Proses Membentuk Kebiasaan

Narasi atas Home Education pg 120–130

Alangkah melelahkannya hidup ini jika setiap gerak-gerik dan tindakan harus melalui diputuskan secara sadar. Bangun tidur jam berapa ya? Abis bangun, ngapain dulu ya? Solat dulu apa mandi dulu? Nanti abis mandi pakai baju apa ya? Setelah mandi, bangunin anak-anak atau suami dulu? Eh, atau beberes dulu aja deh mumpung nggak ada yang ganggu. Tapi berantakan banget, mulai dari mana ya, cuci piring atau cuci baju? Sarapan beli aja kali ya, atau mending masak?

Bacanya aja sudah capek ya. Haruskah semua runtutan rutinitas itu dipikir dan dipertimbangkan berulang kali setiap pagi? Mak-mak relate banget nih. Pernah nggak sih, ketika rumah berrrrrantakan banget kayak kapal pecah, baru ngeliatnya aja udah capek dan nggak tahu mesti mulai beresin dari mana. Seringkali, ujung-ujungnya malah terlalu malas untuk memulai dan kita terus menundanya sambil berharap ada pangeran berkuda putih datang untuk menyelamatkan dan membawa kita pergi ke negeri dongeng — yang sayangnya tidak pernah terjadi. Bukan makhluk hidup, namun semakin lama (ditunda) bisa berkembang biak, apakah itu bunda-bunda? Yap, cucian piring, baju, dan gunungan setrikaan 😂

The effort of decision, we have seen, is the greatest effort of life; not the doing of the thing, but the making up of one’s mind as to which thing to do first. It is commonly this sort of mental indolence, born of indecision, which leads to dawdling habits.

Kok aku merasa Charlotte Mason sedang mencolek-colek aku ya? Hihihi. Terbayang, kita yang notabene sudah dewasa saja masih belum terbebas dari pergulatan mengambil keputusan dan mengambil alih kehendak diri. Itulah sebabnya Charlotte Mason ingin anak-anak dilatihkan serangkaian kebiasaan baik sejak dini.

“Ah, nanti makin gede juga dia akan ngerti sendiri,” kata kita, tentang anak yang gemar bermalasan dan menunda-nunda pekerjaan. Tidak, kebiasaan ini jika dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Diberi hukuman? Tidak, anak dengan sifat seperti ini cenderung bertahan ketika diberi hukuman, tanpa ada keinginan untuk berubah. Diberi iming-iming atau imbalan? Tidak, karena imbalan baginya hanyalah bentuk lain dari hukuman yang — tidak akan mengubah apapun dari kebiasaan malasnya. Satu-satunya cara untuk menghilangkan kebiasaan ini adalah: menggantinya dengan kebiasaan yang lain. Ibu, fasilitator, pendidik, harus sigap menyelamatkan sang anak dan bersiap mendedikasikan dirinya selama beberapa minggu ke depan untuk menyembuhkan kebiasaan buruk ini dengan cermat, konsisten, dan tanpa lelah selayaknya ia sedang mendampingi sang anak untuk pulih dari cacar air hingga semua rasa gatal dan lukanya hilang tanpa bekas.

Pertama-tama, perlu adanya sosialisasi dan dialog dengan anak, agar ia memahami mengapa kita perlu ‘memangkas’ suatu kebiasaan buruk. Tidak ujug-ujug memberi perintah, “Mulai besok, Mama mau kamu bisa bersiap dan pake sepatu sendiri! Tidak ada alasan!” Jedyar! Itu namanya bukan niat membantu melainkan memberi ultimatum. Anak pasti langsung memasang mode bertahan ketika dia merasa diserang. Ini adalah cara yang salah. Aku gitu selama ini. Pantas saja selalu jedyar!

Tahap sosialisasi ini bisa berlangsung selama beberapa hari sebelum penerapan kebiasaan benar-benar ditegakkan, dan dengan cara yang sangat lembut, melalui kisah inspiratif tokoh-tokoh besar atau dongeng yang mengandung ide hidup. Charlotte Mason menekankan pentingnya kedua pihak — anak dan orangtua — bersepakat tentang mengapa suatu kebiasaan perlu diubah dan bagaimana caranya.

Oke, suatu kebiasaan telah disepakati untuk diubah. Si anak sedang berupaya menjalankan kesepakatannya untuk bersiap sendiri. Ia hendak menalikan sepatunya, lalu terhenti sejenak dan melihat, ibu ada di sisinya, memandangnya dengan tatapan yang mendukung dan penuh harap — bukan tatapan culas yang mengintimidasi. Menyadari bahwa ibu masih menunggunya untuk selesai menali sepatu, ia lanjut ke sepatu satunya lagi; berhenti namun kali ini dengan jeda yang lebih pendek, ia lihat ibunya lagi, dan lanjut menali sepatunya sampai selesai. Anak sedang mengembangkan habit of prompt action; ia mampu terus menerus mengingatkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan tugas.

