Manusia sebagai Makhluk Kebiasaan

Narasi atas Home Education pg 97-117

Tentang metode pendidikannya, Charlotte Mason selalu mengacu pada hukum alam yang senantiasa berjalan dalam keteraturan. Dengan memahami hal ini, pendidik hanya perlu menyesuaikan metode pembelajaran sesuai dengan kodrat alami manusia.

Pada bab sebelumnya tentang Out of Door Life for The Children, Charlotte Mason mengungkapkan ketertarikan alami setiap anak akan segala misteri alam, kemampuan memperhatikan dan observasi yang tampak sejak teramat dini — dan sejatinya menjadi pondasi awal pendidikan. Alam terbuka mampu memfasilitasi segala rasa ingin tahu anak usia dini dan kebutuhan mereka untuk bergerak bebas, serta merasakan berbagai sensasi dan tekstur. Dengan memahami ini, pendidik akan mampu memfasilitasi anak-anak usia dini dengan proses belajar yang kaya dan bahagia, tanpa banyak larangan dan perintah untuk duduk diam, rapi, teratur dan mengikuti agenda orang dewasa yang tidak sesuai dengan kebutuhan alaminya.

…and that, therefore, the endeavour of his parents should be to put him in the way of making acquaintance freely with Nature and natural objects; that, in fact, the intellectual education of the young child should lie in the free exercise of perceptive power, because the first stages of mental effort are marked by the extreme activity of this power; and the wisdom of the educator is to follow the lead of Nature in the evolution of the complete human being.

Berikutnya, Charlotte Mason membahas tentang hukum kebiasaan, yang lagi-lagi menurutnya; merupakan suatu hukum alam. Merencanakan dan mengawal pembentukan kebiasaan anak-anak tidak berarti membuat mereka jadi makhluk mekanik serupa robot. Faktanya, manusia memang merupakan makhluk kebiasaan, yang 99 persen tindakannya ditentukan oleh kebiasaan. Setiap hal yang kita lakukan, mulai dari cara kita berjalan, cara kita berbicara, hingga cara kita berpikir dan membuat keputusan, adalah hasil dari pembentukan kebiasaan yang seringkali tidak kita sadari.

Otak, seperti juga jantung dan paru-paru, terus menerus bekerja selama kita hidup, tanpa perlu kita perintahkan. Ia tidak bisa tidak bekerja. Masalahnya, dalam pola apa ia bekerja? Apakah kita akan membiarkannya bekerja secara serampangan? Atau kita bertekad membentuk kebiasaan dan membuatnya berjalan teratur dalam rel kebenaran yang kita kehendaki?

Pendidikan, bagi Charlotte Mason, bukan hanya soal menggunakan nalar dan intelektualitas. Bukan soal mengisi tong-tong besar dalam akal budi kita dengan sebanyak mungkin informasi baru. Bukan kompetisi siapa yang paling pintar dan siapa yang mampu melahap pelajaran paling banyak hingga nilai ujiannya sempurna. Yang tak kalah penting dari itu semua, pendidikan adalah soal melatih kehendak.

Ki Hajar Dewantara mengemukakan empat pilar pendidikan, yaitu: olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa, serta olah hati. Olah karsa, atau kehendak, mungkin menjadi bagian yang sering terlupakan, padahal ia teramat penting. Betapa tidak, sebagai orang dewasa pun kita masih sering bergulat dengan kendali kehendak di dalam diri kita.

“Aduh, harusnya aku segera bangun beberes rumah, tapi nantilah, scrolling instagram dulu// Duh, deadline besok, mana banyak banget. Dah lah nanti aja dikebut, sekarang nyantai dulu// Harusnya aku lari pagi tapi ngantuk banget, dah lah besok aja// Iya sih tau itu makanan nggak sehat, aku kan juga lagi berusaha diet, tapi nggak papa kali ya, ngiler banget lihatnya// Duh sudah adzan harusnya aku pause dulu kerjaan, tapi nanggung banget, nanti deh kelarin dulu.”

