BAGIAN KEEMPAT : Bagaimana Argonaut Berlayar ke Colchis

DAN apa yang terjadi selanjutnya, anak-anakku, apakah itu benar atau tidak, tertulis dalam lagu-lagu kuno yang akan kau baca sendiri suatu hari nanti. Lagu-lagu lama yang megah, ditulis dalam syair bergulir tua yang megah, dan mereka menyebutnya Nyanyian Orpheus, atau Orphics, sampai hari ini. Mereka menceritakan bagaimana para pahlawan datang ke Aphetai, menyeberangi teluk, dan menunggu angin barat daya, lalu memilih sendiri seorang kapten dari kru mereka. Bagaimana semua memilih Heracles karena dia yang terkuat dan paling besar. Tetapi Heracles menolak dan memilih Jason, karena dialah yang paling bijaksana dari mereka semua. Jadi Jason terpilih sebagai kapten. Orpheus membuat tumpukan kayu, menyembelih seekor banteng, mempersembahkannya kepada Hera, dan memanggil semua pahlawan berdiri mengelilinginya, kepala masing-masing mereka dimahkotai dengan daun zaitun dan menusukkan pedang mereka ke banteng tersebut. Lalu dia mengisi satu cawan emas dengan darah lembu, tepung terigu, madu, anggur, dan air laut asin yang pahit, kemudian memerintahkan para pahlawan untuk mencicipi. Jadi masing-masing pahlawan mencicipi cawan itu, mengedarkannya, dan bersumpah. Mereka bersumpah di depan matahari, malam, dan laut biru yang mengguncang daratan, untuk berdiri di samping Jason dengan setia dalam petualangan bulu emas. Siapa pun yang mundur, atau tidak taat, atau mengubah sumpahnya, maka keadilan  akan melawannya juga Erinnues yang melacak orang bersalah.

Kemudian Jason menyalakan tumpukan kayu itu, membakar kerangka bantengnya, lalu mereka pergi ke kapal mereka dan berlayar ke arah timur, layaknya orang-orang yang memiliki pekerjaan yang harus dilakukan. Tempat dari mana mereka pergi sejak hari itu disebut Aphetai, tempat pelayaran. Telah tiga ribu tahun lebih mereka berlayar ke laut Timur yang tidak diketahui. Bangsa-bangsa besar telah datang dan pergi sejak saat itu dan banyak badai telah menyapu bumi. Banyak muncul alat perang yang kuat, yang mana dibanding mereka Argo hanyalah satu perahu kecil. Inggris, Prancis, Turki dan Rusia, telah mengarungi perairan itu setelahnya, namun ketenaran Argo kecil  hidup selamanya, dan namanya menjadi pepatah di antara para manusia.

Jadi mereka berlayar melewati Isle of Sciathos, dengan Tanjung Sepius di sebelah kiri mereka, dan berbelok ke utara menuju Pelion, menyusuri pantai Magnesian yang panjang. Di sebelah kanan mereka laut terbuka, dan Pelion tua di sebelah kiri mereka terlihat, sementara awan merayap mengelilingi hutan pinusnya yang gelap dan topi salju musim panasnya. Dalam hati mereka merindukan gunung tua tersayang, saat mereka memikirkan hari-hari menyenangkan yang telah berlalu, olahraga masa kecil mereka, perburuan mereka, dan sekolah mereka di gua bawah jurang. Akhirnya Peleus berbicara, “Mari kita mendarat di sini, teman, dan mendaki bukit tua tersayang sekali lagi. Kita akan melakukan perjalanan yang mengerikan. Siapa yang tahu apakah kita akan melihat Pelion lagi? Mari kita menemui Cheiron tuan kita dan mohon restunya sebelum kita mulai. Aku juga memiliki seorang anak laki-laki yang tengah bersamanya, yang dia latih seperti saat dia melatihku dulu. Dialah putra yang dibawa Thetis untukku, wanita berkaki perak dari laut, yang kutangkap di gua, dan kujinakkan walau dia mengubah bentuknya tujuh kali. Karena dia berubah, saat aku memegangnya, menjadi air, lalu menjadi uap, menjadi nyala api, menjadi batu, lalu singa bersurai hitam, lalu pohon yang tinggi dan megah. Tapi terus aku memeluknya dan memeluknya, sampai dia menjadi bentuk asalnya lagi, dan membawanya ke rumah ayahku, dan memenangkannya untuk menjadi pengantin perempuanku. Semua penguasa Olympus datang ke pernikahan kami, dan langit dan bumi bersukacita bersama, ketika yang abadi menikahi manusia fana. Dan sekarang biarkan aku melihat anakku, karena tidak akan sering aku melihatnya di bumi. Dia akan terkenal, tapi hidupnya pendek, dan akan mati dalam bunga masa muda.”

Jadi Tiphys, sang juru mudi mengarahkan mereka ke pantai di bawah tebing Pelion, dan mereka naik melalui hutan pinus gelap menuju gua Centaur.

Mereka masuk ke aula berkabut di bawah karang bermahkota salju dan melihat sang Centaur agung terbaring, dengan tubuhnya yang besar terbentang di atas batu. Disampingnya berdiri Achilles, anak yang bahkan baja tak akan lukai, tengah memainkan harpanya dengan manis, sementara Cheiron memperhatikan dan tersenyum.

Kemudian Cheiron melompat dan menyambut mereka, mencium mereka masing-masing, kemudian menyiapkan pesta dari daging babi, daging rusa, dan anggur yang enak di hadapan mereka. Achilles muda melayani mereka, dan membawa piala emas berkeliling. Setelah makan malam semua pahlawan bertepuk tangan tangan dan meminta Orpheus untuk bernyanyi, tapi dia menolak dan berkata, “Bagaimana mungkin aku yang lebih muda bernyanyi di depan tuan rumah tua kita?” Jadi mereka memanggil Cheiron untuk bernyanyi, dan Achilles membawakan dia harpanya. Dia memulai lagu yang menakjubkan; cerita terkenal di masa lalu tentang pertarungan antara kaum Centaurus dan Lapithai, yang mungkin masih bisa kau lihat terukir di batu. Dia bernyanyi bagaimana dia melihat saudara-saudaranya menjadi binasa karena kebodohan mereka, ketika mereka tergila-gila dengan anggur. Bagaimana mereka dan para pahlawan bertarung, dengan tinju, dengan gigi, dan cawan tempat mereka minum. Bagaimana mereka merobek pohon pinus dalam kemarahan mereka,  melemparkan tebing batu yang besar, sementara gunung-gunung bergemuruh dengan pertempuran, dan tanah itu menjadi rusak jauh dan luas; sampai Lapithai mengusir mereka dari rumah mereka di dataran Tesalia yang kaya ke lembah Pindus yang sepi, meninggalkan Cheiron sendirian. Dan para pahlawan memuji lagunya dengan sepenuh hati karena beberapa dari mereka telah membantu dalam pertarungan hebat itu.