Perlahan tapi pasti, jeda yang ada semakin pendek dari hari ke hari. Tahan diri untuk berkomentar, tetaplah tersenyum, dampingi, dan tunjukkan tatapan yang penuh harap dan percaya bahwa ia bisa menyelesaikan ini dengan baik. Ada kalanya si anak melamun dan berjeda lama lagi, ingatkan ia dengan sentuhan lembut, tanpa perlu berkata apapun. Setiap hari seperti itu, ibu melihat adanya upaya yang konstan dilakukan sang anak hingga tiba saatnya ibu bertanya, “Apakah menurutmu kamu sudah mulai bisa siap dalam lima menit tanpa ibu dampingi?” / “Bisa, bu!” / “Jangan bilang bisa kecuali kamu benar-benar yakin,” / “Aku akan coba, bu.”

***

Seorang ibu merasa perlu melatihkan kebiasaan menutup pintu bagi anaknya setiap kali ia keluar-masuk rumah/ruangan. Begini percakapannya.

‘Johnny,’ she says, in a bright, friendly voice, ‘I want you to remember something with all your might: never go into or out of a room in which anybody is sitting without shutting the door.’
‘But if I forget, mother?’
‘I will try to remind you.’
‘But perhaps I shall be in a great hurry.’
‘You must always make time to do that.’
‘But why, mother?’
‘Because it is not polite to the people in the room to make them uncomfortable.’
‘But if I am going out again that very minute?’
‘Still, shut the door, when you come in; you can open it again to go out. Do you think you can remember?’
‘I’ll try, mother.’
‘Very well; I shall watch to see how few “forgets” you make.’

Dua-tiga kali semua berjalan lancar. Lalu suatu ketika ia lupa. Apa yang biasanya kita lakukan? Teriak! “Johnny! Ibu bilang apa kemaren?!” Jedyar!

Padahal kita tau, yang namanya diteriakin itu menjengkelkan baik bagi orang dewasa maupun anak kecil seperti Johnny. Charlotte Mason mengingatkan ibu untuk menahan diri bahkan tidak banyak berkata-kata, karena proses membentuk dan mengawal kebiasaan dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya; sehingga jangan sampai hal ini menjadi sumber gesekan antara ibu dan anak.

Sang ibu menghampiri pintu, lalu memanggil Johnny dengan nada yang menyenangkan — bukan menghardik — ternyata Johnny benar-benar lupa. Ibu menatap Johnny, lalu bergantian mengarahkan pandangannya ke arah pintu yang masih terbuka. “Ibu kan sudah janji akan mengingatkan kalau kamu lupa,” kata ibu sambil tersenyum. “Ah iya, aku lupa,” lalu ia segera menghampiri pintu dan menutupnya.

Anak-anak belum memiliki kemampuan untuk menyusun rencana jahat, dengan sengaja ingin membuat ibunya marah. Mereka hanya masih kecil, dengan memori dan kehendak yang masih lemah, sehingga kita harus selalu ingat bahwa kita ingin membantunya. Selama proses pembentukan kebiasaan ini, ibu selalu hadir untuk memastikan Johnny selalu menutup pintu, setiap kali tanpa jeda. Tinggalkan semua pekerjaan sejenak dan berfokus untuk membantu mengingatkan Johnny untuk menutup pintu.

Mungkin butuh beberapa pekan (tanpa jeda) untuk menegakkan suatu kebiasaan baru, dan selanjutnya kebiasaan yang telah terbentuk ini masih tetap perlu dikawal terus dan dipastikan agar tidak lupa. Namun mengawal suatu kebiasaan tidaklah sesulit pembentukan awalnya, hanya perlu diingatkan sesekali.

Keberhasilan menegakkan suatu kebiasaan baru merupakan suatu bentuk kemenangan karena kini ia telah mampu membuat tangannya bekerja otomatis tanpa perlu menimbang, tanpa perlu berpikir, tanpa perlu upaya sadar, sungguh suatu bentuk efisiensi energi!

***

Tapi sesungguhnya ini merupakan masa kritis, ketika ibu mulai merasa puas atas keberhasilannya mendampingi anak membentuk kebiasaan baru. Ia melihat anaknya telah berusaha keras selama beberapa pekan terakhir, mengupayakan suatu kebiasaan remeh yang terus menerus dipantau. Ah kasihan, ia telah menunaikan semua yang aku minta. Mungkin tidak apa-apa jika aku akan memberikan sedikit kelonggaran untuknya?

