Taking Up The Torch of Narration

Narasi sangatlah mudah. Tak perlu instruksi formal, alat khusus atau evaluasi apapun. Ini semudah berkata, “Ceritakan padaku tentang itu.”

Narasi sudah digunakan dalam pendidikan jaman kuno. Di Yunani pembelajaran retorika menggunakan narasi dalam latihannya, terutama untuk pemula. Di jalur formal, belajar retorika berarti mempelajari banyak materi dan komposisi yang kompleks. Tiap murid mesti mempelajarinya  dan melatihnya dengan baik. Harapannya, suatu saat mereka dapat menggabung-gabungkan dan membuat komposisi yang efektif. 

Namun, ada pendidik yang merasa, retorika dapat dipelajari dengan cara yang lebih alami. Augustine, seorang santo abad 4, guru retorika di Carthage, Roma dan Milan berkata, 

“Seperti bayi yang tak dapat belajar berbicara kecuali dengan mempelajari kata dan kalimat dari mereka yang berbicara, mengapa seseorang tidak bisa menjadi pandai berpidato tanpa diajari seni pidato, namun hanya dengan membaca dan mempelajari pidato para orator dan menirukannya sejauh yang mereka bisa?

Kita mengenal banyak orang yang pandai pidato tanpa mengenal hukum-hukum retorika, bahkan mungkin lebih pandai dari yang belajar. Tapi kita tidak mengenal seorangpun yang pandai berpidato tapi tak pernah mendengar dan membaca pidato-pidato serta debat para pembicara.”

Sama seperti Augustine percaya retorika bisa ditumbuhkan secara alami, begitupun narasi sebagai bagian dari retorika.

Baca, dengarkan, narasi — maka kecakapanmu bertumbuh.

Topik paling sederhana yang dilatih para pemula disebut progymnasmata (progym) yang arti katanya pra-latihan. Inti dari progym adalah menceritakan sesuatu yang telah terjadi, sama dengan narasi. Latihan sederhana ini tak hanya membangun pondasi dasar retorika namun juga membentuk cara berpikir dan belajar murid level tinggi, tak hanya di kelas atau waktu belajar. Mereka memperhatikan, mendapat pengetahuan dan mengartikulasikannya kapan saja.

Erasmus, seorang pembelajar terkenal di jaman Renaissance berkata, walaupun melibatkan lebih banyak waktu dan kesulitan bagi pengajar, namun meminta murid mereproduksi ulang yang sudah diberikan di kelas jangan sampai dihilangkan. Bukan reproduksi sesuatu yang persis sama, namun intisari yang dipresentasikan dengan cara sang murid sendiri.

Comenius, seorang pendobrak dunia pendidikan yang hidup setelah masa Erasmus juga merekomendasikan narasi dengan jelas. Dia menyarankan murid untuk bisa belajar beraksi seperti guru. Begitu guru selesai mempresentasikan sesuatu murid segera diminta melakukan presentasi yang sama. Lalu mereka diminta merelasikan apa yang mereka pelajari di sekolah pada siapapun yang ada di rumah.

Mereka yang diizinkan bicara atau menulis dengan menggunakan bahasa mereka sendiri tentang apa yang mereka pelajari, akan menanamkan cara berpikir yang original yang tak hanya berguna untuk mengisi titik-titik. Metode ini telah digunakan di masa lampau, mengapa kita tidak melakukannya juga?

Charlotte Mason juga memikirkan hal tersebut, sebuah metode yang setua umur akal budi manusia, tapi mengapa sangat sedikit digunakan lagi?

Dari mana ia mempelajari atau mendapat ide tentang narasi, tidak ada yang tahu pasti. Namun CM dekat dengan banyak tokoh pendidikan berpengaruh dalam sejarah. Mungkin ia mempertimbangkan saran-saran mereka, bereksperimen, dan menemukan kekuatan narasi sebagai alat pendidikan. 

Semua sekolah PNEU secara terintegrasi mempraktekkan narasi. Beberapa terus menggunakan dan meneruskannya ke generasi berikutnya: generasi murid yang menikmati kesempatan untuk belajar bagaimana berpikir dan mengekspresikan diri dengan baik. Narasi tak lagi jadi ilmu kuno. Sebuah aktivitas alami manusia, fondasi dari interaksi dengan manusia lain. Dengan landasan sejarahnya, semakin kita mempelajari bagaimana menggunakannya, semakin akan kita temukan banyak keuntungan di dalamnya.