Kemudian Orpheus mengambil kecapi dan menyanyikan lagu Kekacauan, pembuatan Dunia yang menakjubkan, dan bagaimana segala sesuatu hadir dari Cinta, yang tidak bisa hidup sendirian di Abyss. Saat dia bernyanyi, suaranya naik dari gua ke atas tebing, melalui pucuk-pucuk pohon, dan lembah-lembah ek dan pinus. Pohon-pohon pun membungkukkan kepala mereka ketika mendengarnya, bebatuan abu-abu retak dan berdering, binatang hutan merayap mendekat untuk mendengarkan, burung-burung meninggalkan sarang mereka dan melayang-layang. Dan Cheiron tua bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kuku kakinya di atas tanah, karena terpesona oleh lagu ajaib itu.

Kemudian Peleus mencium putranya,  menangisinya, dan mereka turun ke kapal. Cheiron turun bersama mereka, menangis, mencium mereka satu per satu, memberkati mereka, dan menjanjikan pada mereka kemasyuran besar. Para pahlawan juga menangis saat mereka meninggalkannya sampai hati mereka yang besar tidak bisa menangis lagi, karena dia baik, adil, saleh, dan lebih bijaksana dari semua binatang dan manusia. Lalu dia pergi ke tebing, berdoa untuk mereka agar bisa pulang aman dan baik. Sementara itu para pahlawan mendayung pergi, dan mengawasinya berdiri diatas tebing  laut, dengan tangan besar terangkat ke arah langit, dan rambut ikal putihnya melambai tertiup angin. Mereka menajamkan mata untuk mengawasinya sampai akhir, karena mereka merasakan bahwa mereka seharusnya tidak melihat dia lagi.

Kemudian mereka mendayung di atas ombak laut yang panjang, melewati Olympus, kursi para dewa, dan melewati teluk berhutan di Athos, dan Samothrace, pulau suci. Mereka melewati Lemnos menuju Hellespont, melalui selat sempit Abydos dan terus menuju ke Propontis, yang sekarang kita sebut Marmora. Di sana mereka bertemu dengan Cyzicus, penguasa di Asia atas Dolions yang menurut kata lagu-lagu, adalah putra Æneas yang akan kau  banyak dengar dalam cerita suatu hari nanti. Karena Homer memberitahu kita bagaimana dia bertarung di Troya dan Virgil menceritakan bagaimana dia berlayar dan mendirikan Roma. Dan orang-orang percaya sampai akhir tahun bahwa dari keturunannya lah muncul raja-raja British tua. Lagu-lagu itu bercerita, Cyzicus menyambut para pahlawan karena ayahnya adalah salah satu murid Cheiron. Dia menyambut mereka, berpesta dengan mereka, dan memenuhi kapal mereka dengan jagung dan anggur, jubah dan permadani, juga baju-baju yang mana mereka sangat butuhkan, begitulah kata lagu-lagunya.

Di malam itu, ketika mereka tertidur pulas, datanglah ke arah mereka para lelaki mengerikan yang hidup bersama beruang di pegunungan, berbentuk seperti Titan atau raksasa karena masing-masing dari mereka memiliki enam lengan, dan mereka bertempur dengan pohon cemara dan pinus muda. Heracles membunuh mereka semua sebelum fajar dengan panah beracun yang mematikan. Tapi dalam kegelapan di antara mereka, dia membunuh Cyzicus sang pangeran yang baik hati.

Kemudian mereka kembali ke kapal dan ke dayung mereka, dan Tiphys menyuruh mereka melepaskan tali sandar dan berlayar. Tetapi saat dia berbicara, angin puting beliung datang, memutar Argo dan mengikat erat tali sandar, sehingga tidak ada yang bisa melepaskannya. Kemudian Tiphys melepaskan kemudi dari tangannya dan berseru, “Ini berasal dari para Dewa di atas sana.” Jason pun maju ke depan dan mencari nasihat dari cabang ajaib.

Kemudian cabang ajaib itu berbicara dan menjawab, “Ini terjadi karena kamu telah membunuh Cyzicus, temanmu. Kamu harus meredakan rohnya, atau kamu tidak akan pernah meninggalkan pantai ini.”

Jason kembali dengan sedih dan memberitahu para pahlawan apa yang dia dengar. Mereka melompat ke pantai dan mencari hingga fajar. Saat fajar mereka menemukan tubuhnya, yang terlilit debu dan darah, di antara mayat-mayat binatang buas yang mengerikan itu. Mereka menangis atas tuan rumah mereka yang baik, meletakkannya di atas tempat tidur yang indah, menumpuk gundukan besar di atasnya, serta mempersembahkan domba hitam di makamnya. Orpheus menyanyikan lagu ajaib untuknya, agar rohnya bisa mendapatkan ketenangan. Kemudian mereka mengadakan permainan di makam, sesuai dengan adat waktu itu, dan Jason memberikan hadiah kepada setiap pemenang. Ancæus diberi piala emas, karena dia berjuang paling baik dari semua. Kepada Heracles diberi piala perak, karena dia yang paling kuat dari semua. Kepada Castor, yang berkendara paling baik, diberi mahkota emas. Polydeuces sang petinju diberi permadani yang mewah, dan kepada Orpheus untuk lagunya, diberi sandal dengan sayap emas. Tetapi Jason sendiri adalah yang terbaik dari semua pemanah, dan Minuai menghadiahinya mahkota zaitun. Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh lagu-lagu, roh Cyzicus yang baik mendapat kelegaan, dan para pahlawan melanjutkan perjalanan mereka dengan damai.

Namun, ketika istri Cyzicus mendengar bahwa suaminya telah meninggal, dia juga mati karena kesedihan; dan air matanya menjadi mata air air jernih yang mengalir sepanjang tahun.

Kemudian mereka berlayar, seperti yang diceritakan dalam lagu-lagu, sepanjang pantai Mysia, melewati mulut Rhindacus, sampai mereka menemukan teluk yang menyenangkan, dilindungi oleh punggungan panjang Arganthus, dan dinding batu basalt yang tinggi. Di sana mereka mendaratkan kapal di atas pasir kuning, menggulung layar, dan menurunkan tiang kapal, mengikatnya di tempatnya. Selanjutnya, mereka menurunkan tangga dan pergi ke daratan untuk berolahraga dan beristirahat.