Suatu hari Johnny lupa lagi menutup pintu, ia terhenti sejenak tapi ragu untuk menuju pintu lagi seperti biasanya, ia menunggu dipanggil ibunya tetapi ternyata sang ibu tidak memanggilnya. Ibu ada, tetapi ia merasa kasihan kepada Johnny yang selama beberapa pekan terakhir selalu berusaha keras menaatinya. “Ya sudah, nggak papa Nak.” lalu menutupkan pintu untuknya. Untuk kesekian kalinya, Johnny masuk rumah dan tidak menutup pintu — kali ini bukan karena lupa, melainkan karena ia telah melihat ibunya memberikan celah — ibu memanggilnya dengan nada yang tidak tegas dan tidak datang langsung untuk memastikan Johnny menutup pintu, “Aku buru-buru banget, Bu!” kata Johnny sambil lalu. Ibunya menghela nafas namun membiarkan Johnny pergi. Mungkin ia sendiri pun lelah.

Hal serupa lazim terjadi, misalnya ketika anak dan ibu berjuang membentuk kebiasaan baru yakni bangun pagi sejak hari pertama sekolah: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat… lalu pada Sabtu dan Minggu pagi si ibu merasa, “Ah, ini kan hari libur. Sudahlah tidak perlu dibangunkan pagi, kasian selama 5 hari kemarin dia sudah berusaha begitu keras.”

Apa yang sesungguhnya terjadi?

… his mother imagines that the effort is as great to him as at first, that it is virtue in him to go on making this effort, and that he deserves, by way of reward, a little relaxation — she will let him break through the new habit a few times, and then go on again. But it is not going on; it is beginning again, and beginning in the face of obstacles. The ‘little relaxation’ she allowed her child meant the forming of another contrary habit, which must be overcome before the child gets back to where he was before.

Back sound lagu Mayang Sari: “Sia-sia sudah…🎶”

Seperti yang sudah dipaparkan pekan lalu, bahwa hukum kebiasaan adalah hukum alam. Dan beberapa kebiasaan sejatinya merupakan bawaan lahir, telah ada dalam diri anak sejak ia bayi. Misalnya, kebiasaan tepat waktu (ingat bagaimana bayi selalu menyusu dan tidur pada jam-jam tertentu), kebiasaan menjaga kebersihan (ingat bagaimana bayi sudah bisa minta cuci tangan jika dia merasa tangannya kotor atau lengket), dan itu merupakan kebiasaan yang patut dilatihkan sejak dini, mengikuti pola yang sudah ada.

Bukan berarti anak harus selalu dijauhkan dari kotoran; anak-anak jelas memerlukan banyak eksplorasi namun orang dewasa harus membimbing dan memberitahu cara yang benar, serta segera membersihkan setelah kegiatan selesai. Salah satu kegiatan menyenangkan yang direkomendasikan Charlotte Mason dan dapat memperkuat habit of cleanliness and neatness adalah clay modelling. Anak mana yang tidak suka main dan berkreasi dengan tekstur tanah liat? Charmed pernah mengadakan seri workshop clay modelling bersama seniman Kang Harry Martawijaya, dan aku jadi memahami bagaimana kegiatan ini dapat memperkuat kebiasaan menjaga kebersihan dan kerapihan. Ada langkah-langkah yang harus dilakukan, untuk menjaga clay dan tangan kita tetap bersih, wajib ada kain penyeka. Sebelum menyentuh clay, kita wajib menyeka tangan, dan setelahnya pun demikian, sehingga baik clay, tangan, maupun alat yang kita gunakan tetap bersih dan rapi — karya yang dihasilkan pun apik.

***

Membentuk Kebiasaan, Menanamkan Nilai

Namun, perihal kebiasaan menjaga kebersihan ini ada hal penting yang digarisbawahi Charlotte Mason: bahwa anak harus dilatih untuk bisa membersihkan diri mereka sendiri — thoroughly — pada usia 5 dan 6 tahun; sebelum ia mulai bersekolah. Sambil melatih anak membersihkan badan, ibu juga patut menyampaikan pengajaran yang teramat penting kepada anak-anak, terkait penjagaan terhadap tubuh mereka sendiri.

Apa yang dimaksud Charlotte Mason di bawah ini, kini mungkin lebih populer dengan istilah “sentuhan boleh dan tidak boleh”. Aku akan mempersilakan kalian membaca sendiri tulisan beliau.

To the youngest child, as to our first parents, there is that which is forbidden. In the age of unquestioning obedience, let him know that not all of his body does Almighty God allow him to speak of, think of, display, handle, except for purposes of cleanliness. This will be the easier to the mother if she speak of heart, lungs, etc., which, also, we are not allowed to look at or handle, but which have been so enclosed in walls of flesh and bone that we cannot get at them. That which is left open to us is so left, like that tree in the Garden of Eden, as a test of obedience; and in the one case, as in the other, disobedience is attended with certain loss and ruin.

