Membangun Kefasihan Bernarasi

Narasi pertama mungkin tidak nyaman

Anak-anak yang berumur di bawah 6 tahun biasanya dengan spontan menarasikan meski tak diminta dan itu patut dihargai. Seperti matematika yang kesadaran konsepnya butuh dikenalkan sedari dini, begitu pula dengan bernarasi. Kita bisa mulai menggunakan kata ‘narasi’ dalam percakapan sehari-hari. Saat anak bercerita tentang seekor anjing yang mereka lihat mengejar kucing tetangga, misalnya, kita bisa berkata, “Narasi yang baik sekali, aku jadi bisa membayangkan tepat seperti apa kejadiannya.”

Atau saat makan malam bersama, pasangan berkata ada berita menarik yang dia baca hari ini, kita bisa mengatakannya di hadapan anak-anak, “Wah, bisakah kau narasikan untukku?” Kata ‘narasi’ akan menjadi sesuatu yang akrab dan lebih mudah untuk digunakan saat masuk fase akademis anak.

Kebanyakan anak siap belajar formal di usia 6 tahun seperti yang biasa dipraktikkan PNEU (Parents’ National Education Union). Kita juga sudah tahu narasi adalah sesuatu yang sederhana dan alami. Jadi sepertinya akan sangat mudah mengubah kecerewetan anak-anak menjadi sebuah kegiatan formal.

Akan tetapi, kenyataan bisa sangat berbeda. Setelah dibacakan sebuah cerita, bisa saja seorang anak hanya mengulang kata per kata di kalimat terakhir. Bisa saja dia berkata, “Aku tak ingat.” Bisa saja dia memberi sepotong narasi dengan banyak kata ‘mmm..’ atau ‘eeee..’. Bisa saja dia hanya memberi satu simpulan pendek untuk seluruh cerita.

Meskipun sudah mengetahui prinsip-prinsip narasi dengan baik, di momen seperti ini, ibu manapun kemungkinan tergoda untuk mengajukan pertanyaan untuk memastikan anaknya mendengarkan. Ada anak yang langsung bisa bernarasi dengan baik, tetapi ada pula anak yang membuat orangtuanya mempertanyakan, apakah narasi sebagai metode formal akan berhasil.

Narasi formal membutuhkan latihan dan ketekunan untuk mengatasi berbagai halangannya. Narasi formal layaknya langkah kaki pertama seorang bayi yang terhuyung-huyung. Layaknya goresan krayon pertama anak berumur 2 tahun.

Menurunkan ekspektasi akan membantu mengurangi rasa frustasi ibu. Ini adalah langkah alami pertama yang akan mengawali sebuah perjalanan tanpa akhir. Ada beberapa frase yang bisa ibu gunakan untuk menggantikan kalimat, “Tolong narasikan” atau “Bisakah kau ceritakan kembali?”

Kita bisa menanyakan anak dengan satu petunjuk jawaban, misalnya, “Bisakah kau ceritakan apa yang sedang dilakukan Jenny Wren?” Atau “Bisakah kau ceritakan hal paling menarik dari cerita ini?” Untuk menyambung narasi yang seperti terhenti di tengah dengan “Ada lagi yang ingin  kau ceritakan?”

Kita bisa menarasikan bagian awal cerita dan meminta anak menarasikan sisanya. Beberapa anak akan bereaksi saat kita menarasikan sesuatu yang salah dan mereka akan memperbaikinya. Atau kita bisa mengatakan sesuatu yang konyol seperti, “Ini kisah tentang sapi biru yang hidup di bulan”.

Beberapa anak tertekan seperti harus tampil dalam pertunjukkan. Beberapa anak merasa takut salah. Meminta anak menarasikan sebuah cerita spesifik berbeda dengan bercerita bebas sesuatu yang sedang mereka pikirkan atau telah alami dan bisa jadi tugas yang mengerikan buat mereka. Sama seperti anak dua tahun yang pertama memegang krayon dan diminta menggambar singa, mereka tahu bentuk singanya, tapi mereka kebingungan menggambarkannya dengan rapi dan jelas. Mereka hanya perlu disemangati untuk menggunakan alatnya, kata-kata, dengan cara mereka sendiri.

Narasi Konsisten Akan Menghasilkan Kemajuan

Meski anak-anak menggambar cakar ayam pada awalnya, kita tak pernah menyingkirkan krayon dan kertas bukan? Seiring waktu mereka semakin terlihat gaya menggambarnya dan jika dilatih dengan teknik yang tepat, semua anak bisa menggambar dengan baik dan artistik.