Heracles pergi ke hutan dengan busur di tangannya untuk berburu rusa liar; dan Hylas, si bocah tampan, mengikutinya secara sembunyi-sembunyi, sampai dia tersesat di antara lembah-lembah, dan duduk lelah untuk istirahat di tepi danau. Di situlah para nimfa air datang untuk melihatnya, mencintainya, dan membawanya turun di bawah danau untuk menjadi teman bermain mereka, selamanya bahagia dan muda. Heracles mencarinya dengan sia-sia, meneriakkan namanya sampai semua gunung bergema, tetapi Hylas tidak pernah mendengarnya karena berada jauh di bawah danau yang berkilauan. Jadi, sementara Heracles tersesat mencari, angin sepoi-sepoi bertiup, dan Heracles tidak ada di mana-mana. Argo pun berlayar pergi, dan Heracles tertinggal, dan tidak pernah melihat sungai Phasian yang mulia.

Kemudian Minuai sampai di tanah yang penuh dukacita, di mana Amycus sang raksasa berkuasa. Dia tidak peduli pada hukum Zeus, tetapi menantang semua orang asing untuk bertarung tinju dengannya, dan orang-orang yang dia kalahkan dia bunuh. Tetapi Polydeuces sang petinju memberinya pukulan lebih keras daripada yang pernah dia rasakan sebelumnya, dan membunuhnya. Kemudian Minuai melanjutkan perjalanan mereka melalui Selat Bosporus, sampai mereka tiba di kota Phineus, raja Bithynia yang ganas. Zetes dan Calais memerintahkan Jason untuk mendarat di sana, karena mereka memiliki tugas yang harus dilakukan.

Mereka pun naik dari pantai menuju kota, melalui hutan yang tertutup salju; dan Phineus keluar untuk menyambut mereka dengan wajah yang kurus dan penuh dukacita, kemudian berkata, “Selamat datang, pahlawan-pahlawan berani, ke tanah angin dingin dan penderitaan; namun saya akan menjamu kalian sebaik yang saya bisa.” Dia membawa mereka masuk, dan meletakkan makanan di depan mereka. Tetapi sebelum mereka bisa menyentuh makanan, datanglah dua monster menakutkan yang belum pernah manusia lihat sebelumnya. Mereka memiliki wajah dan rambut perempuan cantik, tetapi sayap dan cakar elang; dan mereka merampas makanan dari meja, lalu terbang berteriak di atas atap-atap.

Maka Phineus memukul dadanya dan berteriak, “Ini adalah Harpy, yang bernama Whirlwind dan Swift, putri dari Wonder dan Nimfa Amber. Mereka merampok kami siang dan malam. Mereka membawa pergi putri-putri Pandareus, yang oleh semua Dewa telah diberkati. Aphrodite memberi mereka makan putri-putri itu di Olympus dengan madu dan susu dan anggur. Hera memberi mereka kecantikan dan kebijaksanaan, dan Athena keterampilan dalam semua seni. Namun ketika mereka datang ke pernikahan, Harpy menculik mereka berdua, dan menjadikan mereka budak bagi Erinnues lalu hidup dalam ketakutan sepanjang hari. Sekarang mereka menghantuiku, rakyatku, dan Selat Bosporus, dengan badai yang menakutkan. Menyapu makanan kami dari meja, sehingga kami kelaparan meskipun memiliki kekayaan.”

Kemudian Zetes dan Calais, putra-putra dari kepakan angin Utara bangkit, dan berkata, “Tidakkah kamu mengenali kami, Phineus, dan sayap-sayap yang tumbuh di punggung kami ini?” Phineus menyembunyikan wajahnya dalam ketakutan; tetapi dia tidak menjawab sepatah kata pun.

“Karena kamu telah menjadi pengkhianat, Phineus, Harpy menghantui kamu siang dan malam. Di mana Cleopatra saudari kami, istrimu, yang kamu tahan dalam penjara? Dan di mana kedua anaknya, yang atas perintah seorang wanita jahat mata mereka kamu butakan dalam kemarahanmu, lalu  kamu lemparkan mereka ke bebatuan? Bersumpahlah kepada kami bahwa kamu akan membela saudari kami, dan mengusir perempuan jahat itu, maka kami akan membebaskanmu dari wabahmu, dan mengusir gadis-gadis berputar itu dari selatan. Tetapi jika tidak, kami akan mencungkil matamu, seperti kamu mencungkil mata anak-anakmu sendiri.”

Mereka merebut daging dari atas meja, lalu terbang sambil menjerit di atas atap-atap.

Mereka merebut daging dari atas meja, lalu terbang sambil menjerit di atas atap-atap.

Kemudian Phineus bersumpah kepada mereka, dan mengusir perempuan jahat itu. Jason kemudian mengambil kedua anak malang itu, dan menyembuhkan mata mereka dengan ramuan ajaib.

Tetapi Zetes dan Calais bangkit dengan sedih dan berkata, “Sampai jumpa sekarang, para pahlawan semua. Selamat tinggal, teman-teman terkasih kami, dengan siapa kami bermain di Pelion pada zaman dulu. Karena takdir telah diletakkan pada kami, dan hari kami akhirnya tiba, hari di mana kami harus mengejar puting beliung, melintasi daratan dan laut selamanya. Jika kami menangkap mereka, mereka mati, dan jika tidak, kami  sendirilah yang akan mati.”

Pada saat itu semua pahlawan menangis, tetapi kedua pemuda itu melompat tinggi ke udara mengejar para Harpy, dan pertempuran angin dimulai.

Para pahlawan gemetar dalam diam ketika mereka mendengar teriakan angin. Sementara istana bergoyang bersama seluruh kota, batu-batu besar berjatuhan dari tebing, pohon-pohon pinus terlontar jatuh, ke utara, selatan, timur dan barat. Selat Bosporus pun berbusa putih, dan awan-awan terhempas ke tebing.

Tetapi akhirnya pertempuran itu berakhir, dan Harpy melarikan diri menjerit-jerit menuju selatan. Anak-anak angin Utara mengejar mereka, dan membawa sinar matahari cerah di manapun mereka melintas. Mereka mengikutinya berliga-liga, melewati semua pulau-pulau di Kepulauan Siklades, menuju ke barat daya melintasi Hellas, sampai mereka sampai di Laut Ionian, dan mereka jatuh di atas Echinades, mulut Achelous. Pulau-pulau itu disebut Pulau-Pulau Puting Beliung selama ratusan tahun. Tetapi apa yang terjadi pada Zetes dan Calais tidak diketahui, karena para pahlawan tidak pernah melihat mereka lagi. Ada yang mengatakan bahwa Heracles bertemu dan bertengkar dengan mereka, lalu membunuh mereka dengan panahnya. Ada yang mengatakan bahwa mereka jatuh karena kelelahan dan panas matahari musim panas, lalu Dewa Matahari mengubur mereka di antara Siklades, di Pulau Tenos yang menyenangkan. Selama ratusan tahun kuburan mereka terlihat di sana, di atasnya terdapat pilar yang berputar mengikuti setiap pergerakan angin. Tetapi badai dan puting beliung gelap itu menghantui Selat Bosporus sampai hari ini.