Aku cukup tercekat membacanya. Kurang lebih seperti ini jika diartikan:

Ada bagian-bagian tubuh yang tidak diizinkan Tuhan untuk kita bicarakan, pikirkan, perlihatkan, dan kita sentuh kecuali untuk keperluan kebersihan. Jantung, paru-paru, sangat vital sehingga mereka dilindungi oleh tulang, daging, dan kulit. Namun bagian-bagian tubuh yang terlihat ini seperti halnya pohon terlarang— merupakan ujian ketaatan bagi kita. Kalau kita langgar, seperti yang terjadi pada Adam dan Hawa, Tuhan murka dan kita akan mengalami kehilangan dan kerusakan.

Oh wow. Charlotte Mason bicara tentang aurat, menjaga diri dan kesucian pandangan.

Anak-anak, lanjutnya, berhak mendapatkan pengajaran dini tentang kebiasaan untuk taat dan rasa hormat kepada aturan Tuhan. Ada larangan Tuhan, yang jika dilanggar akan membuat kita berdosa. Setiap peringatan hari ulang tahunnya, yang berarti si anak telah bertambah besar, akan ada perubahan-perubahan bentuk tubuh — setiap kali itu pula ibu menyampaikan pesan penjagaan, pesan ketaatan, agar anak mampu menjaga amanah Tuhan pada tubuhnya yang berharga, he may glorify God with his body [1 Cor. 6:20]

The sense of prohibition, of sin in disobedience, will be a wonderful safeguard against knowledge of evil to the child brought up in habits of obedience; and still more effective will be the sense of honour, of a charge to keep — the motive of the apostolic injunctions on this subject.

Charlotte Mason mengingatkan setiap ibu untuk mendoakan anaknya setiap hari agar senantiasa dilindungi dari segala keburukan, agar tiap-tiap anaknya dijaga kesuciannya oleh Tuhan. Aku tiba-tiba ingin nangis karena tidak menyangka bahwa Charlotte Mason dapat menyampaikan hal yang sangat mewakili ketakutanku, dan ketakutan setiap ibu di zaman sekarang yang; meminjam istilah Bunda Elly Risman — pemberitaan tentang itu akan semakin menggila dan tidak mampu dinalar akal sehat sehingga kamu tidak akan sanggup melihatnya lagi.

Ya, saat ini anak-anak kita tidak hanya dihadapkan pada bahaya kriminalitas, penculikan, tetapi diintai bahaya yang tidak terpikirkan pada masa-masa sebelumnya: kejahatan seksual, pornografi, dan paparan tentang LGBTQ yang jelas-jelas menyimpang dari fitrah manusia dan amaran Tuhan.

To ignore the possibilities of evil in this kind is to expose the child to frightful risks.

Lagi-lagi aku diingatkan oleh Charlotte Mason tentang pentingnya melibatkan Tuhan dalam setiap langkah dan doa, mengingatkan anak-anak akan kehadiran Tuhan. Habit of obedience, atau kebiasaan untuk taat merupakan salah satu kebiasaan paling mendasar yang wajib dilatihkan. Bukan hanya taat kepada orangtua dan guru, lebih dari itu, taat kepada sang pemilik otoritas tertinggi: Tuhan Yang Maha Kuasa.

Charlotte Mason tidak ragu untuk menyampaikan larangan Tuhan kepada anak, seperti yang ia tulis di atas. Tidak semua hal mesti kita jelaskan dengan nalar. Nalar akan selalu menemukan cara untuk memberi alasan sampai mentok. Anak-anak memiliki fitrah ketaatan sehingga seperti kata Bunda Elly Risman, ada banyak pertanyaan keingintahuan anak yang mesti kita ‘kunci dengan jawaban iman’.

Kenapa nggak boleh sih? // Karena Allah melarangnya // Kenapa harus begitu? // Karena itu perintah Allah // Kalau aku melanggar gimana? // Allah Maha Tahu

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua gangguan setan, binatang yang mengganggu, dan pandangan mata yang jahat.

Gemetar rasanya hati ini jika membayangkan, dunia macam apa yang ditempati anak-anak sekarang? Tanpa melibatkan penjagaan Tuhan dan penanaman iman, tidak mungkin kita sebagai orangtua bisa tidur dengan tenang.

Ya, aku tahu, ini sudah kesekian kalinya aku menutup narasi atas tulisan Charlotte Mason dengan renungan iman. Entah mengapa, aku merasa kemurnian spiritualitas dan ketulusan beliau untuk anak-anak mampu melampaui zaman.

Leave a Comment

error: Content is protected !!