Begitupun narasi. Karena kegagalan di awal, bukan berarti tidak akan berhasil. Paling tidak, seiring waktu semua akan terasa lebih mudah. Latihan akan  meningkatkan kemahiran dan hasrat untuk lebih baik akan menumbuhkan keahlian. Ada yang butuh waktu sekejap, namun ada juga yang butuh bertahun-tahun.

Effort brings power.

Disiplin bernarasi akan membantu anak-anak yang tengah berjuang. Berikan anak waktu, banyak waktu, dan kesempatan untuk berjuang. Untuk anak usia muda, mereka bisa dibebaskan untuk berekspresi dengan gaya apapun yang mereka mau. Narasi mungkin akan lebih mudah jika melibatkan kegiatan lain yang mereka suka. Anak yang suka drama mungkin tertarik melakonkan cerita yang dibacakan. Anak yang suka menggambar mungkin bisa membuat ilustrasi cerita. Anak yang suka bermain lego bisa menggunakan legonya untuk bermain peran.

Setiap ide kreatif diperbolehkan. Namun, jangan lupa memastikan kata-kata dan bahasa sebagai pusat narasi. Mereka tetap harus ‘berbicara’ dan mendeskripsikan apapun yang mereka lakukan. Anak-anak tak akan bosan dengan banyaknya hal yang bisa dilakukan. Fokus pada tujuannya, membiarkan anak berpikir sendiri, dan mengkomunikasikan pemahaman mereka, metode apapun yang mereka gunakan, sepanjang sejalan dengan tujuan, bebass.

Meningkatkan narasi dan membangun kefasihan

Di sekolah, murid yang sudah fasih bernarasi bisa menjadi model bagi yang belum. Anak yang lebih kecil bisa melihat kakaknya sebagai  model. Sementara untuk yang sama sekali baru, ibunya sendiri lah yang bisa menjadi model. Ibu bisa membaca satu paragraf, menarasikannya, membaca satu paragraf lagi dan meminta anak bergantian menarasikan. Atau ibu membaca satu cerita utuh dan menarasikan sebagian awal dan anak diminta menarasikan akhirnya. Atau minta anak menarasikan sebisanya, nanti sang ibu menarasikan yang tertinggal.

Anak-anak biasanya tidak bisa langsung menarasikan satu bab cerita karena tingkat perhatian mereka belum sepanjang itu. Ibu bisa mengurangi narasi per halaman atau bahkan per paragraf dan meminta narasi per bagian. Dalam kasus yang sangat ekstrem bisa saja dibacakan per kalimat jika dia benar-benar kesulitan, tapi sekali dua kali saja. Karena ini justru akan meletakkan materi yang diberikan pada memori jangka pendeknya dan anak cenderung hanya akan mengulang kalimat kata per kata layaknya kakatua.

Tetaplah membaca satu paragraf atau lembar sampai anak siap untuk memperhatikan lebih panjang. Untuk anak yang berusia 6 tahun saat memulai, ada 3-4 tahun untuk membangun keahlian mereka secara bertahap. Di umur 10 tahun, anak yang fasih akan bisa menarasikan satu bab penuh, tapi material yang berat tetap perlu dinarasikan dalam porsi kecil.

Dua tujuan utamanya adalah membangun kekuatan perhatian sebagai kebiasaan mental, lalu memperkuatnya agar mampu memperhatikan lebih panjang. Daripada sibuk menegur anak agar fokus, lebih baik bantu mereka mencari cara mengeluarkan narasi yang berbeda-beda yang akan membantu mereka makin fasih dengan kata-kata. Perhatian akan terbentuk dengan sendirinya saat mereka harus bernarasi.

Jangan fokus pada jumlah yang dinarasikan, tapi pembentukan kebiasaan penuh perhatian dan artikulasi yang baik. Minta anak menarasikan setiap pelajarannya dengan konsisten, walaupun pendek. Mungkin terlalu banyak membaca dan narasi akan melelahkan, namun kita bisa mengatur agar jadwalnya bergantian dengan kegiatan lain seperti menggambar, bernyanyi dan bermain.

