan kakiku. Pernah ibu mencariku ke mana-mana siang-siang, padahal aku lagi ketiduran di situ dengan wajah tertutup majalah Bobo. Begitu lekatnya memori itu sampai aku masih mengingat jelas sinar matahari siang nan terik menyeruak dari balik rimbunnya dedaunan. Kala itu aku berpikir, bagaimana mungkin di bawah pohon sini sangat adem, sedangkan di luar sesungguhnya sangat panas?

Aku masih terbayang burung-burung gereja yang hilir mudik di antara ranting; namun satu peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan adalah ketika aku melihat seekor ngengat gajah (Attacus atlas) hinggap di salah satu pucuknya. Aku kaget sekaligus terpesona, takut bercampur kagum — belum pernah aku melihat serangga sebesar itu — tetapi aku tidak mau bergerak karena khawatir ia terbang menjauh. Aku mematung sembari memperhatikan pola indah di sayapnya yang besar. Untuk anak kota sepertiku, pengalaman melihat ngengat gajah terbilang langka; mungkin bisa dihitung jari. Aku bersyukur saat ini masih mampu mengingat momen-momen indah itu secara utuh dalam memoriku, meski sudah puluhan tahun berlalu.

Kira-kira seperti inilah kepingan memori itu — melihat Attacus atlas sedemikian dekat

… that though she does not paint her pictures on canvas and have them put in frames, she carries about with her just such a picture gallery; for whenever she sees anything lovely or interesting, she looks at it until she has the picture in her mind’s eye; and then she carries it away with her, her own for ever, a picture on view just when she wants it.

Begitu personalnya kenangan akan suatu pemandangan di benak anak, Charlotte Mason menyarankan agar orangtua tidak perlu memaksa anak untuk menceritakan ulang dan memamerkannya kepada orang lain. Kita tahu bahwa hal itu memerlukan usaha lebih bagi otaknya. Di sisi lain, kita juga perlu menghargai apabila anak lebih ingin menyimpan kenangan itu untuk dirinya sendiri.

Leave a Comment

error: Content is protected !!