Adalah beberapa contoh kecamuk kehendak yang senantiasa terjadi di dalam diri dan seringkali ujung-ujungnya menjerumuskan kita dalam kemalasan, procrastinating! Suatu istilah yang tidak asing bagi generasi rebahan. Inilah yang menurut Charlotte Mason teramat penting dilatihkan kepada anak-anak, agar kelak mereka tidak perlu mengalami pergulatan batin setiap hari, untuk sekadar memutuskan mana yang harus mereka lakukan duluan.

That the effort of decision is the most exhausting effort of life, has been well said from the pulpit; and if that remain true about ourselves, even when the decision is about trifling matters of going or coming, buying or not buying, it surely is not just to leave the children all the labour of an effort of will whenever they have to choose between the right and the wrong.

Kebiasaan, sepuluh kali lebih kuat daripada watak/sifat alami. Setiap upaya moral dan mental yang kita lakukan akan meninggalkan “jejak” jalur pada otak, serupa rel bagi kereta api. Entah kita kehendaki atau tidak, beginilah cara otak bekerja. Jika kita tidak melatihkan kebiasaan baik secara sadar dan terencana, maka watak atau sifat asli setiap anak akan menguasai jejak jalur ini. Anak yang wataknya malas, akan semakin sulit bangun pagi. Anak yang wataknya penakut, akan kesulitan mengungkapkan kebenaran yang pahit. Anak yang wataknya egois, akan sulit untuk berbagi.

Kebiasaan akan bekerja dalam jalur watak, yang dapat diperkuat dengan pelatihan terus menerus. Dan semestinya, kebiasaan baik pada setiap anak dapat berjalan secara independen, tidak terkait dengan sifat bawaannya. Apapun sifat alami seorang anak, kebiasaan untuk menjaga kebersihan, duduk dan berjalan dengan postur yang tepat, sopan santun saat berbicara kepada orangtua, kebiasaan berkata jujur, tetap harus ditegakkan. Ada nilai-nilai luhur yang berlaku umum, dan mesti diajarkan dan dilatihkan kepada anak-anak, tidak peduli apapun sifat bawaan lahirnya.

Every day, every hour, the parents are either passively or actively forming those habits in their children upon which, more than upon anything else, future character and conduct depend.

Contoh pembentukan kebiasaan mungkin paling terlihat pada hasil pelatihan tentara. Para tentara sangat terlatih refleksnya untuk memberi hormat kepada komandan, untuk mengangkat senjata seketika mendengar pergerakan musuh, untuk terbangun dan bersiap kapanpun mendengar panggilan, untuk rela mati demi melindungi kawan sekompinya, bukanlah keputusan yang sulit baginya. Bahkan mungkin ia akan melakukannya tanpa banyak berpikir.

ARMY mana ARMY? Bukan tentara, I mean another ARMY. Hihihi.

Penggemar BTS mungkin ingat dengan video candid Jeon Jungkook yang terlihat begitu ringan tangan memunguti sampah, mengangkat properti panggung, membetulkan kabel, atau membantu menalikan sepatu rekannya tanpa banyak berpikir; dan sepertinya tanpa pernah mempertimbangkan bahwa itu bukanlah tugasnya, ada staf yang melakukannya, sementara ia sendiri adalah sang bintang yang selalu under the spotlight. Begitu cepat refleksnya tanpa ada jeda waktu untuk sekiranya ia bimbang membantu dan menduga-duga “Ah, nanti aku dikira cari muka. Nanti aku difoto/divideokan lalu disangka macam-macam.” Awal-awal, memang ada anggapan nyinyir seperti itu. Namun bertahun-tahun berlalu, bahkan setelah BTS mendunia dan Jungkook masih melakukan hal yang sama, terlihat jelas bahwa semua tindakan itu adalah kebiasaan yang telah menjadi sedemikian otomatisnya ia lakukan tanpa perlu berpikir lagi. Jungkook hanya melakukan hal yang memang perlu ia lakukan.

