Judul: Momo
Penulis: Michael Ende
Penerjemah: Hendarto Setiadi
Penerbit: Gramedia
Cetak: Cetakan kedua: April 2005
Tebal: 320 Halaman
ISBN: 979-220943-3
Banyak penulis dewasa yang menulis dari sudut pandang anak-anak untuk mengkritik orang dewasa. Mengapa? Mungkin dengan rasa penasaran anak-anak, mereka menjadi lebih bebas bertanya-tanya tentang dunia orang dewasa, yang terlihat jauh berbeda dibandingkan dengan dunia seorang anak. Perspektif keduanya berbeda, yang satu melihat dari atas ke bawah, yang satunya dari bawah ke atas. Walaupun pertanyaan seorang anak terdengar sangat konyol dan absurd, hal itu bisa cukup mengena.
Buku Momo (1973) memiliki atmosfer yang sama dengan buku Le Petit Prince (1943). Mereka sama-sama memiliki seorang anak sebagai tokoh utama, yang sering memperhatikan dan mempertanyakan kelakuan orang dewasa. Yang membedakan, cara bercerita di buku Momo lebih mengalir dan spesifik. Walaupun ritmenya agak lambat, Momo memiliki ide dan alur yang menarik. Banyak hal di dalamnya yang–bum!–sangat tak terduga . Buku ini sudah agak langka–alias mahal–ujar ibuku.
Buku Momo mengisahkan tentang seorang anak perempuan mungil bernama Momo, yang tidak diketahui asalnya, orangtuanya, dan bahkan nama belakangnya. Hanya memakai jas kedodoran dan baju yang lusuh, Momo sudah puas dengan ‘penghangat’ nya itu. Ia datang ke sebuah amfiteater bobrok di dekat sebuah perkampungan, dan penduduk ramah yang tinggal di daerah itu menerimanya. Mereka bahkan menyumbangkan alas tidur, meja kecil cantik, dan makanan. Orang-orang tak tega mengirimkannya ke panti asuhan lagi, di mana jendela dikasih jeruji, dan tak ada kebahagiaan. Momo sangat puas dengan kehidupannya. Ia bersahabat dengan orang-orang yang tinggal di dekatnya. Lama-kelamaan, warga juga tak bisa membayangkan hidup tanpa Momo.
Momo memiliki bakat yang sangat spesial. Bukan menari atau menyanyi. Bukan pula berbicara di depan umum–dia bahkan jarang berbicara. Lalu apa? Mungkin kau akan kaget, namun bakat Momo, yang dianggap sangat penting oleh orang-orang, adalah MENDENGARKAN. Ya, memang banyak orang bisa mendengar, namun hanya beberapa yang benar-benar mendengarkan. Teman-temannya selalu mencari Momo ketika mereka dalam masalah, hanya karena Momo-lah satu-satunya orang yang bisa menyelesaikan masalahnya dengan mendengarkan.
Dua orang yang sedang bertengkar, akan menyadari kebodohan mereka, saat mereka berdebat di depan Momo. Seseorang yang memiliki masalah akan merasa lega jika bercerita kepada Momo. Begitu banyak hal yang dapat dicapai hanya dari mendengarkan. Tak banyak orang bisa berbuat hal yang sama. Bagian ini disampaikan dengan sangat hati-hati, tetapi cukup menyentil orang-orang sepertiku, yang lebih sering berbicara daripada mendengarkan.
Anak-anak juga sangat menyukai Momo. Hanya saat ada Momo-lah, semua permainan menjadi asyik. Hari-hari Momo dipenuhi dengan kebahagiaan, walau untuk beberapa orang, hidup seperti Momo pasti menyengsarakan. Namun, segala kebahagiaan dan kenyamanan yang ada di sekitar Momo mulai berubah, seiring bertambahnya tuan-tuan kelabu misterius yang merayapi kota. Para tuan kelabu itu bukanlah seorang manusia, hewan, atau bahkan makhluk hidup. Mereka datang ke dunia hanya karena satu hal: Waktu.
