Narasi atas Ourselves pg 104–108
Aku selalu takjub akan paparan Charlotte Mason dalam volume 4 ini. Bagaimana dia mencoba mengidentifikasi dan meraba ranah abstrak tentang sifat, perasaan, dan kecenderungan manusia. Ia melakukannya agar kita dapat mengenali karakteristik tiap-tiap kecenderungan tersebut dan mengantisipasi sifat-sifat yang terlihat mirip, padahal sesungguhnya kontraproduktif.
Kali ini, Charlotte Mason membahas tentang generosity, yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tidak beda dengan makna good will maupun benevolence yang sudah pernah dibahas sebelumnya — kemurahan hati. Namun ada beberapa aspek yang membuat generosity berbeda dari sifat lainnya.
Pertama, generosity adalah manakala manusia hidup, bertindak, berpikir, dan merasa untuk sesuatu yang berada di luar dirinya. Belum lama, aku menonton film “Thirteen Lives” yang diambil dari kisah nyata penyelamatan 12 anak lelaki anggota klub sepakbola bersama seorang pelatih mereka yang terjebak selama 10 hari tanpa makanan dan tanpa kontak di dalam gua Tham Luang, Thailand, tahun 2018. Pada saat itu, upaya pencarian hingga penyelamatan ke-13 orang tersebut melibatkan ribuan orang dari berbagai negara, dan menyedot perhatian media internasional selama berminggu-minggu.
Banyak dari mereka yang datang sebagai relawan, dan bekerja tanpa kenal lelah bahkan mempertaruhkan nyawa dalam operasi yang berbahaya, demi menyelamatkan sekelompok anak muda yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. Seluruh dunia seolah menahan nafas, jutaan orang mengecek kabar berita setiap hari hanya untuk mendapatkan update teranyar. Apakah mereka sudah ditemukan? Bagaimana cara mereka keluar? Apakah mereka semua selamat? Adakah korban meninggal? Hingga akhirnya, seluruh dunia bersorak lega dan turut berbahagia ketika dikonfirmasi bahwa ke-13 nyawa itu berhasil diselamatkan. Semua orang bersatu dalam rasa dan tujuan yang sama, yaitu kemanusiaan.
…when everybody forgets private cares, schemes, worries, annoyances, even hunger and cold and bodily need, being warmed and fed, as it were, by a public joy, or softened and made tender by a public sorrow, it is because all are stirred by what is called a generous impulse, an impulse which causes them, if only for a moment, to live outside of their own lives.
Sifat generosity adalah senantiasa memberikan pengorbanan, dari milik mereka yang paling berharga dan paling mereka cintai. Sekadar mendonasikan benda yang sudah tidak kita pakai atau yang tidak kita sukai, bukanlah generosity. Al-Quran menyebutnya sebagai “kebajikan yang sempurna”.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92)
Ada perbedaan antara magnanimity dengan generosity, meskipun keduanya sama-sama menjunjung tinggi keluhuran. Magnanimity, yang aku tangkap dari paparan Charlotte Mason adalah terkait dengan keluhuran pemikiran, pandangan dan misi hidup — sementara generosity adalah tentang keluasan hati. Jika kedua hal ini dimiliki oleh seseorang, maka ia akan menjadi pribadi yang hangat, dengan pandangan hidup yang luhur namun sikap yang membumi; luwes menempatkan diri dan bergaul dengan orang dari berbagai kalangan. Lebih dari sekadar supel, untuk menjadi pribadi seperti ini dibutuhkan setidaknya tiga hal: hati yang hangat dan bebas dari prasangka, kemampuan berkomunikasi yang mumpuni sehingga pandai menyesuaikan diri dengan kawan bicara, serta wawasan yang luas untuk dapat memilih topik pembicaraan yang membuat siapapun, dari kalangan manapun, merasa nyaman ngobrol berlama-lama dengannya.
Ini bukan hanya soal pandai bergaul atau mencari teman, sesungguhnya ini adalah kualitas sikap seorang pemimpin!
Aku melihat benang merah antara sifat generosity dengan generous curriculum dalam pendidikan Charlotte Mason. Bahwa anak harus dipaparkan dengan sebanyak mungkin ide-ide hidup setiap hari, nilai-nilai luhur dari berbagai macam literatur serta kisah hidup tokoh-tokoh besar. Kita melihat urgensi generous curriculum bagi Charlotte Mason bukan semata tentang membentuk pribadi yang berwawasan luas, namun juga pribadi yang dapat menerima sekaligus diterima oleh banyak orang.
The generous man will have friends of widely different types, because he is able to give large entertainment to men of many minds, and to meet them upon many points. His interests are wide, his interpretations are liberal;
Kedua, generosity senantiasa diiringi dengan ketulusan yang besar. Kita tahu, kerap ada perdebatan tentang apakah orang yang meminta-minta di jalanan layak kita berikan uang? Selalu ada alasan untuk tidak memberi, misalnya “Ah mereka itu ada bosnya! Itu sama saja melatih mental miskin! Mereka itu males aja kerja!” dan seterusnya. Namun, orang dengan generosity akan berkata, “Yang jelas, mungkin mereka lebih butuh daripada kita.” Bukan soal besaran nilai yang ia keluarkan untuk berderma, namun soal besarnya ketulusan dalam memberi.
Dan setelah memberi, biasanya ia akan langsung melupakan dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Ia tidak peduli apakah orang itu akan membalasnya atau tidak, apakah pemberiannya digunakan dengan baik atau tidak, apakah orang itu akan mengingat kebaikannya atau tidak. Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak mengetahui. Dia melupakan semua perbuatan baik yang ia lakukan.