Lalu Argonauts berlayar ke timur, keluar ke laut terbuka yang sekarang kita sebut Laut Hitam, tetapi saat itu disebut Laut Euxine. Tidak ada orang Yunani yang pernah menyeberanginya, dan semua takut akan laut mengerikan itu serta batu-batu karangnya yang dangkal, juga kabut dan badainya yang membekukan. Mereka bercerita kisah-kisah aneh tentangnya, ada yang palsu dan ada yang separuh benar, tentang bagaimana laut ini membentang ke utara hingga ke ujung bumi dan Laut Putrid yang lambat serta malam abadi, yang merupakan daerah orang mati. Jadi, meskipun mereka biasanya pemberani, para pahlawan gemetar ketika mereka memasuki Laut Hitam yang liar itu dan melihatnya membentang di depan mereka tanpa pantai, sejauh mata memandang.

Pertama-tama Orpheus berbicara dan memperingatkan mereka, “Sekarang kita akan tiba di dekat batu-batu biru yang bergerak. Ibuku memperingatkan tentang mereka, Kalliope, musai yang abadi.”

Segera mereka melihat batu-batu biru bersinar itu, seperti menara dan kastil-kastil kaca abu-abu, sementara angin dingin beku bertiup dari sana, dan menggigilkan hati semua pahlawan. Saat mendekat, mereka dapat melihat batu-batu itu menyembul ketika mereka bergulir di atas gelombang laut yang panjang, saling bertabrakan dan menggiling satu sama lain, sehingga terdengar raungan sampai ke langit. Laut memancar di antara mereka, dan mengelilingi mereka seperti alas busa putih; tetapi kepala mereka bergoyang-goyang tinggi di udara, sementara angin bersiul kencang di antara tebing.

Hati para pahlawan menjadi gelisah, dan mereka terpaku di atas dayung mereka dalam ketakutan. Orpheus memanggil Tiphys si juru kemudi, “Kita harus melewati celah di antara mereka, jadi lihatlah ke depan dan cari. Bersikaplah berani, karena Hera bersama kita.” Tiphys si juru kemudi yang cerdik berdiri diam, mengertakan giginya, sampai dia melihat seekor bangau terbang sejajar dengan tiang-tiang batu, berlama-lama di depan mereka, seolah-olah mencari jalan keluar. Kemudian dia berteriak, “Hera telah mengirimkan seorang pandu, mari kita ikuti burung yang cerdik ini.”

Kemudian bangau itu berterbangan ke sana kemari sejenak, sampai dia melihat celah tersembunyi, dan dia masuk ke dalamnya seperti anak panah, sementara para pahlawan melihat apa yang akan terjadi.

Dan batu-batu biru itu bertabrakan satu sama lain saat burung itu cepat melintas; tetapi mereka hanya merobek bulu ekornya, lalu kembali berpisah akibat benturan tersebut.

Maka Tiphys memberi semangat para pahlawan, dan mereka bersorak. Dayung-dayung mereka pun melengkung seperti anyaman karena kayuhan mereka saat melewati tebing-tebing es yang berguguran dan celah biru dingin yang mematikan. Dan sebelum batu-batu itu bisa bertemu lagi, mereka telah melewatinya dan selamat di laut terbuka.

Setelah itu mereka berlayar kelelahan di sepanjang pantai Asia, melewati Tanjung Hitam dan Thyneis, tempat aliran panas Thymbris jatuh ke laut, dan Sangarius, yang airnya mengapung di Laut Euxine, sampai mereka sampai di sungai Wolf, dan kepada Wolf raja yang baik hati. Di sana meninggal dua pahlawan berani, Idmon dan Tiphys juru kemudi yang bijak: satu mati karena penyakit jahat, dan yang lainnya dibunuh oleh seekor babi hutan liar. Jadi para pahlawan menumpukkan gundukan di atas mereka, meletakkan dayung tinggi di atasnya, dan meninggalkan mereka di sana untuk tidur bersama-sama, di pantai Lycia yang jauh.

Tetapi Idas membunuh babi itu dan membalaskan dendam Tiphys. Ancaios mengambil kemudi dan menjadi juru kemudi, dan memandu mereka ke arah timur.

Dan mereka terus berlayar melewati Sinope, banyak muara sungai yang kuat, banyak suku barbar, serta kota-kota Amazon, wanita-wanita pejuang dari Timur, sampai sepanjang malam mereka mendengar bunyi ketukan palu dan deru semburan api peleburan, dan api tungku bersinar seperti percikan melalui kegelapan di lembah pegunungan tinggi. Ini berarti mereka telah sampai di pantai Chalybes, para pandai besi yang tak pernah lelah melayani Ares, Dewa Perang yang kejam, membuat senjata siang dan malam.

Saat fajar mereka melihat ke timur, dan di tengah antara laut dan langit mereka melihat puncak salju putih menggantung, berkilau tajam dan cerah di atas awan. Mereka pun tahu bahwa mereka telah sampai di Kaukasus, di ujung bumi. Kaukasus yang tertinggi di antara semua gunung, bapak sungai-sungai di Timur. Di puncaknya terikat Titan, sementara seekor nasar mencabik hatinya, dan di kakinya bertumpuk hutan gelap di sekitar negeri Colchian yang ajaib.

Mereka berlayar tiga hari ke timur, sementara Kaukasus terlihat lebih tinggi setiap jamnya, sampai mereka melihat aliran gelap Phasis mengalir deras ke laut, dan berkilau di atas puncak pohon, atap emas Raja Aietes, anak Matahari.

Kemudian Ancaios juru kemudi berbicara, “Akhirnya kita telah tiba di tujuan kita, karena di sana ada atap-atap Aietes, dan hutan tempat semua racun tumbuh. Tetapi siapa yang bisa memberi tahu kita di mana rambut emas tersembunyi di antara semua itu? Banyak perjuangan yang harus kita lalui sebelum kita menemukan dan membawanya pulang ke Yunani.”

Tetapi Jason memberi semangat para pahlawan, karena hatinya tenang dan berani. Dia berkata, “Aku akan pergi sendiri ke Aietes, meskipun dia adalah anak Matahari, dan memenangkan hatinya dengan kata-kata yang lembut. Lebih baik begitu daripada pergi bersama-sama dan segera terlibat dalam pertempuran.” Tetapi Minuai tidak mau tinggal di belakang, jadi mereka dengan berani mendayung naik ke sungai.

Sebuah mimpi menghampiri Aietes dan mengisi hatinya dengan rasa takut. Dia pikir dia melihat bintang bersinar yang jatuh ke pangkuan putrinya. Dan Medeia putrinya mengambilnya dengan senang hati, membawanya ke tepi sungai,  melemparkannya ke dalam, dan di sana sungai yang berputar-putar membawanya turun keluar ke Laut Euxine.