Kalimat terakhir di atas tidak kutuliskan dengan makna yang positif. Para tuan kelabu itu membujuk para pekerja, orangtua, dan banyak orang lain untuk lebih menghemat waktu. Waktu tidak bisa dibuang-buang untuk mengobrol, bersantai, dan bahkan melamun. Setiap detiknya berharga. Orang-orang yang mendengar hal itu dari para tuan kelabu menjadi terkesan. Tuan-tuan kelabu itu menawarkan jasa ‘Bank waktu’ kepada mereka. Setiap detik yang dihemat akan dikumpulkan, sehingga mereka akan memiliki banyak simpanan untuk nanti.
Mereka tak lagi memiliki waktu untuk keluarganya, dan berusaha menyingkirkan sebanyak mungkin ‘kegiatan tak berguna’.
Satu per satu, orang-orang mulai berusaha menghemat waktu mereka. Mereka tak lagi memiliki waktu untuk keluarganya, dan berusaha menyingkirkan sebanyak mungkin ‘kegiatan tak berguna’. Namun, semakin mereka menghemat waktu, semakin sedikitlah waktu yang mereka miliki. Lama-kelamaan, kota menjadi tempat yang sangat suram. Tak ada lagi orang-orang yang sempat menikmati keindahan atau mau repot-repot bermain.
Anak-anaklah yang paling merasakan hal ini. Ayah-ibu mereka tak lagi sempat bermain, atau mengobrol dengan mereka. Para anak dititipkan kepada pengasuh yang juga tak ingin repot-repot bermain dengan anak itu. Hal ini masih bisa dilihat di zaman sekarang. Banyak orang yang merasa, mengobrol atau bermain dengan seorang anak adalah hal yang membuang-buang waktu. Toh mereka tidak seberharga itu untuk didengarkan, dibandingkan dengan pembicaraan seorang artis terkenal yang sedang live di platform sosial media. Biarkan saja sang anak menonton handphone, jadi sang ibu akan memiliki waktu yang damai.
Momo akhirnya menemukan semua biangnya. Para tuan kelabu itu bukan menghemat waktu orang-orang, melainkan mencurinya! Momo harus berusaha mengambil kembali waktu-waktu itu. Hal itu tidak mudah, karena tuan-tuan kelabu sangatlah manipulatif. Anehnya para tuan kelabu itu takut kepada Momo–lebih tepatnya bakat Momo dalam mendengarkan.
Saat mereka berusaha memanipulasi Momo untuk meninggalkan kesenangannya, mereka malah kebablasan dan menceritakan kisah mereka sendiri. Apa sebenarnya waktu itu? mengapa mereka ingin mencurinya? Mengapa waktu setiap orang yang ‘berhemat’ malah menghilang perlahan-lahan?
“Sebab, sebagaimana kalian memiliki mata untuk melihat cahaya dan telinga untuk mendengar bunyi, kalian juga memiliki hati untuk merasakan waktu. Dan waktu yang tidak dirasakan dengan hati menjadi hilang sia-sia, bagaikan warna-warni pelangi bagi orang buta dan kicauan burung bagi orang tuli. Tapi sayangnya banyak hati yang buta dan tuli.”
Itulah yang dikatakan Empu Hora, sang penguasa waktu (namun bukan Tuhan), saat berusaha membantu Momo menyingkirkan para tuan kelabu yang tak jelas itu. Hanya Momo-lah orang yang bisa menyelamatkan keadaan itu.
Setiap orang memiliki Waktunya sendiri-sendiri. Bahkan penguasa waktu pun tak bisa mengatur kegunaan Waktu milik orang-orang. Terserah mereka mau diapakan ‘Stok waktu’ nya. Namun, semakin orang berusaha menghemat Waktunya, semakin cepat habislah Waktu mereka. Buku ini memiliki banyak paragraf yang harus dipikirkan secara mendalam. Salah satu kesimpulan yang kudapat adalah: Waktu hanya bisa dinikmati dan dirasakan dengan hati.
Sayangnya, seperti kata Empu Hora, banyak hati yang buta dan tuli.
1 thought on “Sang Pencuri Waktu”