This is not the easy attitude of mind which permits everything, because a want of self-respect creates a thirst for popularity.
Ah, aku kok jadi merelasikannya ke hal lain.
Media sosial kini menjadi wadah berekspresi yang membuat orang lain bisa dengan mudah memberikan umpan balik berupa komentar, persetujuan yang ditunjukkan dengan cara meneruskan atau membagi postingan kita itu, atau bahkan sekadar tanda suka. Nah, aku berefleksi, seringkali hal ini melenakan dan mengubah tujuan awal kita. Yang tadinya berniat membagikan informasi dan pengetahuan, but we keep coming back for the likes and notifications — sehingga kita malah fokus kepada jumlah like, share, dan komentar. Hahaha… Aku juga sering kayak gitu. Misalnya usai membagikan sesuatu di media sosial, baik foto maupun tulisan, eh nggak ada yang komen, nggak ada yang ngasih jempol, krik krik aja gitu. Lalu aku jadi berkecil hati. Idih… kalau dipikir-pikir siape elu, gitu kan? 😂
Seharusnya, kalau memang niatnya sekadar mengekspresikan diri, atau membagi informasi dan pemikiran, setelah itu ya sudah, kita berlepas diri dari keinginan untuk diapresiasi oleh orang lain. Ada feedback atau tidak, dibaca orang atau tidak, tak perlu berkecil hati dan menyimpang dari tujuan, kita tetap konsisten berbagi pengetahuan sesuai niatan awal.
Menuju poin ketiga, generosity selalu memiliki tujuan luhur, sehingga ia sedapat mungkin berlepas diri dari hal-hal remeh dan mencurahkan energinya untuk fokus kepada hal-hal yang penting. Coba kita ingat Mark Zuckerberg, salah satu orang terkaya di dunia tapi menjalani kehidupan yang sederhana dan pakai bajunya itu-itu saja — kaos abu-abu buluk. Ia berkeyakinan bahwa ada begitu banyak hal yang jauh lebih penting untuk ia pikirkan dan ia urusi, ketimbang menghabiskan waktu dan energi hanya untuk memutuskan pakai baju apa hari ini. Orang dengan generosity, menurut Charlotte Mason, mendapatkan kasih karunia — saving grace; karena ia diselamatkan Tuhan dari kesia-siaan.
Dalam agama Islam, kita tidak hanya diperintahkan untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk — kita juga dianjurkan untuk meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat. Bahkan, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Termasuk tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah Dia menjadikannya sibuk pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
There are so many great things to care about that he has no mind and no time for the small frettings of life; his concerns are indeed great, for what concerns man concerns him.
Namun hati-hati, ada kesesatan yang dapat mencegah kita dari mencapai sikap generosity yang sempurna. Pertama, anggapan bahwa ‘Let every man mind his own business’ — urus aja diri masing-masing lah! Pemikiran seperti ini seketika dapat mematikan rasa tanggung jawab kita sebagai bagian dari umat manusia, dan mengecilkan cakupan peran kita sebatas urusan pribadi yang remeh-temeh.
Betul, kita memang harus mengurus urusan kita masing-masing dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab agar kita tidak menjadi beban bagi orang lain. Namun, diperlukan manajemen waktu dan pikiran agar kita dapat menyelesaikan setiap kewajiban kita sebaik mungkin, lalu setelah itu kita lakukan hal yang memiliki tujuan lebih besar untuk kemaslahatan lebih banyak orang. Bukan generosity namanya jika kita hanya berfokus pada diri sendiri. Generosity selalu tentang memberi, berkorban, mencurahkan perhatian untuk hal-hal lain yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Bahkan jika kamu hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tiada henti mengurus anak-anak dan mengerjakan pekerjaan domestik, kerjakanlah tugas itu sebaik mungkin dengan penuh dedikasi dan kesadaran — mindfulness — sehingga kewajiban bisa terselesaikan dan tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan mampu mengelola diri untuk melakukan hal lain.
‘Every man for himself, and Heaven for us all,’ adalah anggapan lain yang lagi-lagi dapat mengerdilkan peran seorang manusia. Tidak, manusia tidak diciptakan hanya untuk mengurus kepentingan dirinya sendiri, ada misi kebermanfaatan yang dibebankan kepadanya, dan seharusnya menjadi misi hidupnya.
Terakhir, anggapan bahwa ‘Every person that I have dealings with is worse than myself.’ Orang lain lebih buruk daripada kita, untuk apa kita berurusan dengan dia? Sulit untuk memahami bagi orang yang belum pernah mengalaminya sendiri. Namun ada saat-saat di mana seseorang mungkin diperlakukan dengan buruk, dicurangi, dikhianati, sedangkan ia sendiri sebagai manusia telah berupaya untuk berbuat baik kepada setiap orang. Ada semacam keputusasaan dalam anggapan ini, bahwa orang yang telah memperlakukan kita dengan buruk tak layak lagi mendapatkan kebaikan kita. Tetapi generosity senantiasa tulus, dan percaya terutama kepada orang-orang terdekat; dan semestinya rasa percaya itu tidak dipadamkan.
Sikap luhur generosity ini, menurut Charlotte Mason, tidak hanya ada pada kisah-kisah heroik para patriot atau dalam dongeng belaka. Ia sesungguhnya ada dalam diri setiap manusia.