Kemudian dia melompat ketakutan, dan meminta pelayannya membawa keretanya agar dia bisa turun ke tepi sungai untuk menenangkan para nimfa dan para pahlawan yang arwahnya menghantui tepi sungai. Jadi dia turun dengan kereta emasnya bersama putri-putrinya di sisinya, Medeia si gadis penyihir yang cantik, dan Chalciope, yang pernah menjadi istri Phrixus. Di belakangnya kerumunan pelayan dan prajurit, karena dia adalah pangeran yang kaya dan perkasa.

Saat berkendara di tepi sungai alang-alang dia melihat Argo meluncur di bawah tepi sungai membawa banyak pahlawan di dalamnya, para dewa karena kecantikan dan kekuatannya, dengan senjata berkilau mereka di bawah sinar matahari pagi yang datar, menembus kabut putih sungai. Tapi Jason adalah yang paling mulia, karena Hera yang mencintainya, memberinya kecantikan, kebesaran, dan kejantanan yang luar biasa.

Dan ketika mereka makin mendekat dan saling memandang, para pahlawan terpesona di hadapan Aietes saat dia bersinar seperti ayahnya, Matahari yang mulia, dari atas keretanya. Jubahnya terbuat dari lapisan emas murni, dan sinar mahkotanya memancarkan api. Di tangannya dia membawa tongkat permata, yang berkilauan seperti bintang. Dengan tegas dia memandang mereka di bawah alisnya, dan dengan tegas  dan keras dia berbicara,

“Siapa kalian, dan apa yang kalian inginkan di sini sehingga datang ke pantai Cutaia? Apakah kalian tidak memperhitungkan pemerintahanku, atau para pelayanku orang-orang Colch, yang tidak pernah lelah dalam pertempuran, dan tahu betul bagaimana menghadapi penyerbu?” Dan para pahlawan duduk diam beberapa saat di hadapan raja kuno itu. Tapi Hera sang dewi yang hebat menaruh keberanian di hati Jason, maka dia bangkit dan berteriak keras sebagai jawaban, “Kami bukan perompak atau pelanggar hukum. Kami datang bukan untuk menjarah dan merusak, atau membawa pergi budak dari tanahmu. Namun pamanku, putra Poseidon, Pelias raja Minuan, dialah yang telah membuatku dalam pencarian untuk membawa pulang bulu emas. Dan ini adalah kawan-kawanku yang berani, mereka bukan orang tanpa nama; karena beberapa adalah putra Dewa, dan beberapa pahlawan terkenal. Kami juga tidak pernah lelah dalam pertempuran, dan tahu betul bagaimana menyerang dan menerima, namun kami ingin menjadi tamu di meja Anda. Itu akan lebih baik untuk kita berdua.”

Kemudian amarah Aietes melonjak seperti angin puyuh, dan matanya berkilat saat mendengarkan. Tetapi dia meredam amarah di dadanya, dan mengucapkan pidato licik dengan lembut, “Jika kalian mesti bertarung untuk bulu domba dengan orang-orang Colchian-ku, maka banyak orang harus mati. Tapi apakah kalian benar-benar yakin akan memenangkan bulu domba dariku dalam pertarungan? Jumlah kalian begitu sedikit sehingga jika kalian terkalahkan, kapal itu akan cukup memuat jasad kalian. Tapi jika kalian bersedia diperintah olehku, akan jauh lebih baik untuk memilih pria terbaik di antara kamu sekalian, dan biarkan dia memenuhi pekerjaan yang kuminta. Lalu aku akan memberinya bulu emas sebagai hadiah dan kemuliaan bagi kalian semua.”

Sembari berkata demikian, dia membalikkan kudanya dan kembali ke kota dengan tenang. Para Minuai pun duduk diam dengan sedih, merindukan Heracles dan kekuatannya; karena tidak mungkin menghadapi ribuan Colchians dan kemungkinan perang yang menakutkan.

Tapi Chalciope, janda Phrixus, pergi menangis ke kota karena dia ingat suami Minuannya serta semua kesenangan masa mudanya, sementara dia melihat wajah cantik dan rambut emas panjang para kerabatnya. Dia pun berbisik kepada Medeia saudara perempuannya, “Mengapa semua pria pemberani ini harus mati? Mengapa ayahku tidak menyerahkan bulu domba itu kepada mereka, agar jiwa suamiku dapat beristirahat?”

Hati Medeia mengasihani para pahlawan, terutama Jason. Dia pun menjawab, “Ayah kita keras dan mengerikan, siapa yang bisa memenangkan bulu emas?” Tapi Chalciope berkata, “Orang-orang ini tidak seperti manusia biasa. Tidak ada yang mereka tidak berani atau lakukan.”

Medeia pun memikirkan Jason dan wajahnya yang berani lalu berkata, “Jika ada satu di antara mereka yang tidak mengenal rasa takut, aku bisa menunjukkan kepadanya bagaimana memenangkan bulu emas itu.”

Maka di sore hari mereka pergi ke tepi sungai, Chalciope bersama Medeia si gadis penyihir dan Argus, putra Phrixus. Argus si bocah merayap maju, di antara hamparan alang-alang, sampai dia tiba di tempat para pahlawan sedang tidur di galangan kapal, di bawah tepian sungai, sementara Jason menjaga di pantai, dan bersandar pada tombaknya sambil berpikir keras. Anak laki-laki itu mendatangi Jason, dan berkata, “Aku putra Phrixus, sepupumu; dan Chalciope ibuku menunggumu, untuk berbicara tentang bulu emas.”

Kemudian Jason dengan berani pergi bersama bocah itu, dan bertemu dengan kedua putri yang sedang berdiri menunggu. Ketika Chalciope melihatnya, dia menangis, mengambil tangannya, dan berteriak “Wahai sepupu kekasihku, pulanglah sebelum kamu mati!”

“Adalah tindakan hina jika pulang sekarang, putri yang cantik, dan berlayar melintasi semua lautan ini dengan sia-sia.” Kemudian kedua putri itu memohon kepadanya, tetapi Jason berkata, “Sudah terlambat.”

“Tapi kau tidak tahu,” kata Medeia, “apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin memenangkan bulu domba emas. Ia harus menjinakkan dua banteng berkaki perunggu yang menghembuskan api yang membakar; dan dengan mereka, ia harus membajak empat hektar ladang milik Ares sebelum malam tiba; lalu ia harus menabur gigi ular di ladang itu, di mana setiap gigi akan tumbuh menjadi seorang pria bersenjata. Setelah itu, ia harus bertarung dengan semua prajurit tersebut; dan hampir tak ada manfaatnya meskipun dia berhasil mengalahkan mereka, karena bulu domba itu dijaga oleh seekor ular besar, lebih besar dari pohon pinus gunung mana pun; dan kau harus melangkahi tubuhnya jika ingin mencapai bulu domba emas.”