 

NARASI MENGGUNAKAN SELURUH AKAL BUDI

Arti harfiah narasi berasal dari bahasa latin yang berarti ‘mengetahui’. Tak mungkin menarasikan hal yang tak kita tahu. 

Mereka yang biasa mengerjakan soal pilihan ganda, benar salah, hanya akan mengembangkan kemampuan berstrategi mencari jawaban yang sudah pasti ada di kertas. Berbeda dengan narasi, saat anak tahu dia akan diminta menceritakan ulang yang dia baca atau dengar, dia harus benar-benar tahu, memahami baris teks yang diberikan padanya. 

Saat teks selesai diberikan, seluruh akal budinya digunakan untuk mengumpulkan tiap detail lalu menyusunnya dengan runtut agar masuk akal. Akal budi terus bertanya pada dirinya sendiri, ‘apa selanjutnya?’ sampai dia usai menceritakan semua yang penting baginya.

Proses narasi pada pikiran seperti proses pencernaan pada tubuh. Pikiran akan mengklasifikasi, membuat struktur, memformulasikan, dan akhirnya mengartikulasikan pemikiran itu dalam kata-kata dan kalimat. Seakan kita melemparkan bola dan anak akan mengusahakan koordinasi syaraf, otot, dan tulang yang diberi energi oleh sistem pencernaan dan endokrin. Anak bersenang-senang saat dilatih semua anggota tubuhnya itu, begitupun saat kita meminta mereka narasi.

Setiap anak melalui prosesnya masing-masing. Mungkin sulit awalnya, namun mereka terus menjadi lebih baik. Terbukti, sebuah narasi yang dilakukan dengan baik di bulan Oktober masih akan iaingat dengan jelas di bulan Desember. Kita tidak perlu memikirkan kompleksnya proses ini. Lakukan saja, mereka akan melatih kompleksitasnya dengan gembira.

Memahami proses ini memberi kita petunjuk apa yang bisa kita harapkan dan bagaimana melatihnya. Anak kecil mungkin akan menjatuhkan bola terus dan melempar dengan liar, kita bisa terus menyemangatinya, memuji setiap kemajuan, memberi saran atau memberi contoh.

Banyak studi menemukan hubungan antara berbicara dan ingatan. Namun efeknya akan lebih meningkat saat materi tidak hanya dibaca lantang tapi juga diceritakan pada pendengar aktif. Sensori motor saling terintegrasi dan menerima lebih banyak saat berkaitan dengan ekspresi verbal.

Untuk mendukung integrasi pengetahuan yang telah mereka cerna dengan suatu materi baru, mintalah mereka menceritakan apa yang terjadi di sesi yang lalu. Mereka akan berlatih membangun kemampuan membandingkan, menyamakan, dan mengilustrasikan dengan contoh yang membentuk analogi mereka.

Narasi yang konsisten akan menambah kosakata dan kemampuan menggunakan kalimat panjang. Sebagian besar memang tergantung pada buku-buku yang mereka baca, dan mereka akan menyerap kata-kata dan gaya bahasa dari penulis menjadi narasi unik miliknya sendiri. 

Semakin banyak dan kompleks, anak secara tidak langsung akan mendapat intuisi pemahaman bagaimana kata-kata disusun tanpa perlu ditatarkan pelajaran tata bahasa. Dan ini tidak segera kita lihat hasilnya, takes time, tapi perlahan saat mereka berbicara dan menulis kita akan lihat tidak ada yang sia-sia. Pelatihan konsisten akan melatih bagian tertentu dengan efektif dan hasillnya tahan lama. Seperti seorang ayah yang tiap hari melatihkan tangkap bola bisa jadi menghasilkan seorang atlet.

Mastery cannot be hurried or forced, but patience and persistence will yield their fruit.

Keahlian tidak dapat diburu-buru atau dipaksa, namun kesabaran dan persistensi pasti menuai buahnya.

Kemarin kami baru menonton percakapan Sabrang–atau Noey Letto– dengan ayahnya Cak Nun. Cak Nun bertanya pada puteranya, apakah beda ilmu dan pengetahuan? Noey memberikan analogi, pengetahuan itu seperti sebongkah batu bata, segunduk pasir, sekantung semen, sementara ilmu adalah rumah yang dihasilkan oleh benda-benda tersebut. Pengetahuan ada di luar sementara ilmu adalah sesuatu yang sudah jadi bagian diri kita. Hal ini membuatku merenung, selama ini dengan begitu banyaknya hapalan, kita sekedar memberi pengetahuan pada anak-anak, namun bukan mengilmui mereka.