“The possibility of all education (of which military drill is only one particular form) is based upon the existence of this power which the nervous system possesses, of organising conscious actions into more or less unconscious, or reflex, operations. It may be down laid as a rule, that if any two mental states be called up together, or in succession, with due frequency and vividness, the subsequent production of the one of them will suffice to call up the other, and that whether we desire it or not.

Taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; taburlah karakter, tuailah nasib.

Bagi orang Islam, solat bermakna lebih dari sekadar gerakan berdiri-rukuk-duduk-sujud. Ia dapat mencegah seorang hamba dari perbuatan dan niat buruk, setidaknya lima kali dalam sehari solat menjadi semacam pengingat untuk selalu menyucikan tubuh, hati dan pikiran.

“Nor soul helps flesh more now, than flesh helps soul”

Beriman saja tidak cukup. Kadang-kadang, iman berkurang dan bertambah, tidak selalu konsisten kadarnya di dalam hati. Karenanya umat beragama diperintahkan untuk melakukan ritual-ritual yang tidak hanya melibatkan keyakinan di dalam hati, tetapi juga gerakan nyata.

Butir pertama pendidikan Charlotte Mason, yakni children are born persons, merujuk kepada makna bahwa setiap anak adalah seorang manusia yang memiliki kecenderungan untuk menjadi baik maupun menjadi buruk. Hidup kita selamanya adalah tentang tarik-menarik kedua kutub. Mengawal kebiasaan dan melatih kehendak, yang dikuatkan dengan tindakan nyata, adalah tugas utama pendidik.

Orangtua tidak berhak mendoakan anaknya agar menjadi anak yang baik dan taat sepanjang waktu, sementara ia abai dalam melatihkan kebiasaan baik. Usaha dan doa harus berjalan beriringan, dan Charlotte Mason meyakini bahwa Tuhan Maha Melihat usaha setiap orangtua yang berkeyakinan kuat dan dengan penuh tanggung jawab mendampingi anak-anaknya agar senantiasa memilih jalan kebaikan.

…that the parent, for instance, who takes the trouble to understand what he is about in educating his child, deserves, and assuredly gets, support from above;

Pendidikan bukanlah proses yang dapat segera terlihat hasilnya dalam satu-dua semester, satu-dua tahun, ia merupakan proses yang berlangsung seumur hidup, hasilnya tidak terlihat instan. Tak dipungkiri, mengawal kebiasaan baik dan dengan cermat menyiangi setiap kebiasaan buruk pada setiap anak adalah tugas yang melelahkan bagi orangtua, kadang seolah tanpa ujung. “Niki, anakku udah tujuh tahun dan aku masih harus selalu mengingatkan dia perihal sikat gigi, sampai kapan aku harus melakukannya? Hiks!”

Seorang sahabat pernah menyampaikan satu ungkapan bahasa Sunda yang aku ingat-ingat terus saking indahnya — meski ia sendiri lupa pernah bilang kepadaku: Piraku Alloh teh teu karunya ka hambana anu ngadoa dan berusaha…

Alangkah angkuhnya jika kita merasa bahwa anak dapat menjadi baik semata-mata adalah berkat usaha kita sebagai orangtua. Tidak, sekali-kali tidak. Aku selalu bilang sama anakku, Mama ini cuma punya dua mata, dua telinga, dua tangan. Mama sering ngantuk, Mama sering capek dan lupa, Mama nggak selalu bisa mengawasi kamu atau ikut ke manapun kamu pergi. Tetapi ingat, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, Allah Maha Mengetahui. Ia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur — tidak seperti Mama. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana pendidikan dapat berlangsung tanpa dialog iman, tanpa senantiasa mengingatkan anak-anak akan kehadiran Tuhan dalam setiap helaan nafas dan langkah mereka. Jungkir-balik mengawal kebiasaan baik, tidak akan ada artinya tanpa penanaman iman dan taqwa di dalam sanubari anak-anak. Karenanya, libatkanlah Tuhan; berusahalah menjalankan tanggung jawab kita sebagai orangtua sambil senantiasa berdoa agar Tuhan selalu melindungi anak-anak kita.

Leave a Comment

error: Content is protected !!