Lalu Jason tertawa pahit. “Bulu domba itu disimpan di sini dengan tidak adil, oleh raja yang tidak adil dan melanggar hukum; dan aku akan mati muda dengan cara yang tidak adil, karena aku akan mencobanya sebelum matahari berikutnya terbenam.”

Kemudian Medeia gemetar dan berkata, “Tidak ada manusia fana yang dapat mencapai bulu domba itu, kecuali aku membimbingnya. Sebab di sekelilingnya, di seberang sungai, terdapat tembok setinggi sembilan hasta, dengan menara-menara yang menjulang tinggi dan gerbang-gerbang yang kuat dari  tiga lapis kuningan. Di atas gerbang-gerbang itu, temboknya melengkung, dengan benteng-benteng emas di atasnya. Dan di atas gerbang itu duduk Brimo, pemburu dan penyihir wanita liar dari hutan, mengacungkan obor pinus di tangannya, sementara anjing-anjing gilanya melolong. Tidak ada seorangpun yang berani bertemu dengannya atau melihatnya, kecuali aku, pemimpinnya, dan dia mengawasi jauh dan luas agar tidak ada orang asing yang mendekat.”

“Tidak ada tembok yang terlalu tinggi sehingga tidak bisa didaki pada akhirnya, dan tidak ada hutan yang terlalu lebat sehingga tidak bisa dilalui; tidak ada ular yang terlalu waspada sehingga tidak bisa ditaklukkan, atau ratu penyihir yang terlalu ganas sehingga mantera tidak bisa menenangkannya; dan aku mungkin masih bisa memenangkan bulu domba emas, jika seorang gadis bijak membantu pria pemberani.”

Lalu ia memandang Medeia dengan licik, menahan perhatian gadis itu dengan tatapan matanya yang berkilau, hingga Medeia tersipu dan gemetar, lalu berkata, “Siapa yang bisa menghadapi api dari napas banteng, dan melawan sepuluh ribu pria bersenjata?”

Kedua putri itu memohon kepadanya.

Kedua putri itu memohon kepadanya.

“Dia yang kau bantu,” jawab Jason, memujinya, “karena namamu telah tersebar di seluruh dunia. Bukankah kau adalah ratu dari semua penyihir, bahkan lebih bijaksana daripada saudaramu Circe di pulau ajaibnya di Barat?”

“Seandainya aku bersama saudara perempuanku Circe di pulau ajaibnya di Barat, jauh dari godaan yang menyakitkan dan pikiran yang mencabik hati! Tetapi jika memang harus demikian—karena mengapa kau harus mati?—Aku memiliki salep ini; aku membuatnya dari bunga es ajaib yang muncul dari luka Prometheus, di atas awan di Kaukasus, di ladang salju yang suram. Oleskan salep ini pada dirimu, dan kau akan memiliki kekuatan tujuh pria; dan oleskan pada perisaimu, maka tak ada api atau pedang yang dapat melukaimu. Tetapi apa yang kau mulai harus kau selesaikan sebelum matahari terbenam, karena khasiatnya hanya bertahan satu hari. Dan oleskan pada helm-mu sebelum kau menabur gigi ular; dan ketika anak-anak bumi bermunculan, lemparkan helm-mu di antara mereka, maka panen mematikan dari ladang Dewa Perang akan memotong dirinya sendiri dan hancur.”

Kemudian Jason berlutut di hadapan Medeia, mengucapkan terima kasih, dan mencium tangannya; lalu Medeia memberinya guci berisi salep ajaib dan pergi dengan gemetar melalui alang-alang. Jason kemudian memberitahu rekan-rekannya apa yang telah terjadi, serta menunjukkan kotak salep itu kepada mereka; semua bergembira kecuali Idas, yang menjadi marah karena iri hati.

Saat matahari terbit, Jason mandi dan mengoleskan salep itu ke seluruh tubuhnya, termasuk perisai, helm, dan senjatanya, lalu meminta teman-temannya untuk menguji mantra itu. Mereka mencoba membengkokkan tombaknya, tetapi tombak itu tetap kokoh seperti batang besi; Idas, dengan penuh dendam, mencoba memotongnya dengan pedangnya, tetapi bilah pedang itu pecah menjadi serpihan di wajahnya.

Kemudian mereka melemparkan tombak ke arah perisainya, tetapi ujung-ujung tombak itu melengkung seperti timah. Caineus mencoba melemparkannya ke tanah, tetapi Jason tidak bergeming sedikit pun; Polydeuces menghantamnya dengan tinjunya—pukulan yang cukup kuat untuk membunuh seekor lembu—tetapi Jason hanya tersenyum. Para pahlawan menari-nari di sekelilingnya dengan sukacita, sementara Jason melompat, berlari, dan berteriak dengan penuh kegembiraan atas kekuatan luar biasa yang ia miliki, hingga matahari sepenuhnya terbit dan saatnya tiba untuk menuntut janji Aietes.

Lalu Jason mengirim Telamon dan Aithalides untuk memberi tahu Aietes bahwa ia telah siap untuk bertarung. Mereka pergi ke antara dinding-dinding marmer, di bawah atap-atap emas, dan berdiri di aula Aietes, sementara Aietes menjadi pucat karena amarah.

“Tunaikan janjimu kepada kami, anak dari matahari yang menyala. Berikan kami gigi-gigi ular itu, dan lepaskan banteng-banteng berapi; karena kami telah menemukan seorang juara di antara kami yang dapat memenangkan bulu domba emas.”

Aietes menggigit bibirnya, karena ia menyangka mereka telah melarikan diri di malam hari; tetapi ia tidak bisa mengingkari janjinya, sehingga ia memberikan gigi-gigi ular itu kepada mereka.

Kemudian ia memanggil kereta dan kuda-kudanya, serta mengirimkan utusan ke seluruh kota; dan seluruh penduduk pergi bersamanya ke ladang mengerikan milik Dewa Perang.

Dan di sana Aietes duduk di atas tahtanya, dengan para prajurit di kedua sisinya, ribuan hingga puluhan ribu, mengenakan baju zirah baja dari kepala hingga kaki. Sementara itu, rakyat dan para wanita berkerumun ke setiap jendela, tepian dan dinding; sementara para Minuai berdiri bersama, hanya segelintir di tengah-tengah pasukan besar itu.

Dan Chalciope ada di sana bersama Argus yang gemetar, dan Medeia yang menyelimuti dirinya rapat dengan kerudungnya; tetapi Aietes tidak tahu bahwa Medeia sedang melantunkan mantra-mantra licik di antara bibirnya.