Salah satu membangun pengetahuan menjadi ilmu adalah dengan bernarasi. Anak menghubungkan pengetahuan lama di akal budi mereka dengan yang baru saja mereka dapatkan. Satu hal akan mengingatkan pada hal lain yang mungkin sehari, seminggu, atau bahkan sebulan lalu mereka baca. Proses ini juga menumbuhkan gudang ingatan dan pemahaman mereka. Berkembanglah kebiasaan mereka mensintesis pemikiran. Sebuah kebiasaan yang akan selalu mengintegrasikan segala hal berbeda yang diketahui menjadi suatu pemahaman yang saling berkait. Kebiasaan mencari persamaan dan koneksi pada satu hal ke hal lain. Kebiasaan mencari prinsip dari berbagai contoh untuk kemudian menggunakan apa yang didapat dari satu bidang ke konteks yang lain.

Berlawanan dengan berpikir analitis, di mana pelajar diminta untuk ‘berjarak’ dari apa yang mereka pelajari, membedahnya, sehingga justru kehilangan koneksi dengannya. Analisis adalah alat yang berguna, namun alangkah baiknya ditunda sampai anak memiliki pemahaman terintegrasi yang mapan. Kita akan berpikir, memahami, menganalisa dengan baik jika kita telah memahami ilmunya. Jangan biarkan anak belajar menghancurkan pemahaman sebelum mereka bisa membangunnya. 

Butuh waktu melatihkan kebiasaan berpikir untuk membangun pemahaman yang saling berkaitan di bidang yang berbeda sampai seorang pengajar bisa memberikan tugas, ‘Bandingkan kepemimpinan Napoleon Bonaparte dan George Washington.” Pemikiran macam ini tak bisa dibangun dengan kerja mekanis menjawab pertanyaan. 

Saat belajar tentang kepemimpinan, misalnya. Metode didaktis biasanya sudah menyaring prinsip-prinsip menjadi kalimat-kalimat pendek. Tapi prinsip ini tidak utuh, anak hanya bisa mengingat tapi tak memahami apalagi mempraktikkannya. Mereka butuh membaca biografi utuh seorang pemimpin, memahami cara berpikirnya saat bertemu masalah dan bagaimana mereka beraksi. Kisah Robert the Bruce yang putus asa lalu melihat bagaimana jaring laba-laba dibangun perlahan menumbuhkan kekuatan dan keberanian bisa menjadi pengingat saat anak-anak ada di satu titik mereka ingin menyerah. Semakin banyak kisah, semakin dalam keyakinan yang berasal dari contoh dan pengalaman selain dirinya.  

Hanya saat tubuh mendapat makanan yang cukup dan dilatih, otot-otot dapat bertumbuh kuat. Begitupun akal budi. Buku-buku terbaik adalah nutrisi yang dibutuhkan dan narasi adalah latihan terbaik.

Saat kita tumbuh dengan kemampuan menulis dan bicara yang buruk, jarang ada yang menganggap bahwa itu berasal dari kemampuan berpikir yang lemah. 

Maka, segera lakukan narasi, mulai dari sekarang.

Kita sebagai pendamping baru bisa merasakan kekuatan narasi setelah mempraktekkannya sendiri. Setelah membaca materi ini, segera tutup buku dan cobalah bernarasi, boleh pada seseorang di sekitarmu atau pada dirimu sendiri. Mulai sebisamu, jika satu bab terlalu berat, kau bisa mulai dari paragraf per paragraf. Mungkin di awal akan terasa sulit, namun seiring waktu kau akan merasa lebih mudah. Sama seperti baru pertama berlatih melempar bola, atau berlatih plank, perlahan kau akan makin mahir karena ototmu terus bertumbuh di area yang kau latih.

Butuh ketekunan, karena berlatih renang sekali sebulan tentu tak membuat kita jadi perenang yang baik dengan segera. Butuh proses lama dari bernarasi lisan dengan baik sampai jadi pemikir yang kuat dan penulis yang baik.

Konsistensi dan keteraturan adalah kunci.

Leave a Comment

error: Content is protected !!