Ini adalah pekerjaan jangka panjang. Yang kita kejar adalah kefasihan. Dimana anak memiliki kemampuan dan ketangkasan untuk melakukannya dengan mudah. Saat anak dengan sigap bisa bernarasi tanpa terhenti atau canggung, dan dia sadar akan kemampuannya itu. Anak-anak membuat perkembangan dengan caranya sendiri

Yang anak-anak narasikan ini adalah bagian dari skema menumbuhkan pemikiran mereka. Jika paham dengan tujuan ini kita akan sadar bahwa saat membaca satu buku yang sama, dua orang anak tidak akan mendapat pelajaran yang sama persis. 

Saat anak mendengar cerita, yang diharapkan bukan anak mengingat dan meniru kata per kata, tapi menggambarkan atau memvisualisasikannya dalam pikiran mereka. Gambaran utuh itu kemudian akan dia ceritakan ulang, dan inilah proses jalan pendidikan.

Perjalanan panjang dimulai dari satu langkah. Berbahagialah pengajar yang melihat keajaiban pertumbuhan kreatif ini. Setiap anak memiliki kekuatan dan bakat alaminya yang akan mewarnai penciptaan narasinya.

Seperti meminta sekumpulan anak menggambar singa, tak mungkin kita dapati gambar yang sama, begitupun dalam bernarasi. Bahkan dalam satu keluarga perbedaan gaya dan kemampuan pasti beragam tergantung kepribadiannya dan kemampuan naratifnya. Yang lebih panjang dan lebih menarik belum tentu lebih efektif. Disiplin mental untuk mengingat materi, memilih poin-poin yang penting, mengaturnya dengan urutan yang masuk akal, dan akhirnya mengomunikasikannya untuk orang lain, itulah yang membuat narasi berharga.

Anak akan terus menumbuhkan kemampuannya sesuai bagan di bawah ini. Semua orang pernah mengalami hari buruk yang mungkin membuat narasinya hari itu pendek saja. Tapi narasi yang pendek pun berharga jika di dalamnya anak menambahkan pemikirannya sendiri, atau mengoneksikannya dengan yang lain. Ini justru menunjukkan pertumbuhan level berpikir dan pemahaman, walau detilnya mungkin tak lengkap. Teruslah berjuang dan nikmati pertumbuhan prosesnya. Yang penting, berlatih yang banyak!

Diskusi setelah narasi

Pertanyaan saat anak narasi tidak diperbolehkan. Namun setelah narasi selesai kita bisa melanjutkan diskusi materi tersebut. Anak bisa bertanya  bagian yang dia tak paham, atau ibu memberikan pertanyaan sintetis ala Socrates yang menggali cara berpikir anak lebih dalam. Berhati-hati untuk tidak membangun opini dari pengetahuan yang terlalu minim. Bangun pemahaman anak betapa berbahayanya itu.

Berikut beberapa contoh pertanyaan.

  • Apakah cerita ini mengingatkanmu akan cerita lain?
  • Apa yang mungkin terjadi jika dia memilih ini bukannya yang itu? Apa pilihan lain yang ia miliki?
  • Apakah kau akan melakukan hal yang sama dengannya? Mengapa? Mengapa tidak?
  • Bagaimana bila ini terjadi di tempat dan waktu  yang berbeda? Apa yang mungkin jadi beda?
  • Mengapa dia melakukan itu?

Pertanyaan sintetis tidak meminta anak memecah pengetahuan seperti soal multiple choice atau isian. Justru, anak diminta menggambar utuh apa saja yang telah dia ketahui, mencari dan menjalin hubungan.

Pertanyaan Socrates menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan dan menguraikan benar salah.  Pertanyaan-pertanyaan Socrates mendasar dibentuk dari kata “haruskah.” Haruskah Laura mengejar Nellie ke lumpur penuh lintah? Haruskah para kolonis melawan Raja Inggris?

Banyak pertanyaan sejenis yang mengundang anak-anak masuk dalam percakapan besar yang merupakan bagian dari kehidupan menjadi manusia, mencari makna, dan kebenaran. Diskusi semacam ini tak perlu terjadi setiap usai narasi.  Tapi pertanyaan semacam ini jika sering diberikan, akan membangunkan pikiran anak akan jenis pertanyaan yang bisa mereka tanyakan pada diri mereka sendiri. Sebuah teknik berpikir tingkat tinggi yang tak hanya berpegang pada keputusan alamiah, mana yang lebih enak.

Baca juga:

Leave a Comment

error: Content is protected !!