Kemudian Jason berseru, “Penuhi janjimu, dan keluarkan banteng-banteng berapimu.”

Lalu Aietes memerintahkan gerbang dibuka, dan banteng-banteng ajaib itu melompat keluar. Tapak kaki mereka yang terbuat dari perunggu bergema di tanah, dan dari lubang hidung mereka keluar semburan api saat mereka menyerbu dengan kepala tertunduk ke arah Jason; tetapi Jason tidak mundur sedikit pun. Api dari napas mereka menyapu di sekelilingnya, tetapi tidak sehelai rambut pun terbakar; dan banteng-banteng itu berhenti mendadak dan gemetar ketika Medeia mulai melantunkan mantranya.

Kemudian Jason melompat ke banteng yang terdekat, dan mencengkeram tanduknya; mereka bergulat ke sana kemari, hingga banteng itu jatuh berlutut, karena keberanian sang binatang lenyap, dan tubuhnya yang perkasa melemah di bawah tatapan teguh gadis penyihir yang kelam itu, serta bisikan magis dari bibirnya.

Akhirnya, kedua banteng itu berhasil dijinakkan dan diikat pada bajak; dan Jason mengikat mereka pada bajaknya, lalu mengarahkan mereka maju dengan tombaknya hingga ia selesai membajak ladang suci itu.

Dan semua Minuai bersorak, tetapi Aietes menggigit bibirnya dengan marah; sebab setengah dari tugas Jason telah selesai, dan matahari masih tinggi di langit.

Kemudian Jason mengambil gigi-gigi ular itu dan menaburkannya ke tanah, lalu menunggu apa yang akan terjadi. Medeia terus menatap dia dan helmnya, agar Jason tidak lupa dengan pelajaran yang telah diajarkan kepadanya.

Setiap alur bajak berguncang dan mendidih, dan dari setiap gumpalan tanah muncul seorang lelaki. Ribuan makhluk bangkit dari bumi, masing-masing berpakaian baja dari kepala hingga kaki, menghunus pedang, dan menyerbu ke arah Jason, yang berdiri sendirian di tengah-tengah mereka.

Para Minuai menjadi pucat karena ketakutan; tetapi Aietes tertawa getir. “Lihatlah! Jika aku belum memiliki cukup banyak prajurit di sekitarku, aku bisa memanggil mereka langsung dari perut bumi.”

Namun, Jason dengan cepat melepas helmnya dan melemparkannya ke tengah kerumunan terpadat. Kegilaan buta pun menyerang mereka, disertai kecurigaan, kebencian, dan ketakutan. Salah satu dari mereka berteriak kepada yang lain, “Kau telah menyerangku!” dan yang lain berkata, “Kau adalah Jason; kau harus mati!”

Kemarahan menguasai para makhluk bumi itu, dan masing-masing menyerang rekannya. Mereka bertempur tanpa lelah, hingga semuanya tergeletak mati di tanah. Kemudian alur bajak yang ajaib itu terbuka, dan bumi yang lembut membawa mereka kembali ke dalam pelukannya. Rumput hijau tumbuh kembali di atasnya, dan pekerjaan Jason pun selesai.

Kemudian para Minuai bangkit dan bersorak, hingga bisa Prometheus mendengar mereka dari tebingnya. Dan Jason berseru, “Bawa aku ke bulu domba itu sekarang juga, sebelum matahari terbenam.”

Namun Aietes berpikir, “Dia telah mengalahkan banteng-banteng itu, menabur dan menuai panen yang mematikan. Siapa dia ini, yang kebal terhadap semua sihir? Dia mungkin bisa membunuh ular itu juga.” Maka dia menunda waktu, dan duduk berdiskusi dengan para pangerannya, hingga matahari terbenam dan kegelapan menyelimuti. Kemudian dia memerintahkan seorang juru bicara berseru, “Semua orang pulang ke rumah masing-masing untuk malam ini. Besok kita akan bertemu dengan para pahlawan ini, dan berbicara tentang bulu domba emas.”

Kemudian dia berbalik dan menatap Medeia, “Ini perbuatanmu, gadis penyihir yang licik! Kau telah membantu para pendatang berambut kuning ini, dan membawa rasa malu pada ayahmu dan dirimu sendiri!”

Medeia menciut dan gemetar, wajahnya menjadi pucat karena ketakutan; dan Aietes tahu bahwa dia bersalah, lalu berbisik, “Jika mereka mendapatkan bulu domba itu, kau akan mati!”

Sementara itu, para Minuai berbaris menuju kapal mereka, menggeram seperti singa yang kehilangan mangsanya; sebab mereka tahu bahwa Aietes bermaksud mengejek mereka dan menipu mereka tanpa memedulikan semua kerja keras mereka. Dan Oileus berkata, “Mari kita pergi ke hutan itu bersama-sama, dan merebut bulu domba itu dengan paksa.”

Dan Idas yang gegabah berseru, “Mari kita undi siapa yang akan masuk terlebih dahulu; karena, saat naga itu sedang memakan salah satu dari kita, yang lain bisa membunuhnya dan membawa pergi bulu domba itu dengan damai.” Tetapi Jason menahan mereka, meskipun ia memuji keberanian mereka, karena ia masih berharap mendapatkan bantuan dari Medeia.

Setelah beberapa saat, Medeia datang dengan gemetar, menangis lama sebelum akhirnya berbicara. Akhirnya ia berkata, “Akhirku telah tiba, dan aku harus mati; karena ayahku telah mengetahui bahwa aku telah membantumu. Dia akan membunuh kalian jika dia berani; tetapi dia tidak akan menyakitimu, karena kalian adalah tamunya. Pergilah, pergilah, dan ingatlah Medeia yang malang ketika kalian telah jauh melintasi lautan.”

Tetapi semua pahlawan berseru, “Jika kau mati, kami akan mati bersamamu; karena tanpamu kami tidak bisa memenangkan bulu domba itu, dan kami tidak akan pulang tanpa itu, tetapi akan bertempur di sini hingga orang terakhir.”

“Kau tidak perlu mati,” kata Jason. “Larilah bersama kami melintasi lautan. Tunjukkan kepada kami terlebih dahulu bagaimana memenangkan bulu domba itu; karena kau pasti tahu caranya. Bukankah kau adalah pemilik wanita dari hutan itu? Tunjukkan kepada kami bagaimana memenangkan bulu domba itu, dan ikutlah bersama kami, maka kau akan menjadi ratuku, dan memerintah atas para pangeran kaya Minuai, di Iolcos di tepi laut.”

Dan semua pahlawan mengerumuni Medeia, bersumpah bahwa ia akan menjadi ratu mereka.

Medeia menangis, gemetar, dan menutupi wajahnya dengan tangan; karena hatinya merindukan saudara-saudara perempuannya, teman-teman bermainnya, dan rumah tempat ia dibesarkan sebagai seorang anak kecil. Namun akhirnya, ia memandang Jason dan berbicara di antara isak tangisnya,

“Haruskah aku meninggalkan rumah dan bangsaku untuk mengembara bersama orang asing melintasi lautan? Takdir telah ditentukan, dan aku harus menerimanya. Aku akan menunjukkan padamu bagaimana cara memenangkan bulu domba emas. Bawalah kapalmu ke sisi hutan, dan tambatkanlah di tepi sungai; lalu biarkan Jason datang pada tengah malam, bersama satu rekan pemberani, dan temui aku di bawah tembok.”

Kemudian semua pahlawan berseru bersama, “Aku akan pergi!” “Aku juga!” “Dan aku!” Dan Idas yang gegabah menjadi gila karena iri; karena ia sangat ingin menjadi yang terdepan dalam segala hal. Namun Medeia menenangkan mereka, dan berkata, “Orpheus akan pergi bersama Jason, dan membawa harpa ajaibnya; karena aku mendengar bahwa dia adalah raja dari semua penyanyi, dan bisa memikat segala sesuatu di bumi.”

Orpheus tertawa bahagia dan bertepuk tangan, karena pilihan jatuh padanya; sebab pada masa itu, penyair dan penyanyi sama beraninya seperti para prajurit terbaik.

Maka pada tengah malam, mereka pergi ke tepi sungai dan menemukan Medeia; dan di sampingnya datang Absyrtus, adik lelakinya yang masih muda, membawa seekor anak domba berusia satu tahun.

Kemudian Medeia membawa mereka ke sebuah semak belukar di samping gerbang Dewa Perang; di sana ia menyuruh Jason menggali sebuah parit, membunuh anak domba itu, dan meninggalkannya di sana, lalu menaburkan ramuan ajaib serta madu dari sarangnya.

Lalu muncullah Brimo, si pemburu penyihir yang liar, dari dalam tanah dengan kilatan api merah menyala di hadapannya, sementara anjing-anjing gilanya melolong di sekelilingnya. Dia memiliki satu kepala seperti kuda, kepala lain seperti anjing liar yang lapar, dan satu lagi seperti ular yang mendesis, dengan pedang di kedua tangannya. Dia melompat ke dalam parit bersama anjing-anjingnya, dan makan dan minum hingga puas, sementara Jason dan Orpheus gemetar, dan Medeia menutup matanya.

Akhirnya, ratu penyihir itu lenyap dan melarikan diri bersama anjing-anjingnya ke dalam hutan; palang-palang gerbang jatuh, pintu-pintu perunggu terbuka lebar, dan Medeia bersama para pahlawan berlari maju, tergesa-gesa melewati hutan beracun di antara batang-batang pohon beech yang gelap, dipandu oleh kilauan bulu domba emas, hingga mereka melihatnya tergantung di sebuah pohon besar di tengah-tengah.

Jason hendak melompat untuk merebutnya, tetapi Medeia menahannya, dan dengan gemetar menunjuk ke kaki pohon itu, tempat seekor ular besar tergeletak, melilit-lilit di antara akar-akarnya, dengan tubuh sebesar pohon pinus gunung. Lilitannya membentang sejauh beberapa depa, berkilauan dengan perunggu dan emas; mereka hanya bisa melihat setengah tubuhnya, sementara sisanya berada jauh di kegelapan.

Ketika ular itu melihat mereka mendekat, ia mengangkat kepalanya, mengamati mereka dengan matanya yang kecil dan berkilau, menjulurkan lidah bercabangnya, dan mengaum seperti api yang berkobar di tengah hutan, hingga hutan itu berguncang dan mengerang. Suaranya mengguncang pepohonan dari daun hingga akar, menyapu sepanjang sungai, melewati aula Æetes, dan membangunkan para penghuni kota yang sedang tidur, hingga para ibu memeluk anak-anak mereka dalam ketakutan.

Namun Medeia memanggilnya dengan lembut, dan ular itu pun merentangkan leher panjangnya yang berbintik-bintik, menjilat tangannya, dan menatap wajahnya, seolah meminta makanan. Kemudian Medeia memberi isyarat kepada Orpheus, dan dia mulai menyanyikan lagu magisnya.

Saat Orpheus bernyanyi, hutan kembali tenang, daun-daun di setiap pohon menggantung tanpa bergerak; kepala ular itu perlahan turun, lilitan tubuhnya yang terbuat dari perunggu menjadi lemas, dan matanya yang berkilauan tertutup dengan malas, hingga ia bernapas selembut seorang anak kecil, sementara Orpheus memanggil Sang Lelap yang menenangkan, yang membawa kedamaian bagi manusia, binatang, dan ombak.

Kemudian Jason melompat maju dengan hati-hati, melangkahi ular raksasa itu, dan merobek bulu domba emas dari batang pohon. Lalu keempatnya berlari menuruni taman menuju tepi sungai, tempat Argo berlabuh.

Sesaat suasana hening, sementara Jason mengangkat tinggi bulu domba emas itu. Lalu ia berseru, “Berlayarlah sekarang, Argo yang baik, cepat dan mantap, jika kau ingin melihat Pelion lagi.”

Dan Argo melaju, didorong oleh para pahlawan yang menggerakkan dayung dengan keras namun sunyi, hingga kayu pinusnya melengkung seperti dahan willow di tangan mereka, dan Argo yang kokoh mengerang di bawah pukulan dayung mereka.

Mereka melaju terus di bawah kegelapan yang lembap, meluncur cepat di aliran sungai yang berputar; melewati dinding-dinding hitam, kuil-kuil, dan kastel-kastel para pangeran dari Timur; melewati muara bendungan, taman-taman harum, dan hutan pohon-pohon buah yang asing; melewati rawa-rawa tempat sapi-sapi gemuk tidur, dan hamparan alang-alang yang berbisik; hingga mereka mendengar musik riang dari ombak di ambang sungai, yang bergulung sendiri dalam cahaya bulan.

Mereka menerobos ombak itu, dan Argo melompat melewati gelombang seperti seekor kuda; karena ia tahu waktunya telah tiba untuk menunjukkan keberaniannya dan memenangkan kehormatan bagi para pahlawan serta dirinya sendiri.

Mereka menerobos gelombang, dan Argo melompati ombak seperti seekor kuda, hingga para pahlawan berhenti dengan napas terengah-engah, masing-masing bersandar pada dayung mereka, sementara Argo meluncur ke laut luas yang tenang.

Kemudian Orpheus mengambil harpa dan menyanyikan sebuah pæan (lagu pujian), hingga semangat para pahlawan bangkit kembali. Mereka terus mendayung dengan penuh kekuatan dan keteguhan, menuju ke dalam kegelapan dunia Barat.

 

Leave a Comment

error: Content is protected !!